Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah ruangan disiapkan di Hotel Prince, Karuizawa, Nagano timur, Jepang, pukul sepuluh pagi waktu setempat. Di kawasan resor terkenal di Distrik Kitasaku—sekitar empat jam perjalanan bermobil dari Tokyo—itulah pertemuan menteri negara-negara G-20 berlangsung.
Media peliput G-20 mendapat informasi bahwa akan ada penjelasan tentang kerja sama bilateral dan penandatanganan perjanjian, Ahad, 16 Juni lalu. Kabar ini berembus sehari sebelumnya, tanpa kepastian. Namun, pagi itu, bendera Indonesia dan
Jepang sudah dipasang di meja depan
ruangan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, tuan rumah datang. Tim dari Jepang mengambil posisi di kanan meja. Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Seko Hiroshige memasuki ruangan. Ia mendekati pewarta, meminta maaf karena terlambat. “Tadi ada urusan dengan perwakilan Uni Eropa,” ujarnya dalam bahasa Jepang. Acara dimulai setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan datang beberapa menit kemudian.
Barulah semuanya terang. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama Inpex Corporation meneken perjanjian pendahuluan (heads of agreement) pengembangan lapangan gas Abadi di Blok Masela, Laut Arafura, Indonesia. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dan Presiden Inpex Masela Ltd Shunichiro Sugaya meneken kesepakatan itu. Jonan mengatakan perjanjian tersebut menjadi momentum masuknya investasi besar ke Indonesia.
Dwi mengungkapkan, tak ada hal prinsip yang membuat acara ngaret. “Sejak jauh hari kami menargetkan ada penandatanganan pada pertemuan G-20,” ucapnya, Rabu, 19 Juni lalu. Indonesia ingin Menteri Seko bisa menjadi saksi perjanjian tersebut. Hal itu penting supaya megaproyek gas di laut dalam senilai US$ 20 miliar (lebih dari Rp 280 triliun) itu tidak sebatas urusan korporasi, tapi juga menjadi komitmen kedua pemerintah. Karena itu, Menteri Jonan dan Menteri Seko meneken nota kesepahaman kerja sama di bidang energi sebelum penandatanganan perjanjian pendahuluan Blok Masela.
Momentum Kunci Megaproyek Abadi
Inpex mendapat hak melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Masela melalui kontrak bagi hasil yang diteken pada 16 November 1998. Sejak itu, Inpex—melalui Inpex Masela Ltd—menggeber eksplorasi hidrokarbon di wilayah kerja minyak dan gas tersebut.
Cadangan gas ditemukan pada 2000. Saat itu Inpex Masela mengebor sumur eksplorasi pertama, yaitu Abadi-1. Sumur ini berada di tengah struktur Abadi dengan kedalaman laut 457 meter dan total kedalaman 4.230 meter. Perusahaan memperoleh persetujuan sementara dokumen rencana pengembangan (plan of development/POD) pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 30 Desember 2008. Saat itu Menteri Energi dijabat Purnomo Yusgiantoro.
Untuk menindaklanjuti perjanjian pendahuluan, Inpex buru-buru merampungkan dokumen revisi rencana pengembangan proyek gas alam cair Abadi. Presiden Inpex Masela Shunichiro Sugaya menyerahkannya kepada Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Kamis, 20 Juni lalu. Dalam pertemuan itu, Dwi didampingi Wakil Kepala SKK Migas Sukandar dan Deputi Perencanaan Jaffee Suardin.
“Saya terima langsung bersama Wakil Kepala dan Deputi Perencanaan,” Dwi memberikan konfirmasi. SKK Migas akan mengkaji dan memproses dokumen tersebut untuk mendapat persetujuan dari Menteri Energi.
Pengajuan dokumen itu menindak-lanjuti serangkaian perundingan antara Kementerian Energi, SKK Migas, dan Inpex. Revisi rencana pengembangan ini dilandasi skema pengembangan kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di darat. Sebelumnya, konsep pengembangan LNG digagas di laut. Revisi rencana tersebut sejalan dengan pre-front end engineering design yang dilakukan pada Maret-Oktober 2018.
Dalam dokumen yang baru, perusahaan merancang kilang LNG berkapasitas produksi 9,5 juta ton per tahun. Poin-poin yang telah disepakati dalam perjanjian pendahuluan, seperti estimasi biaya proyek, skema bagi hasil, dan periode kontrak bagi hasil, tertulis di situ. Dalam keterangan tertulisnya, Inpex menyebutkan perubahan skema bagi hasil itu akan dituangkan melalui amendemen. Di antaranya akomodasi tambahan waktu tujuh tahun sebagai “kompensasi” atas waktu yang habis untuk mengkaji skema pengembangan yang sempat berubah.
Rencana pengembangan itu juga memperhitungkan perpanjangan durasi kontrak untuk mencapai keekonomian proyek dengan mempertimbangkan prospek produksi jangka panjang. Perusahaan mengusulkan jangka waktu kontrak bagi hasil sampai 2055. Penambahan waktu tujuh tahun dan perpanjangan 20 tahun didasari kesepakatan dalam perjanjian pendahuluan yang diteken di Karuizawa. Perusahaan mencatat cadangan gas Lapangan Abadi mencapai 10,7 triliun kaki kubik.
Wakil Presiden Shell untuk Abadi, Li P’ing Yu, menyambut kemajuan pengembangan proyek Abadi. “Pengajuan revisi POD adalah tonggak penting untuk merealisasi megaproyek strategis nasional Indonesia,” ujarnya. Inpex berkomitmen bersama Shell mencapai keputusan investasi final. “Dan pada akhirnya memulai produksi bekerja sama dengan pemerintah Indonesia,” kata Shunichiro Sugaya.
PERUNDINGAN mengenai rencana pengembangan gas Masela jalan di tempat ketika Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar memimpin negosiasi. Pembahasan mentok di persoalan biaya investasi proyek. Dalam beberapa rapat pembahasan, Arcandra meminta Inpex menekan ongkos menjadi US$ 16 miliar.
Adapun berdasarkan desain rekayasa awal yang berakhir Oktober 2018, Inpex mengajukan US$ 20,3 miliar. Angka ini sejalan dengan permintaan Menteri Energi Ignasius Jonan, yakni biaya investasi proyek gas di Laut Arafura itu bisa ditekan dari semula US$ 25-26 miliar menjadi US$ 20-21 miliar. “Masela sudah berdiskusi. Mungkin nanti rencana pengembangannya bisa kurang menjadi US$ 20-21 miliar,” katanya, 26 November 2018.
Lantaran tak kunjung ada kesepakatan, Arcandra mengusulkan beberapa tenaga ahli dari Houston, Amerika Serikat, turut membahas Masela. Sesi penutup pertemuan yang melibatkan ahli diadakan di kantor Kementerian Energi, Jumat, 1 Februari lalu. Arcandra menguliti satu per satu fasilitas produksi. Saat membahas fasilitas kilang gas alam cair, misalnya, ia membandingkannya dengan proyek LNG Sengkang di Sulawesi Selatan. Proyek yang telah memasuki tahap konstruksi itu tengah disetop.
Alih-alih mengomentari proyek Sengkang, Inpex membandingkan proyek gas Abadi dengan Tangguh Train 3 di Papua, yang memperlihatkan Abadi hampir sama dengan Tangguh. Inpex juga menunjukkan proyek kilang LNG di darat terbaru lain yang sedang dalam tahap konstruksi. Tapi Arcandra tetap meminta Inpex memangkas biaya fasilitas kilang LNG.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar dan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, 10 Juni lalu.
Perundingan melaju tiga bulan terakhir setelah Dwi Soetjipto, yang baru dilantik menjadi Kepala SKK Migas pada Desember 2018, intensif memimpin langsung pembahasan Masela mulai Maret lalu. Di tingkat kementerian, Menteri Jonan ikut terjun langsung, terutama menjelang penandatanganan risalah rapat antara Dwi dan CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda di -Tokyo, 27 Mei lalu.
Dwi mencoba mencari jalan tengah. Ia menggagas kemungkinan menjadikan biaya proyek sebagai salah satu variabel penghitungan. Ini akan berujung pada pola bagi hasil. Muara dari semua masalah itu adalah tingkat pengembalian investasi alias internal rate of return. Dwi memahami kepentingan investor untuk mencapai tingkat keekonomian yang wajar. Dalam negosiasi sebelumnya disepakati bahwa tingkat pengembalian investasi tidak kurang dari 15 persen.
Ihwal tingkat pengembalian investasi, Dwi melihat investor asing yang bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero) sebagai pembanding. Dalam pengalamannya bernegosiasi dengan investor asing yang menggarap proyek Pertamina, mereka kebanyakan meminta tingkat pengembalian 18 persen. Itu sebabnya ia menilai usul Inpex masih wajar. “Ini berbeda dengan investor dalam negeri, yang biaya proyeknya bisa ditekan karena tidak memasukkan faktor risiko keamanan negara,” tutur bekas Direktur Utama Pertamina itu.
Dwi mengusulkan konsep biaya proyek sebagai angka estimasi. Adapun nilai final akan ditetapkan setelah proyek terealisasi dan diaudit. Bila dalam pelaksanaannya terjadi kenaikan harga baja atau biaya pengeboran membengkak, misalnya, bagi hasil akan terpengaruh. Setiap penambahan ongkos proyek bakal menyebabkan jatah bagi hasil pemerintah berkurang. Tapi pemerintah mematok bagian negara sekurangnya 50 persen. Sebaliknya, jika pelaksanaan proyek bisa efisien, bagian pemerintah meningkat ke arah 60 persen, sementara jatah kontraktor turun ke arah 40 persen. Menurut Dwi, konsep ini sebenarnya telah tertuang dalam kontrak bagi hasil, tapi belum rinci.
Dengan kalkulasi itu, Dwi melanjutkan, ada kepentingan untuk mengamankan jatah bagi hasil pemerintah. Ia menegaskan, SKK Migas akan mengontrol pelaksanaan proyek. “Kami harus taruh orang-orang berpengalaman di proyek,” ucapnya. Dwi berencana membentuk tim khusus yang akan terlibat langsung dalam proyek. Awak tim bisa berasal dari lingkup internal atau luar SKK Migas. Rencana pembentukan tim ini juga telah disepakati dalam perjanjian pendahuluan.
Tim akan lebih berupaya agar proyek efisien. Perizinan dan penyediaan lahan, yang biasanya memakan waktu, misalnya, akan dibantu pemerintah agar lebih ringkas. Untuk urusan lahan, SKK Migas telah berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Bila proyek rampung setahun lebih cepat, potensi efisiensi atau penghematan mencapai US$ 300-400 juta. “Sebaliknya, potensi kerugian yang sama terjadi bila pengerjaan molor,” kata Dwi.
Dwi optimistis pembahasan revisi rencana pengembangan tak akan memakan waktu lama. Sebab, sebagian besar aspek rencana itu telah disepakati. Tinggal dari sisi ekonomi yang belum mencapai titik temu. Apalagi pemerintah punya agenda: dokumen rencana pengembangan yang baru bisa diteken pada puncak pertemuan G-20 di Jepang, 28-29 Juni ini. Presiden Joko Widodo dijadwalkan menghadiri momentum kunci megaproyek Abadi tersebut.
RETNO SULISTYOWATI, JAJANG JAMALUDIN (KARUIZAWA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo