SERTA merta Kejaksaan Agung menurunkan beberapa petugas ke kaki
Gunung Cireme. Pemeriksaan, dimulai minggu lalu, berlangsung di
dalam dan di luar Penjara (LP Kuningan dan Cirebon (Ja-Bar).
Petugas pemeriksa, Samuel Koro, hendak membuktikan seruan
seseorang yang merasa teraniaya dan dipenjarakan hampir sepuluh
tahun tahpa dosa seperti pernah dituduhkan-membunuh seorang
gadis.
Yang merasa teraniaya adalah Parlaungan Sitompul, 30 tahun. Ia
sedang menjalani hukuman berat di LP Kuningan: 15 tahun penjara.
Padahal, seperti diungkapkannya belum lama ini, orang asal
Palembang tersebut merasa tak selayaknya menanggung derita
seperti sekarang. Bahkan, katanya sebelum itu ia disiksa polisi
dan dianiaya jaksa, yaitu ketika mula-mula didakwa sebagai
pembunuh Masnah (TEMPO, 25 April).
Sungguh mati, kata Parla, sebenarnyalah ada orang lain yang
dianggapnya lebih tepat menggantikan tempatnya. Orang itu,
Suharsono alias Ebo Burhani, yang secara kebetulan juga sedang
mendekam di penjara yang sama. Ikhtiar Parla mengungkapkan siapa
pembunuh Masnah, siswi SLP di Palembang sepuluh tahun yang lalu,
sekaligus juga merupakan upaya menjernihkan namanya.
Parla dibantu Pengacara M. Tambunan dan Anggota Komisi
III/DPR-RI Albert Hasibuan. Hasilnya belum tampak. Ketua
Mahkamah Agung Rl, Mudjono, yang dihubungi Tambunan dan Albert,
apa boleh buat hanya menyatakan: upaya hukum bagi Parla sudah
tertutup.
Akan halnya lembaga peninjauan kembali bagi perkara yang sudah
memperoleh keputusan tetap pengadilan, herziening, menurut
Mudjono tak mungkin dimanfaatkan Parla. Karena, kata Ketua MA
itu, perkara bekas pemain band tersebut sudah kadaluwarsa. Upaya
peninjauan kembali, begitu aturannya, harus dimintakan paling
lambat enam bulan sejak keputusan pengadilan yang terakhir.
Namun begitu Mudjono masih menjanjikan sesuatu: Mahkamah Agung
kalau perlu akan menciptakan hukum baru bagi Parla. Syaratnya,
seperti dituturkan Albert kemudian, tentunya bila benar apa yang
diriwayatkan Parla tentang pengakuan Suharsono.
Dan kisah Parla dan Suharsono itulah yang kini tengah diusut
Kejaksaan Agung. Sebegitu jauh hasilnya belum diumumkan. Hanya
saja Suharsono, seperti dikatakannya sendiri kepada TEMPO,
membantah semua tuduhan Parla. "Semuanya fitnah," katanya kalem.
"Saya tak pernah membunuh siapa pun di Palembang," lanjutnya,
"karena sejak 1969 sampai 1977 saya ada di Desa Sampora -- kalau
tak percaya tanya saja kepala desa dan orang tua saya di sana."
Suharsono, 23 tahun, seperti dituturkan bekas Polisi Desa
Samporadi Kabupaten Kuningan, Salkam, beberapa tahun yang lalu
memang buruk kelakuannya. "Di sini ia memang dikenal sebagai
pemuda sompral -- suka ugal-ugalan dan tukang berkelahi," kata
Salkam. Maka, ketika pada suatu hari, April 1977, Yulia Andriani
(17 tahun) kedapatan mati di sebuah kebun singkong, Salkam
langsung saja menyeret Suharsono sebagai si tersangka.
Suharsono tak menyangkal. Ya, "saya hanya mengaku membunuh Yuli
saja -- karena dia menolak saya kawini," katanya. Untuk
kejahatannya itulah ia harus masuk bui selama enam tahun. Tapi,
katanya, ia tak ada urusan dengan kematian Masnah di Palembang.
Lalu pengakuannya di muka Parla dan kawan-kawan sepenjara
lainnya sebagai pembunuh Masnah yang sebenarnya? "Itu fitnah,"
sangkalnya sekali lagi.
Menangis Di Pangkuan
Adalah narapidana bernama Legiman Suparman, kata Suharsono, yang
memang sakit hati dan membencinya yang mengabarkan ke sana ke
mari cerita seperti diungkapkan Parla kemudian. Bukan apa-apa,
lanjumya, karena rencana Legiman yang pernah hendak melarikan
diri dilaporkannya kepada petugas. Beberapa napi memang
mengatakan, Suharsono adalah "mata" petugas, karenanya sangat
disegani para penghuni LP di sana.
Parla tetap pada tudubannya. Pengakuan Suharsono sebagai si
pembunuh Masnah, katanya, tak hanya didengar dari Legiman dan
para napi. Bahkan, katanya kepada TEMPO, "saya mempunyai
beberapa saksi yang melihat dia menangis di pangkuan saya."
Bahwa akhirnya Suharsono menarik pengakuannya, kata Parla
penasaran, "itu hak dia -- tapi saya yakin hati nuraninya uk
dapat dibohongi."
Bagaimanapun pemeriksaan petugas Kejaksaan Agung nanti boleh
diharap menjernihkan urusan antara Parla dan Suharsono. Sebab,
lebih dua jam berjumpa dengan keduanya, "saya masih belum dapat
menarik kesimpulan" kata Albert Hasibuan. Cerita Parla, yang
disertai tangis terutama pada bab penganiayaan oleh polisi dan
jaksa ("waktu itu saya benar-benar berada dalam cengkeraman
manusia berhati iblis," katanya), memang cukup meyakinkan.
Paling tidak, ujar Albert, "saya yakin sebagian ceritanya itu
benar."
Sangkalan Suharsono? Ia memang tak bisa bercerita sepanjang
kisah Parla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini