Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul
Penulis : Darmaningtyas
Penerbit : Yogyakarta, Salwa Press, 2002
Seakan meniru jejak antropolog Prancis, Emile Durkheim, yang meneliti fenomena bunuh diri, Darmaningtyas meneliti hal serupa. Durkheim mengerjakan dalam konteks di Prancis, Darmaningtyas menulisnya dalam konteks di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan sang penulis memang menggunakan paradigma Durkheimian dalam karyanya ini.
Emile Durkheim menulis buku Le Suicide (1897) dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 1951 (Suicide: A Study in Sociology). Durkheim mengungkapkan fenomena bunuh diri sebagai gejala kejiwaan individual, psikososial, struktural, dan alam semesta. Ia menggolongkan gejala universal bunuh diri menjadi empat bentuk: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik.
Tingginya frekuensi bunuh diri di Gunung Kidul, terutama sejak pertengahan tahun 1980-an, membuat orang setempat percaya bahwa pulung gantung terjadi karena sejumlah anggota masyarakat melakukan perilaku yang dipantangkan. Menurut mitos setempat, pulung gantung akan didahului sebuah tanda di langit pada malam hari. Bentuknya adalah cahaya bulat berekor, berwarna kemerahan agak kekuningan dengan semburat biru yang meluncur cepat menuju rumah calon korban.
Berdasarkan data yang dia kumpulkan pada tahun 1980-2001, Darmaningtyas menunjukkan bahwa para pelaku bunuh diri didominasi kaum lelaki berusia 35-50 tahun, miskin, buta huruf, dan terisolasi secara geografis, mobilitas sosialnya rendah dan kabur kanginan (asal-usul dan tujuan tidak jelas). Hampir semua pelaku bunuh diri yang ditelusuri lebih jauh latar belakangnya berasal dari kelompok rentan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Peletup bunuh diri ini adalah depresi panjang karena utang, malu tak tertanggungkan, dan sakit kronis.
Lalu apa yang dilakukan para pe-jabat setempat? Para pejabat justru bagian dari masalah, karena banyak dari mereka yang tidak bisa memikirkan dengan sungguh-sungguh kehidupan masyarakatnya. Koperasi Unit Desa (KUD) berubah maknanya menjadi "Kuperasi Uang Desa". Para birokrat lebih senang menangguk keuntungan di antara terpuruknya masyarakat. Kajian Darmaningtyas ini menunjukkan potret ketidakberdayaan paling telak dari masyarakat pedesaan di Jawa akibat marginalisasi, involusi, dan korban dari keganasan alam serta keganasan birokrat lokal.
Suryasmoro Ispandrihari
Alumni Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini