Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramai-ramai listrik swasta

Pemerintah menyetujui swastanisasi pembangunan pltu. pt bimantara bayu nusa (bbn) dan ipc memperebutkan proyek pltu unit 7 & 8 di paiton, ja-tim. proyek paiton diharapkan selesai tahun 1995.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MONOPOLI PLN (Perusahaan Litrik Negara) sebagai pemasok listrik bagi masyarakat umum tampaknya sudah akan berakhir. Tak berapa lama lagi, era swastanisasi listrik akan dimulai, yang mudah-mudahan bisa lebih bagus dari era byar-pet yang akan segera lewat. Kini, tak kurang dari 39 perusahaan swasta telah mengajukan permohonan untuk menjadi pemasok listrik. Ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Energi Baru, Prof. Dr. Ir. Artono Arismunandar, kepada TEMPO pekan lalu. Di antaranya ada sebuah konsorsium yang dipimpin perusahaan lokal, bernama PT Bimantara Bayu Nusa (BBN). Selain itu ada konsorsium yang dipimpin Inter- continental Power Corporation (IPC) dari AS. Keduanya memperebutkan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) unit 7 & 8 di Paiton, Jawa Timur. "Mereka yang minta, ya kita berikan," kata Dirjen Arismunandar. Tentu saja kedua perusahaan itu harus bersaing lewat tender. Menurut Presdir BBN, Ir. Drs. Justian Suhandinata, ide listrik swasta ini sudah dikemukakan oleh perusahaannya tiga tahun lalu. "Kami melihat investasi pemerintah tak cukup untuk memenuhi permintaan listrik masyarakat. Laju permintaan listrik setahun sekitar 18%, yang terpenuhi cuma sekitar 13%. Tahun lalu ide ini kami lemparkan lagi dan baru ditanggapi pemerintah," Justian menjelaskan lebih rinci. Tindakan ini seirama dengan UU Ketenagalistrikan, yang telah memungkinkan swasta ikut membangun pembangkit listrik. Di pihak lain Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita berpendapat, kurangnya suplai listrik bukan karena kesalahan PLN. "Ketika UU Kelistrikan disahkan tahun 1985, suplai listrik memadai. Bahkan kelebihan, sehingga banyak pembangkit listrik yang menganggur. Kalau waktu itu swasta masuk, tentu mereka rugi," kata Ginandjar kepada Iwan Qodar Himawan dari TEMPO. Dirut PLN Ir. Ermansyah Yamin mengatakan, bahkan pada tahun 1989, PLN sulit memasarkan listrik. "Mungkin karena harga BBM masih murah. Industri yang ditawari listrik PLN biasanya menolak, karena mereka menilai bisa memakai listrik dengan diesel sendiri, yang lebih murah," katanya dalam wawancara terpisah. Tak heran bila pembangunan pembangkit listrik untuk Pelita V hanya ditargetkan 3.680 MW, lebih rendah dari pembangunan pembangkit listrik pada Pelita IV, yang mencapai 5.200 MW. Menurut Yamin, laju permintaan listrik diperkirakan sekitar 15% per tahun. Tapi laju permintaan listrik di tahun 1989-1990 melonjak sampai 18,7%. "Hal ini disebabkan oleh industri yang berkembang sangat pesat," kata Dirut PLN itu. Tak ada jalan lain, pihak swasta harus diikutsertakan. Dan menurut Yamin, sementara ini ada sekitar 2.400 MW yang akan diserahkan pembangunannya kepada swasta. Dalam hal pemasaran, pihak PLN menawarkan dua pilihan. Investor bisa memilih lokasi sendiri, misalnya untuk memasok listrik di suatu kawasan industri. Alternatif kedua, investor bisa juga memasok listrik untuk dijual kepada PLN, yang kemudian disalurkan ke masyarakat lewat saluran distribusi dan pemasaran PLN. Proyek pertama sebagai percontohan adalah PLTU unit 7 & 8 di Paiton, yang diincar dua konsorsium di atas. Pihak BBN merasa yakin akan mampu bersaing lawan konsorsium IPC. "Kami bekerja sama dengan perusahaan Hopewell dari Hong Kong, C. Itoh dan Toyo Menka dari Jepang," kata Presdir BBN kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Menurut Justian, Hopewell adalah perusahaan Hong Kong yang memenangkan tender pembangunan dua unit pembangkit listrik (masing-masing berkapasitas 350 MW) di RRC. Hopewell rupanya dinilai sukses, sehingga RRC meminta Hopewell untuk membangun dua lagi unit pembangkit listrik, masing-masing berkekuatan 600 MW. Sementara itu, Hopewell juga membangun tiga unit listrik lainnya di Filipina. Sedangkan C. Itoh dan Toyo Menka agaknya diajak BBN untuk membantu mencarikan dana yang ternyata tidak sedikit. Seperti diungkapkan Dirjen Arismunandar, Paiton unit 7 & 8 membutuhkan investasi sekitar US$ 1,2 milyar. Awal Januari ini, pemerintah telah mengeluarkan syarat-syarat tender atau TOR (terms of reference) untuk Paiton 7 & 8. Sebulan setelah mengambil TOR, investor sudah harus menyetor jaminan bank sebesar US$ 1,2 juta. Sesudah itu, paling lambat dalam 150 hari, investor harus memasukkan rancangan dan penawaran tender. Kemudian, akan ada evaluasi dan diskusi dengan PLN, yang diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan. Tapi pemerintah mengharapkan, proyek Paiton selesai tahun 1995. Listrik swasta itu akan dibeli PLN. Namun, pemerintah akan menetapkan harga melalui negosiasi, jadi tidak seenaknya. "Memangnya pemerintah tidak tahu biaya produksinya?" begitu celetukan Dirjen Arismunandar. Di pihak lain, konsumen tentu cuma bisa berharap agar swastanisasi listrik tidak menjadi picu untuk kenaikan tarif. Selain itu, servisnya mesti lebih canggih. MW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus