SYAFRUDDIN Temenggung muncul di ruangannya dengan segepok dokumen di tangan.Dengan bersemangat Ketua BPPN ini membuka lembar demi lembar untuk menunjukkan kepada TEMPO sejumlah pemenang aset kredit dalam program penjualan aset kredit (PPAK). Nada bangga terdengar jelas dari mantan sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan ini ketika memperlihatkan penawaran yang diajukan investor pada aset kredit perusahaan tekstil milik Johannes Kotjo, Grup APAC. Bayangkan, dengan harga dasar Rp 373 miliar, aset ini ditawar investor yang mengusung nama Raul Limited sampai Rp 630 miliar. Tawaran yahud yang langsung disambar BPPN. Rahul dinyatakan sebagai pemenang.
Tapi itu kejadian pada awal Agustus. Minggu lalu, terjadi perubahan besar. Raul mundur dengan alasan tak jelas. Penawaran jatuh ke daftar kedua dan ketiga. Herannya, mereka melakukan tindakan serupa. Aroma tak sedap pun menyebar dari penawaran aset kredit itu. Ini ditegaskan oleh sumber TEMPO yang melihat ada sejumlah kejanggalan di sana. Tarik-ulur soal siapa yang harus menang untuk aset kredit Grup APAC yang berutang pokok Rp 1,3 triliun ini sangat ketat. Lembaga penyehatan perbankan itu, tambahnya, bingung menentukan pilihan. Akhirnya, transaksi pun dinyatakan batal alias tidak jadi dijual. Kalau dipaksakan, pilihan bakal jatuh ke penawar keempat, Peak Aim Development Ltd., yang hanya menawar Rp 410 miliar?berselisih Rp 220 miliar dibandingkan dengan penawaran Raul Limited.
Ini bukan cuma satu-satunya bentuk kejanggalan yang mewarnai penjualan 2.500 aset utang senilai Rp 185 triliun yang pemenangnya diumumkan BPPN, akhir Juli lalu. Saat itu, dari hitungan BPPN, dari utang pokok Rp 135 triliun, lembaga penyehatan perbankan itu akan mendapat hasil Rp 22 triliun. Hasil yang dibanggakan Ketua BPPN itu dinodai dengan selentingan bahwa banyak dari harta utang itu dibeli investor yang sepertinya punya pertalian erat dengan pemilik lama.
Nyatanya, menurut sumber TEMPO, kini ada beberapa bukti yang menguatkan selentingan itu. Utang si raja hutan Bob Hasan, misalnya, dibeli konsorsium Bank Mandiri dan mitranya, Anugra Cipta Investama (lihat Anugerah dari Nusakambangan). Yang menarik, sebagian besar utang tersebut tadinya berasal dari bank pemerintah yang sudah melebur ke Bank Mandiri, seperti Exim, BDN, dan Bapindo. Ada juga konsorsium Bank Mandiri dengan Jasabanda Garta, yang memborong aset kredit Grup Djajanti. Dulunya kredit perusahaan yang bergerak di bidang hasil bumi ini mengucur dari BDN dan Bank Exim.
Dokumen yang didapat mingguan ini juga menunjukkan sejumlah penawaran yang diajukan investor persis sama dengan harga dasar atau paling beda tipis. Ini seperti mengonfirmasi cerita miring tentang bocornya harga dasar yang isunya tak bisa tenggelam meski berkali-kali dibantah sejumlah petinggi BPPN.
Kasus pembatalan tak hanya pada aset Grup APAC, tapi juga dilakukan investor lainnya seperti Verandah International Ltd., yang menawar aset Grup Rajawali. BPPN menjual aset utang milik Peter Sondakh, yang berutang Rp 2,4 triliun ke negara ini, dengan harga dasar Rp 454 miliar. Verandah, sebuah perusahaan kertas yang diisukan masih milik Peter Sondakh, menawar lumayan bagus, Rp 624 miliar. Penawar kedua, Neoasia Holding Ltd., yang menawar Rp 562 miliar, juga ikut mundur. Alhasil, pemenangnya jatuh ke penawar ketiga, PT Danatama Makmur. Menurut sebuah sumber, yang mendapat aset itu, ya, dia-dia juga. Sebab, Danatama digunakan Peter Sondakh untuk membeli kembali asetnya dengan harga hanya Rp 514 miliar. Memang masih di atas harga dasar, tapi turun Rp 111 miliar dari penawaran pertama.
Total jenderal, jumlah kerugian yang dialami negara dengan mundurnya sejumlah investor itu mencapai Rp 500 miliar (lihat tabel). Belum termasuk sejumlah aset lainnya yang masih harus ditawar ulang karena harga penawaran investor kedua atau ketiga di bawah harga minimal yang ditetapkan BPPN. Tragis. Dari utang pokok Rp 135 triliun, hanya sekitar Rp 22 triliun yang bisa dikais BPPN, itu pun harus dikurangi sekitar Rp 500 miliar karena aksi mundur rame-rame tersebut.
Ada apa sebenarnya? Jelas ada keanehan, kata pengamat ekonomi Dradjad Wibowo. Selain merupakan konsekuensi yang harus ditanggung BPPN karena mengobral aset tanpa direstrukturisasi, dia menduga kemungkinan telah terjadi "main mata" antara oknum pejabat BPPN dan para pembeli. Lubang terjadinya permainan memang bertaburan dalam proses penjualan aset kredit BPPN yang melibatkan uang dalam jumlah superbesar ini, karena tak adanya keterbukaan dan rambu hukum yang jelas.
Dugaan serupa dilontarkan oleh mantan pejabat Assets Management Credit (AMC) BPPN, Andreas Bunanta. Kecurigaan sebenarnya bisa ditekan bila BPPN menetapkan aturan untuk melakukan diskualifikasi pada pemenang yang gagal membayar aset yang sudah ditawarnya. Kalau ini yang diterapkan, bakal sejalan dengan kebijakan BPPN seperti yang dikatakan Deputi AMC BPPN, M. Syahrial, beberapa waktu lalu, bahwa penjualan aset ini bersifat putus. Mereka yang dinyatakan sebagai pemenang harus menerima aset tersebut, baik atau busuk. Artinya, semua risiko dari kredit yang dibeli menjadi tanggung jawab pembeli. Nyatanya, ketika belakangan para pemenang mengajukan berbagai persyaratan?dan tidak bisa dipenuhi?mereka diperbolehkan mengundurkan diri.
Kata sumber tadi, mundurnya investor itu sebenarnya sudah diatur dari awal. Modusnya jelas. Di belakang pembeli pertama sampai ketiga orangnya sama saja. Bekerja sama dengan pejabat BPPN, pemenang pertama dan kedua mundur, sehingga penawar di bawahnya, yang notabene masih orang yang sama, menang dengan harga lebih rendah. Selisih harga antara penawaran pertama dan pemenang, menurut sumber itu lagi, dibagi-bagi antara oknum pejabat BPPN itu dan investor.
Betul begitu? Tak ada investor yang mundur yang bersuara. Danatama Makmur, yang menang dalam tender aset kredit Rajawali, menolak memberikan keterangan. "Tidak boleh masuk, dan sekarang kami tidak memberikan keterangan kepada wartawan," kata Endah, resepsionis Danatama Makmur, di kantornya di bilangan Tanah Abang. Danatama Makmur adalah perusahaan milik Halim Yusuf, kakak kandung Gunawan Yusuf pemilik Makindo Sekuritas, yang tercatat juga membeli beberapa aset dalam program penjualan itu.
Bos Grup Rajawali, Peter Sondakh, lewat orang dekatnya, Aking Saputra, menegaskan sama sekali tidak mengetahui Verandah International Ltd. "Kami juga bukan pemilik Verandah," katanya. Dia juga mengaku tak pernah kenal Danatama Makmur dan tidak pernah berminat membeli kembali aset Rajawali yang sudah selesai direstrukturisasi BPPN.
BPPN, ketika ditanya ihwal mundurnya sejumlah investor itu, tampak irit bicara. Kepada Rommy Fibri dari majalah ini, kepala divisi humas lembaga penyehatan itu, Raymond van Beekum, hanya bicara secara umum bahwa hingga saat ini semua investor pemenang yang bisa memenuhi syarat dan tenggat pembayaran tetap meneruskan proses pembelian. "Sekarang banyak informasi yang berseliweran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Kalau demikian, bukankah sudah tugas BPPN untuk memberikan informasi yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat?
Leanika Tanjung, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini