Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hukum baru bagi Parla

Herziening tak dapat lagi diberlakukan bagi parlaungan sitompul yang dipenjarakan hampir 10 th karena dituduh membunuh gadis masnah. suharsono yang semula diduga menjadi pembunuh, kini menyangkalnya.(krim)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERTA merta Kejaksaan Agung menurunkan beberapa petugas ke kaki Gunung Cireme. Pemeriksaan, dimulai minggu lalu, berlangsung di dalam dan di luar Penjara (LP Kuningan dan Cirebon (Ja-Bar). Petugas pemeriksa, Samuel Koro, hendak membuktikan seruan seseorang yang merasa teraniaya dan dipenjarakan hampir sepuluh tahun tahpa dosa seperti pernah dituduhkan-membunuh seorang gadis. Yang merasa teraniaya adalah Parlaungan Sitompul, 30 tahun. Ia sedang menjalani hukuman berat di LP Kuningan: 15 tahun penjara. Padahal, seperti diungkapkannya belum lama ini, orang asal Palembang tersebut merasa tak selayaknya menanggung derita seperti sekarang. Bahkan, katanya sebelum itu ia disiksa polisi dan dianiaya jaksa, yaitu ketika mula-mula didakwa sebagai pembunuh Masnah (TEMPO, 25 April). Sungguh mati, kata Parla, sebenarnyalah ada orang lain yang dianggapnya lebih tepat menggantikan tempatnya. Orang itu, Suharsono alias Ebo Burhani, yang secara kebetulan juga sedang mendekam di penjara yang sama. Ikhtiar Parla mengungkapkan siapa pembunuh Masnah, siswi SLP di Palembang sepuluh tahun yang lalu, sekaligus juga merupakan upaya menjernihkan namanya. Parla dibantu Pengacara M. Tambunan dan Anggota Komisi III/DPR-RI Albert Hasibuan. Hasilnya belum tampak. Ketua Mahkamah Agung Rl, Mudjono, yang dihubungi Tambunan dan Albert, apa boleh buat hanya menyatakan: upaya hukum bagi Parla sudah tertutup. Akan halnya lembaga peninjauan kembali bagi perkara yang sudah memperoleh keputusan tetap pengadilan, herziening, menurut Mudjono tak mungkin dimanfaatkan Parla. Karena, kata Ketua MA itu, perkara bekas pemain band tersebut sudah kadaluwarsa. Upaya peninjauan kembali, begitu aturannya, harus dimintakan paling lambat enam bulan sejak keputusan pengadilan yang terakhir. Namun begitu Mudjono masih menjanjikan sesuatu: Mahkamah Agung kalau perlu akan menciptakan hukum baru bagi Parla. Syaratnya, seperti dituturkan Albert kemudian, tentunya bila benar apa yang diriwayatkan Parla tentang pengakuan Suharsono. Dan kisah Parla dan Suharsono itulah yang kini tengah diusut Kejaksaan Agung. Sebegitu jauh hasilnya belum diumumkan. Hanya saja Suharsono, seperti dikatakannya sendiri kepada TEMPO, membantah semua tuduhan Parla. "Semuanya fitnah," katanya kalem. "Saya tak pernah membunuh siapa pun di Palembang," lanjutnya, "karena sejak 1969 sampai 1977 saya ada di Desa Sampora -- kalau tak percaya tanya saja kepala desa dan orang tua saya di sana." Suharsono, 23 tahun, seperti dituturkan bekas Polisi Desa Samporadi Kabupaten Kuningan, Salkam, beberapa tahun yang lalu memang buruk kelakuannya. "Di sini ia memang dikenal sebagai pemuda sompral -- suka ugal-ugalan dan tukang berkelahi," kata Salkam. Maka, ketika pada suatu hari, April 1977, Yulia Andriani (17 tahun) kedapatan mati di sebuah kebun singkong, Salkam langsung saja menyeret Suharsono sebagai si tersangka. Suharsono tak menyangkal. Ya, "saya hanya mengaku membunuh Yuli saja -- karena dia menolak saya kawini," katanya. Untuk kejahatannya itulah ia harus masuk bui selama enam tahun. Tapi, katanya, ia tak ada urusan dengan kematian Masnah di Palembang. Lalu pengakuannya di muka Parla dan kawan-kawan sepenjara lainnya sebagai pembunuh Masnah yang sebenarnya? "Itu fitnah," sangkalnya sekali lagi. Menangis Di Pangkuan Adalah narapidana bernama Legiman Suparman, kata Suharsono, yang memang sakit hati dan membencinya yang mengabarkan ke sana ke mari cerita seperti diungkapkan Parla kemudian. Bukan apa-apa, lanjumya, karena rencana Legiman yang pernah hendak melarikan diri dilaporkannya kepada petugas. Beberapa napi memang mengatakan, Suharsono adalah "mata" petugas, karenanya sangat disegani para penghuni LP di sana. Parla tetap pada tudubannya. Pengakuan Suharsono sebagai si pembunuh Masnah, katanya, tak hanya didengar dari Legiman dan para napi. Bahkan, katanya kepada TEMPO, "saya mempunyai beberapa saksi yang melihat dia menangis di pangkuan saya." Bahwa akhirnya Suharsono menarik pengakuannya, kata Parla penasaran, "itu hak dia -- tapi saya yakin hati nuraninya uk dapat dibohongi." Bagaimanapun pemeriksaan petugas Kejaksaan Agung nanti boleh diharap menjernihkan urusan antara Parla dan Suharsono. Sebab, lebih dua jam berjumpa dengan keduanya, "saya masih belum dapat menarik kesimpulan" kata Albert Hasibuan. Cerita Parla, yang disertai tangis terutama pada bab penganiayaan oleh polisi dan jaksa ("waktu itu saya benar-benar berada dalam cengkeraman manusia berhati iblis," katanya), memang cukup meyakinkan. Paling tidak, ujar Albert, "saya yakin sebagian ceritanya itu benar." Sangkalan Suharsono? Ia memang tak bisa bercerita sepanjang kisah Parla.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus