Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJUANGAN sang jenderal berakhir pekan lalu. Setelah tiga tahun berupaya menggelindingkan kembali Kiani Kertas, Prabowo Subianto dan kongsinya di Nusantara Energi akhirnya angkat tangan. Pada awal Juli silam, Prabowo meneken kesepakatan awal penjualan saham Kiani dengan JP Morgan. Tak kepalang tanggung, Prabowo melepas semua sahamnya di Kiani.
Isyarat mundur ini sebenarnya sudah terbaca sejak penghujung Mei. "Saya ada keterbatasan dana," kata Prabowo. "Kalau dalam tiga bulan ini tidak ada suntikan modal, terpaksa saya jual." Pernyataan itu muncul tak lama setelah Kejaksaan Agung mulai menelisik transaksi pengambilalihan aset kredit Kiani dari BPPN.
Pemeriksaan hukum itu seakan puncak kesulitan keuangan Kiani. Sejak mengoper kepemilikan Kiani melalui konversi utang, Grup Nusantara sudah tersedak-sedak. "Saya sudah keluar uang hampir US$ 90 juta," ujar Prabowo. "Itu sudah batas kemampuan saya."
Produsen bubur kertas itu diperkirakan membutuhkan US$ 50 juta hingga US$ 60 juta untuk modal kerja, terutama untuk pembelian bahan baku berupa kayu. Dalam satu bulan operasi, mesin Kiani membutuhkan pasokan kayu yang harganya sekitar US$ 5 juta. Idealnya, perusahaan pulp memiliki stok untuk empat bulan ke depan.
Artinya, untuk bahan baku saja, Kiani harus siap US$ 20 juta. Belum biaya perawatan mesin dan pembelian suku cadang, yang nilainya diperkirakan US$ 25 juta. Lalu pengeluaran untuk memelihara hutan, yang merupakan sumber pasokan kayu. Jangan lupakan juga biaya overhead yang sebulan bisa mencapai US$ 1 juta.
Sumber Tempo di kelompok itu mengakui, dulu mereka berharap Mandiri bersedia mengucurkan modal kerja. "Masa, Kiani dibeli untuk dibiarkan mati?" kata sumber itu.
Tawaran uang dari pihak lain sebenarnya ada. Pada awal Prabowo dkk mengendalikan Kiani, sempat ada perusahaan keuangan internasional menawarkan pembiayaan dengan modal. Pemilik uang mengucurkan pinjaman, yang kemudian dikonversi menjadi kepemilikan saat utang jatuh tempo. Tapi tawaran itu tak disetujui para "dewa" di Nusantara Energi.
Kiani pun berjalan tanpa modal kerja yang cukup. Tak mengherankan kalau mesin-mesin pemroses bubur kertas itu kerap rehat kehabisan kayu. Kapasitas terpakai tak lebih dari 60 persen. Uang masuk seret, Kiani juga harus menanggung utang bejibun. Selain berutang ke Mandiri US$ 170 juta, Kiani masih menanggung utang ke kreditor lain sedikitnya US$ 350 juta.
Ada tawaran dari sebuah perusahaan pulp dan kertas di Thailand, perusahaan rayon di India, atau perusahaan kertas di kawasan Skandinavia. Tawaran dari perusahaan nonkimia juga datang. Sebut saja JP Morgan, yang akhirnya menang dalam pembelian itu.
Raksasa keuangan asal Amerika itu telah lama membujuk Prabowo dkk. menjual Kiani. Sulit dibantah bahwa Kiani, yang nilai investasinya US$ 1 miliar, merupakan pilihan yang menarik bagi mereka yang mau masuk ke industri bubur kertas.
Kiani merupakan aset yang telah jadi. Jangan lupa, masuk ke industri bubur kertas harus melalui jalan panjang berliku. Kiani bahkan memiliki bonded zoneperusahaan itu berhak mengimpor mesin tanpa dikenai bea masuk.
Lokasi Kiani di Kalimantan juga merupakan daya jual. Pulau terluas di Indonesia itu masih memiliki puluhan ribu hektare hutan tanaman industri. Kiani satu-satunya pabrik bubur kertas di pulau itu. Artinya, selama masih ada duit, Kiani tak perlu takut kehabisan bahan baku.
Kartu as Kiani yang sering terlupakan adalah banyak fasilitas pabrik itu yang memiliki kapasitas lebih. Secara keseluruhan, fasilitas manufaktur yang dimiliki Kiani memiliki kapasitas 500 ribu ton per tahun. Namun beberapa fasilitas Kiani, seperti boiler atau woodyard, siap berproduksi hingga 1 juta ton per tahun.
Artinya, investor baru Kiani tak perlu membuang US$ 1 miliar lagi untuk meningkatkan kapasitas pabrik Kiani menjadi 1 juta ton per tahun. Untuk mencapai angka itu, dalam hitungan penasihat keuangan Kiani, pabrik itu hanya perlu investasi tambahan sekitar US$ 750 juta.
Dengan segala kelebihan itu, orang-orang dekat Prabowo tak merasa menuai untung dengan penjualan Kiani. Jika JP Morgan mau menebus Kiani dengan rumus nilai bersih perusahaan, harga yang harus dibayar kurang-lebih US$ 400 juta.
Sebagian uang itu akan digunakan menutup utang pemegang saham Kiani di Mandiri. Sisanya merupakan jatah Prabowo dkk. "Kita tidak untung kalau melihat kesempatan yang hilang di masa depan," ujar satu sumber Tempo di Kiani.
Peluang Prabowo dkk. untuk membesarkan praktis musnah. Ketika mengibarkan bendera putih untuk pertama kalinya sekitar dua bulan lalu, Prabowo mengeluhkan sulitnya meminjam dana. "Mendengar nama Kiani saja orang sudah tidak mau," katanya.
Mencari pinjaman baru bagi Kelompok Nusantara adalah satu-satunya strategi bertahan. Setelah akses ke sumber dana tertutup, kelompok ini memilih menjual semua saham Kiani, ketimbang mengalihkan kendali dan menjadi pemegang saham minoritas.
Kini jalan JP Morgan menguasai penuh Kiani hampir tanpa hambatan. Manajemen Kiani memperkirakan pengambilalihan ini akan selesai dalam dua bulan. "Itu (realisasi penjualan) sudah dekat," ujar Agus Suprayogi, sekretaris perusahaan Kiani Kertas.
Bank Mandiri, sebagai kreditor, juga telah menyalakan lampu hijau. "Kalau harganya bagus, ya mereka boleh masuk," kata Agus Martowardojo, Direktur Utama Mandiri.
Kabar yang kini perlu ditunggu, siapa di balik JP Morgan. Sebagai perusahaan yang besar di industri keuangan, JP Morgan diyakini tak akan menguasai Kiani untuk selamanya. Saat ini JP Morgan berkepentingan masuk karena mereka termasuk kreditor asing Kiani. Sumber-sumber Tempo yakin, calon pemilik baru Kiani adalah perusahaan kertas dan bubur kertas asal Eropa.
Thomas Hadiwinata, Yura Syahrul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo