SI vis pacem para belum, kata pepatah Rumawi kuno, yang artinya "jika mau damai siapkanlah perang". Langkah-langkah persiapan perang yang terjadi di sekitar Teluk menjelang Selasa 15 Januari pekan ini mudah-mudahan memang hanya sekadar persiapan damai. Namun, apa pun yang akan terjadi, tentu akan sangat berpengaruh bagi perekonomian dunia sepanjang tahun 1991, dan mungkin juga untuk beberapa tahun mendatang. Suatu diskusi tertutup yang belum lama berlangsung di Jakarta menyimpulkan hal tersebut. Diskusi itu melihat perkembangan ekonomi dunia dan dampak penyelesaian krisis Teluk, melalui empat skenario. Menurut skenario pertama, jika krisis Teluk cepat berakhir, negara-negara industri yang tergabung dalam IEA (International Energy Agency) akan mengeluarkan minyak dari cadangan strategis mereka, untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kesimpulan yang dirumuskan 4 Januari lalu itu terbukti benar adanya. Jumat, 11 Januari, organisasi IEA, yang beranggotakan 21 negara, telah sepakat akan melepaskan 2,5 juta barel per hari jika perang Teluk terjadi. AS akan memompa 500 ribu barel, Jepang dan Jerman masing-masing melepaskan 350 ribu barel dan 300 ribu barel per hari. Pada saat yang sama OPEC, kecuali Irak dan Kuwait, akan meningkatkan produksinya setinggi mungkin. Hal ini pun memang telah terjadi. Di awal 1991, krisis Teluk diduga akan mereda sehingga harga minyak akan turun kembali menjadi sekitar US$ 21-23 per barel selama kuartal pertama dan kedua tahun 1991. Namun, dampak kenaikan harga minyak itu akan menghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Akibatnya, harga minyak meluncur kembali ke US$ 17-18 di kuartal ketiga 1991. Skenario kedua, yakni jika penyelesaian krisis Teluk tidak mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini akan mendorong importir minyak untuk terus menimbun stok, sementara OPEC terus meningkatkan produksi. Berkurangnya suplai minyak dari Irak dan Kuwait telah menyebabkan harga naik sekitar US$ 33 pada akhir 1990. Namun, permintaan pasar akan menjadi lebih transparan pada tahun 1991 sehingga harga akan melorot sampai US$ 29 selama semester I 1991. Jika krisis Teluk tampak mereda, harga minyak berangsur turun menjadi US$ 25-26 pada periode Juli 1991 hingga akhir 1992. Sedangkan dalam skenario ketiga disebutkan, jika ketegangan di Teluk berlarut sampai beberapa tahun, harga minyak akan berfluktuasi di sekitar US$ 25 per barel selama lima tahun. Suplai akan meningkat hingga suatu waktu permintaan minyak menurun, dan terbentuk harga baru yang lebih rendah. Skenario keempat adalah jika terjadi perang. Hal ini akan berakibat fatal bagi instalasi perminyakan di Irak, Kuwait, dan Arab Saudi. Akibatnya, suplai minyak dari Teluk berkurang sekitar 10 juta barel per hari. Harga minyak akan meningkat tajam sepanjang tahun 1991 (tak disebutkan pada harga berapa), lalu mengendap pada harga US$ 30-40 selama lima tahun berikutnya. Diskusi yang menelurkan empat skenario itu sebenarnya merupakan pembahasan lanjutan dari Laporan Bank Dunia pada bulan September 1990 serta analisa majalah Newsweek edisi 24 Desember 1990. Laporan Bank Dunia memang dibuat terlalu awal, jauh sebelum keluarnya resolusi PBB tentang batas waktu 15 Januari bagi penarikan tentara Irak dari Kuwait. Sebaliknya, analisa Newsweek, edisi 24 Desember lalu, menyorot dampak perekonomian AS lewat tiga skenario penyelesaian krisis Teluk, dan sekaligus memperhitungkan batas waktu 15 Januari itu. Skenario pertama mengasumsikan tercapainya solusi damai. Harga minyak akan merosot sampai US$ 15 per barel sehingga OPEC terpaksa sidang darurat, demi harga yang lebih tinggi. Diperkirakan, penyelesaian secara damai ini akan mendorong perekonomian untuk tumbuh secara moderat. Bagaimana jika perang meletus? Menurut Newsweek, dampak ekonominya tentu akan bergantung pada lamanya perang. Kepanikan akan menyebabkan harga minyak meningkat sampai US$ 75-90 atau tiga kali lipat harga yang berlaku sekarang. Jika perang berlangsung singkat, harga minyak akan merosot tajam. Namun, bila krisis menemukan jalan buntu, harga minyak naik, resesi akan berlarut-larut, dan pengangguran meluas. Yang juga menarik dicatat ialah, begitu perundingan antara Menlu AS James Baker dan Menlu Irak Tareq Aziz gagal, Rabu silam, harga minyak meloncat sekitar US$ 7. Harga West Texas Intermediate, misalnya, mencapai US$ 34. Sebaliknya, minyak Minas dari Indonesia, untuk penyerahan Januari, ditetapkan harganya US$ 25,48 per barel, berarti turun jika dibandingkan harga Desember 1990 yang US$ 29,01 per barel. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, yang melaporkan soal harga ini kepada Presiden Soeharto, Sabtu pekan silam, menjelaskan bahwa harga itu turun karena saat diputuskan banyak terpengaruh akan tercapainya perdamaian di Teluk. Kuat dugaan, harga Minas ditentukan, jauh sebelum gagalnya perundingan Baker-Tareq. Padahal, kegagalan itulah yang melambungkan harga minyak. Jelas di sini bagaimana krisis Teluk telah dengan sewenangwenang mempermainkan harga. Selain harga minyak, nilai mata uang dan harga saham juga ikut terombang-ambing. Menjelang tenggat (deadline) 15 Januari 1991, beberapa pakar ekonomi internasional telah memperkirakan jika perang meletus, para investor diduga akan menabrak berbagai mata uang, khususnya Swiss franc. Dolar akan tetap dipegang karena pemerintah AS diduga akan menaikkan suku bunga. Sebaliknya, harga-harga saham dan obligasi di pasar modal akan berjatuhan. Sedangkan emas tak akan banyak diborong investor, kecuali oleh bank-bank sentral yang ingin memperkuat cadangan devisanya. Max Wangkar, Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini