SEORANG pengusaha tekstil yang cukup terkenal di kalangan
Indonesian Textile Club pernah merasa tertipu oleh F ini. F
menyodorkan seorang bintang film LM. Dia bisa menjamin LM mau
dan meminta bayaran Rp 700 ribu. Giliran sampai waktunya, LM
tidak muncul, tapi yang datang adalah orang yang mirip LM.
Penggalan cerita di atas merupakan salah satu bagian artikel
Menyusuri Remang-Remang Jakarta. Wartawan Yuyu A.N. Krisna
menuliskan kisah perdagangan seks itu secara bersambung di koran
Sinar Harapan, sekitar dua tahun lalu. Pembaca menganggap cerita
itu sebagai suatu kebenaran, sekalipun sebagian besar sumber
berita dan sejumlah nama hotel, motel dan apartemen hanya
disebut dengan inisialnya saja. Tak Jelas. Namun Dewan Juri
Hadiah Adinegoro 1979/80 memilihnya sebagai pemenang tahun itu.
Berbagai kalangan yang berkepentingan dengan cerita Menyusuri
Remang-remang Jakarta tak pernah terdengar berusaha mengetahui
sejumlah identitas sumber berita di dalamnya. Hal itu sangat
berbeda dengan sikap aparat kepolisian dan Walikota Washington
dalam menanggapi artikel Jimmy's World (Washington Post, 28
September 1980). Gagal mencari Jimmy, mereka akhirnya mendesak
Janet Cooke, reporter Post, penulisnya, agar mengungkapkan
identitas anak negro itu sesungguhnya.
Deep Throat?
Dengan alasan melindungi sumber berita, Cooke menolak
mengungkapkan identitas Jimmy. Bahkan kepada Benjamin C.
Bradlee, Pemimpin Redaksi Post, ia juga tidak mau mengatakannya.
Hal serupa pernah pula dilakukan Bob Woodward, wartawan Post,
ketika (1973) berusaha melacak skandal Watergate yang akhirnya
menjatuhkan Presiden Nixon. Kepada Bradlee ia menolak mengatakan
identitas Deep Throat, sumber berita utamanya waktu itu.
Adakah Yuyu berbuat serupa Cooke dan Woodward? "Semua nama (yang
remang-remang itu - red) diketahui pemimpin redaksi," sahut
Yuyu. Sebab, menurut dia, penugasan untuk menulis masalah
prostitusi itu langsung datang dari Subagyo Pr., Pemimpin
Redaksi Sinar Harapan. Seluruh gerak langkahnya konon diketahui
pimpinan tersebut. Subagyo Pr. membenarkannya. "Dan sejauh ini,
tidak pernah ada reporter yang tidak bersedia memberitahukan
sumber yang dirahasiakannya itu," katanya kepada wartawan TEMPO
Saur Hutabarat.
Pemimpin redaksi seyogyanya memang harus mengetahui identitas
sumber berita dalam laporan reporter yang dianggapnya rawan. Dan
reporter, demikian A.M. Rosenthal, Pemimpin Redaksi New York
Times, wajib memberitahukannya kepada pemimpin redaksi jika
ditanya. "Bila menolak, ia saya suruh pergi mencari pemimpin
redaksi lain," sebutnya.
Dalam prakteknya tentu tugas pemimpin redaksi tadi dibagikan
kepada para redaktur. Merekalah yang bertugas, antara lain
menyeleksi kebenaran informasi dan menguji identitas sumber
berita. Zaenal Arifin Emka, redaktur koran Surabaya Post
(Surabaya), misalnya, bertindak ekstra hati-hati terhadap naskah
koresponden yang mengutip informasi peka dari sumber yang tak
ingin disebut. Sekitar dua bulan lalu korespondennya di Nganjuk,
Jawa Timur, mengutip informasi dari sebuah sumber yang
mengatakan bahwa Gedung DPRD dan Gedung Juang Nganjuk dibangun
dengan kayu jati curian.
Karena soal pencurian kayu jati dianggap peka, Zaenal
memerintahkan korespondennya agar meminta kesediaan sumber
berita itu disebut namanya. "Jika sumber tadi tak bersedia
disebut namanya, maka berita terpaksa tak bisa dimuat. Karena
sulit mempertanggungjawabkannya," ujar Zaenal. Sumber itu
akhirnya mau disebut, ternyata Komandan Kodim Nganjuk sendiri.
Dengan dalih melindungi keamanan sumber berita, reporter memang
sering hanya menyebut inisial. Bahkan sering ia sama sekali tak
menyebut identitas sumber berita.
Maruli Tobing dan D.J. Pamoedji, misalnya, ketika (1978)
menulis Dengan Truk Menyusuri Pulau Jawa di harian Kompas,
banyak sekali mengutip informasi dari sumber yang tak disebut
identitasnya. Kedua wartawan Kompas itu mengumpulkan bahan
tulisan dengan menyamar. Keduanya menunjukkan bahwa pungli di
sejumlah jembatan timbang tetap berlangsung -- kendati Ketua
Opstib Laksamana Sudomo baru saja melakukan razia. Artikel itu
kemudian mendapat Hadiah Adinegoro 1978.
Yuyu A.N. Krisna juga menyamar ketika mengumpulkan bahan
Menyusuri Remang-remang Jakarta. Tentu saja jika menyebut
sebagai wartawan, ia tak akan memperoleh banyak informasi.
Sekalipun tak ada permintaan dari yang bersangkutan, ia
menganggap perlu merahasiakan identitas sumber beritanya.
"Karena hal itu menyangkut hubungan yang sangat pribadi,"
katanya "Bayangkan jika nama mereka diketahui umum nama baik,
karir dan rumah tangga mereka akan rusak."
Janet Cooke juga berusaha melindungi sumber berita dengan
menolak mengungkapkan identitas Jimmy. Belakangan diketahui
dalih itu digunakannya untuk menutupi kebohongan artikel Jimmy's
World. Tapi Subagyo Pr. konon berupaya mencegah kebohongan
dengan menguji kebenaran naskah reporter. Ia biasanya, katanya,
meminta bukti tertulis atau dokumen mengenai suatu informasi
yang dianggapnya rawan. Kadang ia juga mengirimkan reporter
kedua melakukan pengecekan hasil lapran reporter pertama,
katanya lagi.
Masuk Akal
Rosihan Anwar, juri Hadiah Adinegoro 1979/80 menilai Menyusuri
Remang-remang Jakarta sebagai laporan yang tak dibuat-buat dan
bonafide. "Cerlta tentang call girl masuk akal," katanya. "Hal
itu sudah menjadi pengetahuan umum."
Bisakah pengadilan atau penguasa meminta identitas sumber berita
dikemukakan? Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi koran Pemandangan,
pernah menolak mengungkapkan identitas sumber berita kepada
penguasa. Ketika itu (1953), ia dituduh membocorkan rahasia
negara dengan menulis artikel mengenai Rancangan Undang-undang
Penanaman Modal Asing dan RUU Gaji Pegawai Negeri. Mendiang
Bafagih mendapat informasi itu dari sebuah sumber. Ia terhindar
dari tuntutan hukum setelah sejumlah wartawan membelanya dengan
berdemonstrasi .
Ketika membela Bafagih, para wartawan dulu juga menghendaki agar
penguasa dan lembaga peradilan mengakui hak ingkar wartawan.
Dengan hak itu wartawan bisa menolak menyebut sumber berita jika
terjadi delik pers atas tulisannya. Pasal 15 UU Pokok Pers No.
11 tahun 1966 hanya menjamin hak itu secara terbatas. Dalam hal
keselamatan negara, misalnya, hak itu mungkin tak diakui
pengadilan.
Menurut pengacara Harjono Tjitrosubono SH, wartawan tak bisa
menghindar (tak bisa memakai hak ingkar) untuk tidak membuka
identitas sumber berita jika terjadi delik pers. Sebab, menurut
dia, pasal 483, 484 dan 485 KUH Pidana memiliki justifikasi
melindungi kepentingan umum. Penggunaan hak ingkar (hak tolak
itu tergantung pada pengadilan. "Jika pengadilan menyatakan
tulisan itu membahayakan keselamatan negara, hak tolak tidak
berlaku," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini