PEMERINTAH seperti berlomba dengan beban pembayaran bunga dan pokok obligasi rekapitalisasi perbankan. Sial bagi pemerintah, posisinya jauh tertinggal di belakang. Beban obligasi makin lama makin melaju. Sebaliknya, pemerintah seperti tak maju-maju. Mungkin kendalanya terlalu banyak, mungkin juga karena berbagai hal lain yang tak jelas bagi pihak luar. Namun, ketika sebuah tim independen tampil seraya mengusulkan solusi penyelesaian obligasi rekap, pemerintah tampak tidak antusias?kalau tidak mau dibilang dingin.
Padahal usulan tim independen yang dipimpin ekonom Institute for Development, Economics and Finance (Indef) Dradjad H. Wibowo itu penting untuk dikaji bersama. Dalam usulan itu tercakup lima skema solusi obligasi rekap yang merupakan hasil kerja selama satu bulan dan mendapat dukungan penuh dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie. Diumumkan pekan lalu, lima solusi itu dimaksudkan untuk mengurangi beban surat utang (obligasi) pemerintah yang saat ini mencapai Rp 430 triliun atau Rp 1.100 triliun jika ditambah bunga. "Tujuan pokok tim ini adalah mengurangi beban utang pokok," kata Dradjad.
Lima skema itu adalah skema interest bearing perpetual bond (obligasi tanpa masa jatuh tempo), skema asset to bond swap (obligasi ditukar dengan aset yang sudah direstrukturisasi), skema penyesuaian CAR (rasio modal minimum), skema akuisisi antarbank rekap, dan skema bond pooling (pengumpulan obligasi rekap dalam satu bank). Yang paling menjanjikan adalah skema yang pertama, yakni interest bearing perpetual bond, karena bisa mengurangi beban obligasi Rp 345,6 triliun. Yang paling sedikit menyerap beban obligasi adalah skema penyesuaian CAR, yang besarnya Rp 17,7 triliun. Namun Dradjad mengatakan bahwa semua skema itu memerlukan prakondisi tertentu, yakni aset yang akan ditukar dengan obligasi harus sudah direstrukturisasi, bank-bank rekap tidak didivestasikan dulu, dan sebagian besar obligasi rekap masih dikuasai pemerintah.
Kendala utama ada pada kenyataan bahwa sebagian prakondisi tersebut saat ini belum tercipta. Restrukturisasi aset jelas tak bisa dibilang berhasil. Dari utang pokok kredit korporasi (di atas Rp 50 miliar) yang dipindahkan ke BPPN senilai Rp 230,6 triliun (1.641 debitor), yang sudah selesai direstrukturisasi baru Rp 31,9 triliun (356 debitor). Yang lainnya bahkan sudah dijual sebelum direstrukturisasi. Prakondisi lain ialah bank yang belum didivestasikan juga sulit dipenuhi mengingat BPPN sudah terlalu ingin menjual Bank Niaga, misalnya. "Itu sebabnya kita berusaha mempercepat penyelesaian pengkajian agar tidak didahului penjualan Bank Niaga," Dradjad menjelaskan. Prakondisi ketiga bisa dijaga karena sebagian besar obligasi rekap masih di tangan bank-bank asal. Hanya yang berada di tangan investor dan BCA yang di luar kendali pemerintah.
Keseriusan tim independen itu diimbangi pemerintah dengan datar dan hambar. Ketika TEMPO mengontak sumber-sumber di Departemen Keuangan, semuanya menolak berkomentar. "Saya tidak mau bicara. Nanti bisa tambah ramai," kata Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution. Begitu pula Kepala Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON), Fuad Rahmany, yang langsung menangani masalah obligasi rekap ini. "Pemerintah hanya mengikuti pola yang lama, yakni refinancing," katanya pendek. Dia mengakui bahwa pola itu akan menimbulkan lubang yang besar di kemudian hari. Tapi diakuinya, tak ada yang bisa dilakukan lebih dari itu.
Kwik sendiri agaknya sudah bisa menduga bahwa pihaknya bertepuk sebelah tangan. Sudah sejak awal dia memperkirakan seperti itulah tanggapan yang akan datang dari pemerintah, sebagaimana dia sering diabaikan dalam pembahasan berbagai soal penting, termasuk letter of intent dengan IMF. Karena itu pula hasil kerja tim independen yang didukungnya tak akan diajukan kepada pemerintah atau kepada Presiden Megawati Sukarnoputri, yang notabene adalah bosnya di pemerintahan dan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Saya sudah cukup plong jika publik mengetahui apa yang kami lakukan untuk negara ini," kata Kwik merendah.
Benarkah pilihan pemerintah memang terbatas? Pengamat perbankan Mirza Adityaswara mengakui bahwa pilihan pemerintah untuk menyelesaikan masalah obligasi ini memang tidak banyak. Program penukaran aset dengan obligasi ternyata tak berjalan karena hanya bisa menyerap Rp 3,9 triliun. Jadi, harus dicari jalan lain. "Yang kita resahkan kan struktur jatuh temponya. Ya, itulah yang harus kita perbaiki," ujarnya menambahkan. Tapi caranya bagaimana?
Menurut Mirza, pemerintah harus merestrukturisasi obligasi yang masih di tangan perbankan yang nilainya Rp 320 triliun. Dia memperkirakan ekonomi akan tumbuh lebih baik di masa datang, sehingga perbandingan utang dengan produk domestik bruto (gearing ratio) yang saat ini berkisar 85-90 persen bisa berkurang sampai 40 persen pada tahun 2008. Sebagai gambaran, katanya, salah satu prasyarat agar satu negara bisa menjadi anggota Uni Eropa ialah harus memiliki gearing ratio 45 persen. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengendalikan inflasi dan menggenjot investasi agar ekonomi tumbuh cepat, sementara penegakan hukum dilakukan setengah hati dan praktek korupsi-kolusi-nepotisme jalan terus.
Taufiqurohman, Agus S. Riyanto, Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini