Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Merahasiakan sumber berita

Pemimpin redaksi seharusnya mengetahui identitas sumber berita dalam laporan reporter yang dianggap rawan. sering tulisan dikoran tanpa menyebut sumber berita, bahkan bisa menang "hadiah adinegoro". (md)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pengusaha tekstil yang cukup terkenal di kalangan Indonesian Textile Club pernah merasa tertipu oleh F ini. F menyodorkan seorang bintang film LM. Dia bisa menjamin LM mau dan meminta bayaran Rp 700 ribu. Giliran sampai waktunya, LM tidak muncul, tapi yang datang adalah orang yang mirip LM. Penggalan cerita di atas merupakan salah satu bagian artikel Menyusuri Remang-Remang Jakarta. Wartawan Yuyu A.N. Krisna menuliskan kisah perdagangan seks itu secara bersambung di koran Sinar Harapan, sekitar dua tahun lalu. Pembaca menganggap cerita itu sebagai suatu kebenaran, sekalipun sebagian besar sumber berita dan sejumlah nama hotel, motel dan apartemen hanya disebut dengan inisialnya saja. Tak Jelas. Namun Dewan Juri Hadiah Adinegoro 1979/80 memilihnya sebagai pemenang tahun itu. Berbagai kalangan yang berkepentingan dengan cerita Menyusuri Remang-remang Jakarta tak pernah terdengar berusaha mengetahui sejumlah identitas sumber berita di dalamnya. Hal itu sangat berbeda dengan sikap aparat kepolisian dan Walikota Washington dalam menanggapi artikel Jimmy's World (Washington Post, 28 September 1980). Gagal mencari Jimmy, mereka akhirnya mendesak Janet Cooke, reporter Post, penulisnya, agar mengungkapkan identitas anak negro itu sesungguhnya. Deep Throat? Dengan alasan melindungi sumber berita, Cooke menolak mengungkapkan identitas Jimmy. Bahkan kepada Benjamin C. Bradlee, Pemimpin Redaksi Post, ia juga tidak mau mengatakannya. Hal serupa pernah pula dilakukan Bob Woodward, wartawan Post, ketika (1973) berusaha melacak skandal Watergate yang akhirnya menjatuhkan Presiden Nixon. Kepada Bradlee ia menolak mengatakan identitas Deep Throat, sumber berita utamanya waktu itu. Adakah Yuyu berbuat serupa Cooke dan Woodward? "Semua nama (yang remang-remang itu - red) diketahui pemimpin redaksi," sahut Yuyu. Sebab, menurut dia, penugasan untuk menulis masalah prostitusi itu langsung datang dari Subagyo Pr., Pemimpin Redaksi Sinar Harapan. Seluruh gerak langkahnya konon diketahui pimpinan tersebut. Subagyo Pr. membenarkannya. "Dan sejauh ini, tidak pernah ada reporter yang tidak bersedia memberitahukan sumber yang dirahasiakannya itu," katanya kepada wartawan TEMPO Saur Hutabarat. Pemimpin redaksi seyogyanya memang harus mengetahui identitas sumber berita dalam laporan reporter yang dianggapnya rawan. Dan reporter, demikian A.M. Rosenthal, Pemimpin Redaksi New York Times, wajib memberitahukannya kepada pemimpin redaksi jika ditanya. "Bila menolak, ia saya suruh pergi mencari pemimpin redaksi lain," sebutnya. Dalam prakteknya tentu tugas pemimpin redaksi tadi dibagikan kepada para redaktur. Merekalah yang bertugas, antara lain menyeleksi kebenaran informasi dan menguji identitas sumber berita. Zaenal Arifin Emka, redaktur koran Surabaya Post (Surabaya), misalnya, bertindak ekstra hati-hati terhadap naskah koresponden yang mengutip informasi peka dari sumber yang tak ingin disebut. Sekitar dua bulan lalu korespondennya di Nganjuk, Jawa Timur, mengutip informasi dari sebuah sumber yang mengatakan bahwa Gedung DPRD dan Gedung Juang Nganjuk dibangun dengan kayu jati curian. Karena soal pencurian kayu jati dianggap peka, Zaenal memerintahkan korespondennya agar meminta kesediaan sumber berita itu disebut namanya. "Jika sumber tadi tak bersedia disebut namanya, maka berita terpaksa tak bisa dimuat. Karena sulit mempertanggungjawabkannya," ujar Zaenal. Sumber itu akhirnya mau disebut, ternyata Komandan Kodim Nganjuk sendiri. Dengan dalih melindungi keamanan sumber berita, reporter memang sering hanya menyebut inisial. Bahkan sering ia sama sekali tak menyebut identitas sumber berita. Maruli Tobing dan D.J. Pamoedji, misalnya, ketika (1978) menulis Dengan Truk Menyusuri Pulau Jawa di harian Kompas, banyak sekali mengutip informasi dari sumber yang tak disebut identitasnya. Kedua wartawan Kompas itu mengumpulkan bahan tulisan dengan menyamar. Keduanya menunjukkan bahwa pungli di sejumlah jembatan timbang tetap berlangsung -- kendati Ketua Opstib Laksamana Sudomo baru saja melakukan razia. Artikel itu kemudian mendapat Hadiah Adinegoro 1978. Yuyu A.N. Krisna juga menyamar ketika mengumpulkan bahan Menyusuri Remang-remang Jakarta. Tentu saja jika menyebut sebagai wartawan, ia tak akan memperoleh banyak informasi. Sekalipun tak ada permintaan dari yang bersangkutan, ia menganggap perlu merahasiakan identitas sumber beritanya. "Karena hal itu menyangkut hubungan yang sangat pribadi," katanya "Bayangkan jika nama mereka diketahui umum nama baik, karir dan rumah tangga mereka akan rusak." Janet Cooke juga berusaha melindungi sumber berita dengan menolak mengungkapkan identitas Jimmy. Belakangan diketahui dalih itu digunakannya untuk menutupi kebohongan artikel Jimmy's World. Tapi Subagyo Pr. konon berupaya mencegah kebohongan dengan menguji kebenaran naskah reporter. Ia biasanya, katanya, meminta bukti tertulis atau dokumen mengenai suatu informasi yang dianggapnya rawan. Kadang ia juga mengirimkan reporter kedua melakukan pengecekan hasil lapran reporter pertama, katanya lagi. Masuk Akal Rosihan Anwar, juri Hadiah Adinegoro 1979/80 menilai Menyusuri Remang-remang Jakarta sebagai laporan yang tak dibuat-buat dan bonafide. "Cerlta tentang call girl masuk akal," katanya. "Hal itu sudah menjadi pengetahuan umum." Bisakah pengadilan atau penguasa meminta identitas sumber berita dikemukakan? Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi koran Pemandangan, pernah menolak mengungkapkan identitas sumber berita kepada penguasa. Ketika itu (1953), ia dituduh membocorkan rahasia negara dengan menulis artikel mengenai Rancangan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan RUU Gaji Pegawai Negeri. Mendiang Bafagih mendapat informasi itu dari sebuah sumber. Ia terhindar dari tuntutan hukum setelah sejumlah wartawan membelanya dengan berdemonstrasi . Ketika membela Bafagih, para wartawan dulu juga menghendaki agar penguasa dan lembaga peradilan mengakui hak ingkar wartawan. Dengan hak itu wartawan bisa menolak menyebut sumber berita jika terjadi delik pers atas tulisannya. Pasal 15 UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966 hanya menjamin hak itu secara terbatas. Dalam hal keselamatan negara, misalnya, hak itu mungkin tak diakui pengadilan. Menurut pengacara Harjono Tjitrosubono SH, wartawan tak bisa menghindar (tak bisa memakai hak ingkar) untuk tidak membuka identitas sumber berita jika terjadi delik pers. Sebab, menurut dia, pasal 483, 484 dan 485 KUH Pidana memiliki justifikasi melindungi kepentingan umum. Penggunaan hak ingkar (hak tolak itu tergantung pada pengadilan. "Jika pengadilan menyatakan tulisan itu membahayakan keselamatan negara, hak tolak tidak berlaku," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus