Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia keturunan Arab dari Yemen, tapi darah Tamil mengalir di tubuhnya. Ia bukan Melayu, tapi sering dianggap sebagai "pelopor kesusastraan modern" Melayu. Hidup di Asia Tenggara yang sudah bercampur-aduk pada abad ke-19, Abdullah bin Abdul Kadir tumbuh dalam sebuah paradoks: ia terasing, dan ia menjangkau wilayah luas yang berbeda-beda.
Soalnya bermula pada huruf. Dari Hikayat Abdullah, otobiografi yang selesai ditulisnya pada tahun 1843, ketika ia berumur 46, kita dapat membaca bagaimana pada masa kecilnya ayahnya menghardiknya agar belajar menulis, menguasai aksara.
Mula-mula ia diharuskan membawa kertas dan pena ke masjid. Di sana harus dituliskannya nama tiap orang yang masuk dan keluar. Setelah lancar, datang ujian yang lebih sulit: ia harus mengikuti imla sang ayah. Ketika taraf ini dilalui, ia harus menuliskan kembali kata-kata Quran sampai khatam.
Selama itu, tak pernah ada pujian terdengar. Justru pukulan rotan yang didapatnya bila ia salah eja. Bak keterampilan silat di kuil Shaolin, menulis seakan-akan suatu kemampuan yang harus diserap dengan pengorbanan tubuh. Ketika Abdullah harus belajar menulis dalam bahasa Tamil selama dua setengah tahun, telunjuknya aus karena terus-menerus membentuk huruf dalam pasir. Dari jerih payah itu, aksara jadi sumber kekuatan tersendiri.
Hidup Abdullah akhirnya memang bertumpu di situ. Pada umur 13, ia berpenghasilan dengan menuliskan teks Quran buat prajurit muslim di garnisun India yang bertugas di Benteng Malaka. Pada umur 16, ia dapat nafkah lain: menyiapkan naskah untuk kantor misi Protestan, termasuk memperbaiki versi Injil dalam bahasa Melayu. Pada umur 25, ia bekerja membuat teks maklumat penguasa Singapura, Raffles, yang mengharamkan candu dan judi. Kemudian ia menghasilkan buku.
Tapi huruf dan buku punya tenaga dan keterbatasannya sendiri. Dari keduanya, tumbuh apa yang saya sebut "pergaulan beraksara", sesuatu yang berbeda dari "pergaulan kelisanan". Untuk menunjukkan perbedaan itulah di sini kisah Abdullah penting: tokoh ini hidup persis dalam masa peralihan antara kedua jenis pergaulan itu.
Dari buku Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang baru terbitsebuah telaah yang kritis tentang tokoh inisaya peroleh keterangan yang berharga: karya Abdullah tak berbeda dengan yang dihasilkan para penulis berbahasa Melayu waktu itu, yakni dipersembahkan untuk sebuah khalayak yang terbatas. Khalayak itu orang Eropa tempat mereka mencari nafkah.
Maka Abdullah adalah hasil ketimpangan. Sementara gaung tulisannya ke masyarakat kesusastraan sezaman nyaris nihil, karyanya dibentuk oleh khalayak Eropa yang terbatas itu. Dan tak kalah penting, oleh teknologi yang dipakai. Dalam kata-kata Sweeney, "secara otomatis", Abdullah "menujukan tulisannya kepada khalayak budaya cetak".
Di situ pada akhirnya Abdullah, seperti diuraikan Sweeney, sebuah suara terasing. Bukan karena ia "non-pribumi". Dari mediumnya saja kita tahu: buku yang dibaca dalam kesendirian, berbeda dengan hikayat yang dikisahkan secara lisan di tengah orang sekampung yang ikut mendukung dinamika kisah itu.
Keterasingan itu juga terasa karena pada masa itu kelaziman hidup dengan buku praktis tak ditemukan di masyarakat tempat Abdullah hidup. Melek huruf adalah sesuatu yang istimewa.
Tapi di situlah pergaulan beraksara membuka jalan tembus, bila lingkungan terdekat terasa keras dan kedap menekan. Di satu sisi, sebagai orang upahan Abdullah tak bebas; seperti yang hendak disarankan Sweeney, pepatah "mulut disuap pisang, buntut dikait onak" berlaku bagi tokoh ini. Di sisi lain, ia dapat leluasa berbicara tanpa didengar orang ramai, ketika ia kecam apa yang dianggapnya buruk di masyarakat sendiri.
Sering Abdullah menyampaikannya dalam bentuk kontras. Ia bicara tentang baiknya titah orang Inggris dan buruknya tingkah penguasa Melayu. Dalam Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan, misalnya, ia konon mengabarkan kepada penduduk pulau itu bagaimana bebas dan senangnya orang yang "diam di bawah bendera Inggris" di Singapura. Terpikat oleh kata-kata Abdullah, beberapa penduduk Kelantan memintanya agar membawa mereka ikut. Mereka tak tahan. "Diam di bawah perintah raja Melayu," kata mereka, "seperti duduk dalam neraka."
Hikayat Abdullah juga menampilkan kontras yang serupa. Buku ini mengisahkan betapa baik budinya Lord Minto, pembesar Inggris itu, kepada orang rantai, ketika ia suatu hari berkunjung ke Malaka. Berbeda dengan kebiasaan raja Melayu dan saudagar Cina, kata Abdullah, aturan orang Inggris memungkinkan penguasa yang salah dihukum sesuai dengan kesalahannya.
Abdullah mungkin tak jujur dalam menampilkan kontras itu. Ia menulis dengan dana dan proteksi orang Inggris; suaranya jadi terasa seperti tali barut yang menjilat pantat. Dalam hal ini ia berbeda dengan Kartini, yang menggunakan medium surat pribadi untuk menyatakan pikirannya: perempuan dari Jepara ini masih bisa dengan tajam mengecam ketidakadilan masyarakat dalam jajahan "orang Eropa". Abdullah tidak. Ia tak mendua. Dalam posisi terasing, penulis berdarah Arab dan Tamil ini berlindung di sela-sela pagina buku yang dicetak terbatas, dan ini memang menyebabkannya tertutup bagi suara yang bisa membantah.
Tapi ia, seperti Kartini, adalah manusia aksara, yang berjarak dari pergaulan kelisanan di mana kebenaran diproduksikan dengan dukungan ramai-ramai oleh yang hadir. Dalam huruf-huruf mereka yang bicara, tak ada yang hadir itu. Tubuh telah dinafikan, seperti ujung telunjuk yang aus ketika keterampilan lahir dan aksara jadi ampuh. Teks membangun dirinya sendiri. Ia sunyi, terasing selalu, tapi siap menjangkau peta yang berbeda, zaman yang lain, hingga kebenaran dikejar dengan bebas, tapi tak selamanya didukung.
Terkadang modernitas memang sebuah rasa sayu, dengan kemungkinan baru.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo