BISNIS "miring" materi ujian masuk . Proyek Perintis (PP) III di
Universitas . Sebelas Maret (UNS) terungkap pekan lalu di
Pengadilan Negeri Surakarta. Slamet Widodo alias Momok, 17
tahun, semakin tertunduk lesu menghadapi majelis hakim. "Siapa
yang tahan kalau setiap saat terus didesak, terus dibujuk,"
ujarnya lirih.
Pelajar STM Negeri Manahan Surakarta kelas I ini pernah bekerja
di percetakan milik seorang dosen UNS sambil mengisi waktu
liburnya. Percetakan tersebut ditunjuk oleh UNS untuk mencetak
naskah ujian masuk karena "percetakan milik UNS tidak mampu
mencetak naskah ujian sebanyak 70.000 lembar, dengan baik dan
cepat," kata Drs. Rusydi, 52 tahun, ketua Seksi Perbanyakan
Naskah.
Sementara itu, dengan upah Rp 6.500 per minggunya, Momok
bertugas menyusun naskah ujian sesuai dengan kelompoknya dan
mengurutkan nomor tiap lembarnya. Untuk kepentingan keamanan,
pekerjaan yang dilakukan bersama 24 rekannya itu dilakukan di
rumah-dinas rektor UNS, Kampus UNS Kentingan.
Namun, godaan datang menggebu. Bukan dari orang lain, tetapi
dari tetananya sendiri, Nining Sarsini dan Abiet Subiyakto.
Bahkan "Nining juga kirim surat kepada saya," kata Momok kepada
TEMPO. Isi surat dan inti rayuan Nining, tak lain, agar Momok
mau membawa pulang naskah ujian. Dan rupanya Momok membawa
pulang naskah-naskah ujian Matematika, Bahasa Inggris, Fisika,
Kimia, dan Biologi, kata Rusydi menjelaskan.
Naskah pun berpindah tangan. Dari Nining, Momok menerima imbalan
sebanyak Rp 40.000. Sedang dari Abiet, putra bungsu seorang
buruh kecil itu, ia menerima Rp 150.000. Tetapi Nining Sarsini,
yang ternyata juga mengikuti ujian masuk PP III di UNS tahun
ini, tidak mengaku memberi uang sebesar itu kepada Momok. Dalam
keterangannya kepada TEMPO, Nining merasa tidak memperdagangkan
naskah ujian tersebut. "Saya pergunakan untuk diri saya
sendiri," katanya.
Yang pasti, naskah ujian yang sampai ke tangan Nining dan Abiet
itu tidak berhenti di situ. Naskah ujian itu ternyata beredar di
hotel-hotel tempat calon mahasiswa menginap. Bahkan sampai pula
ke rumah-rumah. Harga bocoran itu beragam, mulai dari Rp 200.000
sampai Rp 50. 000. Uniknya: boleh dibayar belakangan setelah
terbukti bocoran itu sama dengan yang diujikan (TEMPO, 18 Juni).
Bisnis naskah ujian yang berlangsung dengan cepat dan
berbisik-bisik itu akhirnya diketahui juga. "Kami mendapat
info ujian bocor," kata Rusydi. Segeralah dibentuk "pasukan
khusus". "semacam intel yang kami rekrut dari kalangan
mahasiswa," ujar Rusydi lagi. Para intel ini bergerak, dengan
menyamar sebagai calon mahasiswa yang sedang membutuhkan naskah
bocoran. Satu hari sebelum ujian diselenggarakan, terbuktilah
naskah ujian bocor.
Ujian masuk PP III di UNS terpaksa diulang. Dan 9.500 calon
mahasiswa, dari 60.000 peserta ujian, dipanggil kembali
mengikuti ujian ulangan. Pihak UNS tidak tinggal diam.
Bersama-sama dengan pihak Kepolisian, mereka mencoba melacak
sumber kebocoran itu. Kesimpulannya: Momok biang keladinya.
Terpaksalah Momok mendekam di rumah tahanan sejak awal Juni
lalu. Mengapa ia melakukan hal itu tak pula ia jelaskan.
"Pikirannya sedang kalut," katanya sendu. Jaksa Penuntut Umum
Supardjiman dalam dakwaannya menganggap Momok telah mencuri
naskah ujian dan dengan begitu - karena UNS harus
menyelenggarakan ujian ulangan - telah merugikan pihak UNS Rp 40
juta.
"Saya ingin pindah dari Solo," kata Momok. Entah kapan
keinginannya terkabul. Karena, akibat perbuatannya ini juga, ia
terpaksa tinggal kelas, dan tinggal di rumah tahanan sampai
perkaranya diputuskan. "Sungguh malang nasib anak saya," kata
ayahnya yang ikut pula menghadiri sidang. "Dia hanya korban
rayuan. Dia disuruh orang lain untuk melakukan hal itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini