Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Menjamin Lepas Landas

Garuda Indonesia Airways di ambang kehancuran. Aliansi bukan satu-satunya jalan keluar.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP kali sowan ke pemerintah, manajemen Garuda Indonesia Airways pasti bicara pahit. Desember lalu, misalnya, mereka datang dengan data utang jatuh tempo US$ 56 juta dan kebutuhan modal kerja US$ 50 juta. Mereka meminta pemerintah memberi dana talangan untuk menjadwal ulang utang yang sudah jatuh tempo.

Total utang Garuda mencapai US$ 800 juta—atau sekitar Rp 8 triliun. Kepada European Credit Agencies di London, Inggris, Garuda berutang US$ 500 juta. Sekitar US$ 150 juta berupa surat utang atau promissory notes. Sisanya, US$ 150 juta, utang kepada Bank Mandiri dan Angkasa Pura I dan II.

Menteri Negara BUMN, Sugiharto, mengatakan pemerintah tak punya uang. Dia menawarkan opsi lain, mengundang investor asing masuk ke Garuda. Sekretaris Menteri Negara BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan bentuknya bisa beragam, mulai dari kerja sama operasi, joint venture, sampai penjualan saham.

Didu berharap Garuda bisa beraliansi dengan operator besar yang punya jaringan ke Eropa dan Timur Tengah. Rencana itu langsung memercikkan kontroversi. Paling disorot adalah opsi penjualan saham Garuda.

DPR RI dan Masyarakat Peduli Angkutan Udara Komersial Indonesia—anggotanya termasuk mantan direksi Garuda—tak setuju Garuda dijual. Alasannya banyak, mulai dari simbol negara, sejarah, sampai harga jual yang murah.

Anggota DPR RI dari Komisi Keuangan dan Perbankan, Dradjad Wibowo, punya alasan kuat menolak penjualan itu. Menurut dia, masih ada cara lain menyelamatkan Garuda. Biayanya tidak terlalu besar sehingga tak harus mengeruk dana APBN terlalu dalam. ”Asal pemerintah mau bersusah sedikit saja,” katanya.

Dia menghitung, dengan berbagai skema rekayasa, Garuda bisa diselamatkan dengan biaya maksimum Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun. Dana plus bunga, menjadi Rp 3,5 triliun-Rp 4 triliun, bisa dikembalikan ketika 49 persen saham maskapai itu dijual dua atau tiga tahun kemudian.

Jika skenario ini diterima, Garuda bisa dilepas pada 2008. Manajemen Garuda sendiri merencanakan penjualan saham pada 2009. Selain duit kembali, pemerintah juga akan mendapat dana lebih dari penjualan itu. Syaratnya, Garuda dikelola dengan baik dan benar.

Keuntungan lainnya, pemerintah punya BUMN sehat. ”Masalahnya, apakah Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menneg BUMN mau menerimanya, atau hanya mau cari gampang,” kata Dradjad.

Pemerintah enggan karena pola yang ia tawarkan tidak meliputi penjualan aset. Di situ hanya ada penghematan, tanpa tambahan dana tunai langsung. Orientasinya memang ke masa depan, ketika pemerintah bisa mendapat keuntungan lebih banyak.

Opsi aliansi yang ditawarkan pemerintah, menurut dia, sama saja karena ujung-ujungnya Garuda akan dilego juga. Cara ini juga tidak menguntungkan. Harganya akan jatuh karena calon pembeli, biasanya sang mitra aliansi, sudah tahu borok perusahaan. Calon pembeli juga punya posisi tawar lebih kuat.

Muhammad Said Didu menegaskan, pemerintah tak punya uang untuk menalangi Garuda. ”Nanti orang tambah ngamuk, kok duit dikasih ke Garuda,” katanya. Karena itu, pemerintah menawarkan Garuda dalam bentuk paket. Di dalamnya akan dibicarakan soal utang, dana talangan, jaminan pemerintah, dan aliansi yang akan dilakukan.

Dia tak menampik dilakukannya rekayasa keuangan. Direksi Garuda, katanya, sekarang adalah ahli rekayasa keuangan. ”Emir (Dirut Garuda) sudah melakukan rekayasa keuangan ketika dia di sana dulu,” katanya. ”Dia diganti, akhirnya hancur. Sekarang dia di sana lagi, mau memperbaiki.”

Pengamat penerbangan, Cartono Soejatman, tak melihat penjualan atau aliansi menjadi masalah bagi Garuda. Yang paling penting, katanya, pemerintah membereskan regulasi ekonomi di bidang penerbangan. Sejak industri ini lahir sekitar 40 tahun lalu, belum ada regulasi ketat mengatur angkutan udara.

Dia membandingkan dengan Amerika Serikat, yang industri penerbangannya termasuk industri yang diatur (regulated industry). Peraturannya sangat ketat. Misalnya soal keharusan membuka pemilik saham minimal lima persen kepada pemerintah. Laporan keuangan juga harus dibuka kepada publik.

Indonesia baru mensosialisasi soal laporan keuangan ini pada 2003. Sampai sekarang belum ada evaluasi, apakah operator penerbangan benar-benar melakukannya. Pelaporan penting karena perusahaan penerbangan berkaitan dengan keselamatan. Tidak akan ada perusahaan penerbangan yang punya keselamatan maksimum jika keuangannya amburadul.

Investor yang masuk Garuda, katanya, punya risiko besar. ”To kill atau to be killed, karena regulasinya tidak ada,” katanya. Cartono mengatakan, penjualan atau aliansi bukan satu-satunya jalan keluar. Masalah penerbangan di Indonesia, yang akhirnya membuat Garuda terpuruk, adalah sistem angkutan udara yang tidak benar.

Pada 1968, pemerintah mencanangkan multi-airlines system. Itu era baru bagi Garuda, karena mulai berusaha secara komersial. Sayangnya, prinsip yang diterapkan keliru. Pemerintah mengutamakan rute dibanding kinerja penerbangan.

Cartono, yang ikut mendirikan Garuda, mengatakan terpuruknya Garuda disebabkan tidak adanya regulasi, dan prinsip pemerintah yang keliru. Kalau itu tak diperbaiki, opsi penyelamatan dan aliansi tak menjamin Garuda bisa lepas landas lagi.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus