Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Studi Small Business Barometer Report mengungkapkan rendahnya minat usaha mikro dan kecil terhadap kredit atau pinjaman. Studi ini dilakukan oleh Mastercard Center for Inclusive Growth bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia dan 60 Decibels. Setidaknya 835 usaha kecil telah diwawancarai, yang tersebar di wilayah perkotaan dan pedesaan sejak November 2023 hingga Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil studi menunjukkan, dua pertiga UMK tidak mengakses kredit atau pinjaman selama 12 bulan terakhir. Kemudian, 62 persen diantaranya menyatakan tidak membutuhkan kredit, yang mencerminkan tren kemandirian finansial di kalangan UMK. Hal ini selaras dengan data World Bank yang menunjukkan bahwa usaha-usaha di Indonesia lebih memilih pembiayaan mandiri melalui keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki mengatakan, rasio kredit UMKM masih sekitar 20,3 persen. Hal ini berarti bahwa mayoritas dari usaha-usaha tersebut tidak merasa perlu mengakses kredit pembiayaan untuk usahanya.
"Jadi, memang masih banyak UMKM yang merasa bahwa tidak membutuhkan pembiayaan, sehingga skalanya masih tetap seperti itu," katanya di Hotel Pullman, Jakarta Pusat pada Kamis, 27 Juni 2024.
Berdasarkan studi tersebut, hampir separuh dari UMK yang butuh kredit mengaku tak mengalami hambatan dalam mengakses kredit. Akan tetapi, tetap ada tantangan yang signifikan dalam mengaksesnya. Suku bunga yang tinggi, kurangnya agunan, hingga kurangnya informasi menjadi rintangan utama. Kemudahan pengajuan menjadi alasan tertinggi pemilik UMK memilih sumber kredit dan pinjamannya, dengan persentase 75 persen.
Sebanyak 34 persen dari UMK mengaku tidak menemukan hambatan dalam mengakses kredit. Sementara itu, 33 persen lainnya mengaku mampu mengakses kredit. Jumlah keduanya yang hampir sama banyak membuktikan ketangguhan UMK.
Kemudian, 51 persen UMK mengatakan bahwa akses modal dan pelatihan merupakan dukungan yang mereka butuhkan. Namun di sisi lain, mereka merasa bahwa akses terhadap keterampilan manajemen keuangan jauh lebih penting daripada akses permodalan. Adapun persentase UMK yang menilai lebih perlu keterampilan manajemen keuangan sebesar 89 persen dan akses permodalan 77 persen.
Maliki menuturkan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Ultra Mikro (UMi) sebenarnya sudah hadir untuk membantu para pelaku usaha yang membutuhkan pembiayaan. Namun, kata dia masih ada sejumlah catatan agar dapat lebih mengakomodasi usaha.
"Masalahnya itu sebenarnya tentunya adalah jumlah, mungkin jumlahnya juga masih kurang. Yang kedua adalah pinjaman itu mau dipakai apa, sih. Jadi, perencanaannya itu yang harus kita tekankan kepada mereka," tutur Maliki.
Dia menambahkan, akses pembiayaan tersebut akan ditambah. "Menambah jumlah, menambah akses, terutama melalui KUR. Mungkin skema-skema juga berbeda, sehingga nanti berbagai karakterisasi dari UMKM ini akan bisa diakomodasikan."
Pilihan Editor: Rugi Rp 1,8 Triliun, Bos Kimia Farma Beberkan Penyebabnya