Sebuah konstitusi adalah sebuah perjalanan bahasa. Di kompleks bangunan Parlemen, pertengahan Agustus 2002, ketika para legislator tengah menyusun sebuah konstitusi baru, apa yang secara ingar datang dan pergi? Anda bisa menjawab, bagaikan Pangeran Hamlet: "Kata-kata, kata-kata, kata-kata?."
Di halaman, para demonstran melontarkan yel. Kemarin sejumlah orang membawa statemen. Di majelis itu sendiri, para anggota saling membujuk, meyakinkan, mungkin berbohong, mungkin menggertak, mungkin mendengarkan pekik demonstran, pendapat pakar, dan keluh si lemah. Kamera berkali-kali menjepret, pentungan polisi kadang-kadang dipukulkan, dan kanon air disemburkan, tapi selebihnya, pada hari-hari itu, 90 persen dari bunyi adalah kebisingan lautan verbal. Kata-kata, bagaikan gelombang, bergulung, berkejar-kejaran, pecah, terempas dan kembali ke tengah, ke kancah.
Kemudian lahirlah undang-undang. Akar kata dalam bahasa Indonesia untuk istilah itu menunjukkan bahwa "undang-undang" tak persis sama dengan "hukum". Kata "hukum" mengacu ke sesuatu yang pasti dan bebas dari ruang & waktu tertentu, dan sebab itu bisa dipakai di dalam ilmu alam ("hukum Archimedes", misalnya). "Undang-undang" menyarankan sesuatu yang lain: kata "undang" terdapat juga dalam "undangan"; kata "diundangkan" berarti juga "dijadikan sesuatu yang publik". Dengan demikian, "undang-undang" mengasumsikan adanya komunikasi, adanya orang lain, dan dalam proses itu, bahasa adalah unsur yang tak bisa dilepaskan.
Dari bahasa kita sebenarnya tak bisa mengharapkan sesuatu yang tetap, selamanya identik, selamanya klop, dengan apa yang aku, sang pemakai, maksudkan. Sejak zaman pepatah Melayu dan era filsafat Hegel sudah ditunjukkan bahwa bahasa adalah salah satu kasus Entfremdung atau "jadi-asing"-nya manusia dari buah kerjanya sendiri. Kata yang aku ujarkan pada akhirnya membentuk sebuah wilayah yang terpisah dari aku yang memaksudkannya. Bahkan terkadang kataku membahayakan diriku.
Sebab itu pula, melalui bahasa, tak seorang pun bisa mengharapkan kesepakatan penuh, apalagi buat selama-lamanya. Itulah sebabnya percakapan, kesalahpahaman, ikhtiar bersetuju, berlangsung terus-menerus. Undang-undang menempuhnya. Di satu tahap sebuah konvensi akan tercapai, dengan pengaruh waktu dan tempat tertentu. Tapi konvensi adalah sesuatu yang diterima dengan toleransi, tanpa dengan sendirinya dianggap sebuah aturan yang disetujui siapa saja.
Maka, setelah undang-undang lahir, tak semua akan tertib dalam kesepakatan. Sebuah konstitusi adalah sebuah perjalanan dengan dan juga dalam kata-kata. Perjalanan itu tak akan berhenti bahkan setelah rancangan diterima. Tawar-menawar, tukar-menukar keuntungan, penggunaan kekuasaan, di samping kearifan, akan selamanya berperan. Dalam sejarah manusia, tak ada undang-undang, juga undang-undang dasar, yang hidup dan berjalan di luar proses politik itu.
Kita tahu proses itu ibarat pematang yang genting: berlumpur, tak bersih, licin. Apalagi di dalam sebuah demokrasi. Lebih gampang menghasilkan hukum fisika di sebuah laboratorium: di keheningan itu, yang dihadapi adalah sehimpun benda yang tanpa kata. Lebih mudah seandainya undang-undang disusun oleh satu orang dan ditawarkan kepada orang yang sama. Tapi kapan hal itu pernah terjadi? Politik bukanlah mencium bibir sendiri di depan cermin.
Memang terkadang terbit sebuah angan-angan luhur, terutama jika kita sekelompok katak dan kecebong yang luhur tapi dengan keluhuran itu hidup di bawah sebuah tempurung: kita biasa bergaul di lingkungan kecil, dan tak kenal betul dunia di luar tempurung kita, yang mungkin tak seburuk (atau tak sebaik) yang kita duga. Dalam tempurung sendiri kita memang bisa membentuk sebuah komite yang akan menyusun sebuah hukum untuk menyelamatkan dunia. Kalau kita orang "fundamentalis", kita akan menyebutnya "hukum Tuhan", dan kalau kita "humanis", kita akan menamakannya "hukum para pakar piawai dan empu yang bijaksana". Dengan itu hukum kita bayangkan bisa lahir di atas proses politik. Namun kemudian kita datangi berpuluh-puluh katak lain dalam berpuluh-puluh tempurung lain, dan kita pun kecewa dan marah, karena kita ternyata telah mengundang sebuah kemungkinan yang pahit: kemungkinan untuk diabaikan.
Tapi, apa boleh buat, kita hadir dalam bahasa, sesuatu yang tak sepenuhnya kita tentukan sendiri maknanya. Kita hidup bukan dalam etos aristokrasi. Demokrasi mungkin membuat kita jengkel, karena ternyata telah memunculkan sejumlah orang yang kita anggap kotor dan menyebalkan namun dipilih rakyat. Tapi bukankah sebuah demokrasi adalah bentuk kerendahan hati, yang mengakui jangan-jangan kita juga kotor dan menyebalkan di mata orang lain, dan kita juga datang dari sebuah tempurung?juga bila kita pakar yang piawai dan ayatullah yang alim?
Maka sebuah legislasi yang baik membuat hukum sebagai undang-undang, bukan sebagai kesimpulan Archimedes. Dengan kata lain, sebuah perjalanan bahasa, dengan segala ketidakpastiannya, yang ingin sempurna tapi tak pernah sampai, dan sebab itu membuka diri untuk disempurnakan. Sebuah legislasi yang baik adalah perdebatan yang mengakui bahwa dalam keterbatasan masing-masing, justru ada hal dasar yang amat bernilai: kemerdekaan berpikir dan berbicara, suara yang tak boleh didiskriminasi karena perbedaan ras, suku, agama, jenis, kelas?.
Konstitusi tahun 2002 mengukuhkan hal yang amat bernilai itu. Sesuatu yang bersejarah, namun sesuatu yang lumrah: pada bulan Agustus itu tampak bahwa para wakil rakyat bukan wakil Tuhan, bukan wakil Setan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini