Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Armada yang ada saja keterisiannya belum maksimum.
Maskapai memang rute dan slot penerbangan yang tidak menguntungkan.
Menurut Menteri BUMN, Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat.
JAKARTA – Alasan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menggabungkan perusahaan-perusahaan penerbangan pelat merah untuk menambah jumlah pesawat di Tanah Air dianggap kurang tepat oleh sejumlah pemerhati penerbangan. Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, mengatakan kondisi saat ini tidak bisa disebut kekurangan pesawat lantaran armada yang ada pun keterisiannya belum maksimum.
Menurut Alvin, jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia sebelum masa pandemi Covid-19 mencapai sekitar 650 unit. Jumlah itu sempat turun ke kisaran 300 unit pada masa pagebluk. Belakangan, jumlah kapal yang beroperasi mulai meningkat kembali di atas 400 unit. "Apakah itu berarti kurang? Saya tidak terlalu yakin karena maskapai-maskapai ini juga masih kesulitan mengisi pesawatnya," ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Bekas anggota Ombudsman RI itu menuturkan selama ini hampir tidak pernah pesawat yang beroperasi terisi 100 persen. Tiket penerbangan, kata dia, biasanya ludes hanya pada momentum tertentu. Misalnya ketika libur hari kemerdekaan pada 17 Agustus lalu. Itu pun hanya pada rute dan jadwal tertentu. Sementara itu, pada hari biasa, ujar dia, okupansi penumpang jarang sekali mencapai kapasitas penuh.
Bahkan tak jarang maskapai akhirnya memilih membatalkan penerbangan pada jadwal tertentu untuk digabung pada jadwal berikutnya agar penerbangan lebih efisien. Berkaca pada kondisi tersebut, Alvin melihat maskapai-maskapai juga belajar dari pengalaman di masa pandemi lalu agar bisa beroperasi dengan lebih efisien dengan memanfaatkan pesawatnya dengan lebih produktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rute dan slot yang tidak menguntungkan dipangkas supaya operasi mereka lebih menguntungkan. Ketimbang dulu terbang sehari delapan kali tapi penumpangnya sedikit," kata Alvin.
Kalaupun ada layanan yang masih kurang, menurut dia, adalah pada segmen penerbangan dari bandara-bandara pengumpan di kota kecil ke kota besar. Selama ini penerbangan segmen tersebut hanya dilayani satu perusahaan dan minim persaingan. Sementara itu, di segmen pesawat jet, yang juga dilayani oleh tiga perusahaan penerbangan pelat merah, justru pemain dan pesawatnya cukup banyak sehingga persaingan ketat.
Karena itu, ia menilai rencana merger BUMN penerbangan untuk mengejar kekurangan jumlah pesawat tersebut menjadi kurang tepat. Di samping itu, gagasan itu tidak akan menyelesaikan masalah tingginya tarif penerbangan. "Tidak akan bisa membuat tarif penerbangan lebih terjangkau. Justru khawatir menjadi tidak efisien."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makapai penerbangan Citilink di bandara Soekarno Hatta Tangerang, Banten. Tempo/Tony Hartawan
Kekurangan 200 Unit Pesawat
Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan rencana merger tiga BUMN penerbangan, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Citilink Indonesia, dan Pelita Air, dalam sebuah diskusi di Tokyo, Jepang, pada Senin lalu. Ia mengatakan merger menjadi salah satu upaya untuk mendorong efisiensi pada tubuh maskapai milik negara.
Erick memperkirakan saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat untuk bisa melayani masyarakat dan logistik secara optimal. Angka tersebut diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia. Ia berujar, di Negeri Abang Sam setidaknya terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik.
Pesawat-pesawat itu tersedia untuk melayani 300 juta warga AS dengan rata-rata pendapatan per kapita US$ 40 ribu. Dengan penduduk Indonesia mencapai 280 juta jiwa dan pendapatan sebesar US$ 4.700, ia memperkirakan Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Adapun sekarang Indonesia baru memiliki 550 pesawat. "Jadi, perkara logistik kita belum sesuai," ujarnya.
Untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat tersebut, Erick membuka peluang penggabungan tiga maskapai penerbangan BUMN. "BUMN terus menekan biaya logistik. Contohnya Pelindo, dari empat perusahaan menjadi satu. Kami juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda melakukan merger untuk menekan biaya," kata dia.
Membuat Lessor Berpikir Ulang
Pemerhati industri penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan merger tidak akan menyelesaikan masalah kekurangan armada seperti yang disampaikan Erick Thohir. Musababnya, dengan menggabungkan perusahaan lain dengan Garuda yang baru saja menjalani proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), akan membuat lessor pesawat berpikir ulang dalam memberikan pinjaman kepada Garuda.
"Kalau kekurangan armada, lantas dimerger di bawah Garuda, ya, bakal tambah kekurangan lagi. Lessor akan mikir-mikir mau leasing ke Garuda," kata Gerry. Ia menduga lessor akan lebih mudah memberikan pembiayaan kepada Pelita Air karena perusahaannya berbeda dengan Garuda dan keuangannya lebih sehat.
Di samping itu, Garuda masih terikat secara hukum dengan proposal perdamaian yang disetujui dalam proses PKPU pada tahun lalu. Ia mengingatkan bahwa setiap aksi korporasi yang menyimpang dari rencana bisnis yang telah disepakati bisa menimbulkan keberatan kreditor.
Gerry juga mengatakan merger BUMN penerbangan bukan solusi untuk persoalan industri aviasi. Terlebih jika melihat kondisi finansial setiap perusahaan. Garuda, misalnya, masih memerlukan waktu untuk pulih pasca-PKPU. Citilink diperkirakan merugi tahun ini. Adapun keuangan Pelita Air belum benar-benar kuat.
Ketimbang merger, ia menambahkan, pemerintah seharusnya membenahi perusahaan tersebut satu per satu sesuai dengan permasalahan dan kebutuhannya. Pembenahan internal pada Grup Garuda dianggap sebagai kunci menggeliatkan kembali industri penerbangan. Nantinya kekurangan pesawat bisa dipenuhi setelah kinerja keuangan maskapai pulih dan swasta juga mengincar ekspansi.
"Masalahnya, pada tahun ini, harga lease dan ketersediaan pesawat di pasar sekunder juga lagi mahal dan jarang. Benar-benar beda dibanding tahun lalu," kata Gerry.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, menuturkan saat ini pembicaraan mengenai merger masih terus berlangsung. Ia memastikan rencana penggabungan perusahaan antara Grup Garuda dan Pelita Air akan dilandasi kajian proyeksi bisnis yang cermat. "Proses diskusi perihal langkah penjajakan aksi korporasi tersebut masih terus berlangsung," ujarnya.
Ia mengimbuhkan, rencana pengembangan bisnis setelah penggabungan perusahaan masih berada di tahap awal. Saat ini, ucap dia, para pihak tengah mengeksplorasi berbagai peluang sinergi bisnis untuk mengoptimalkan profitabilitas sekaligus memperkuat ekosistem bisnis transportasi udara di Indonesia.
CAESAR AKBAR | AMELIA RAHIMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo