Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Musim Properti tanpa Perantara

Pengembang perumahan dengan penawaran skema pembiayaan tanpa bank semakin marak. Masih ada kelemahan di sana-sini.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN pekerja tampak merampungkan konstruksi sejumlah unit rumah di perumahan Azzura Residence, Kelurahan Mekarwangi, Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, pada Kamis pekan lalu. Ada yang menyaring pasir, mengaci dinding, sebagian lagi sibuk mengecat tembok rumah yang hampir jadi. Meski tengah berpuasa--tak terlihat satu pun buruh yang merokok atau meneguk air di sela aktivitasnya--mereka tekun bekerja sehari penuh. Beruntung udara Kota Bogor siang itu tak terlampau terik.

Perumahan Azzura Residence adalah satu dari sekian ratus proyek properti dengan skema pembiayaan tanpa perantara, yang sedang marak belakangan ini. Setidaknya sudah ada 300-an proyek perumahan dengan model bisnis ini tersebar di lebih dari 70 kota di seluruh Indonesia. Belasan ribu unit rumah sudah terjual dengan cara ini. Yang paling menarik, peminat skema pembiayaan properti semacam ini dari hari ke hari semakin banyak.

Skema pembiayaan tanpa perantara sama sekali tidak melibatkan bank sebagaimana laiknya transaksi pembelian properti pada umumnya. Sistem penjualan dan pembayaran cicilan rumah dilakukan langsung ke pengembangnya (direct owner). Walhasil, tidak ada BI checking--proses verifikasi kelayakan nasabah--untuk setiap calon pembeli rumah. Para peminat model ini kebanyakan tertarik pada label "properti syariah" yang dijanjikan.

Proyek Azzura Residence, misalnya, mengklaim diri sebagai proyek "hunian islami nonbank". Wahyu Dinata, pengawas proyek ini, menjelaskan bahwa perumahan Azzura mulai dibangun pada akhir 2016. Hanya dalam dua bulan, 15 unit rumah di sana laris terjual. Menurut Wahyu, tanah dan seluruh biaya pembangunan rumah ditanggung pengembang, tanpa keterlibatan bank.

Setiap unit rumah tipe 45/72 dibanderol Rp 466 juta, dengan uang muka 30 persen. Pengembang menjanjikan harga lebih kompetitif karena tak ada beban provisi bank, bahkan asuransi. Karena tak ada beragam beban itu, harga memang relatif lebih murah dibanding kredit pemilikan rumah (KPR) umumnya. Telat menyetor cicilan pun tak ada penalti atau denda. Bila ada masalah, bisa diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan.

"Memang skema semacam ini sangat menguntungkan konsumen. Macam-macam keuntungan itu yang akhirnya jadi tagline kami," kata Rosyid Aziz ketika ditemui pada Kamis pekan lalu. Rosyid adalah Ketua Komunitas Developer Property Syariah. Oleh para pelaku bisnis properti di Tanah Air, ia diakui sebagai penggagas (founder) model properti syariah.

Para pengembang dengan skema ini berhimpun dalam komunitas yang dipimpin Rosyid. Kini anggotanya lebih 690 orang di seluruh Indonesia. Bukan hanya pebisnis murni, ibu rumah tangga pun ikut nyemplung menjadi investor. Komunitas ini mencatat ada sedikitnya 18 perempuan yang kini jadi "orang kaya baru" setelah properti mereka booming di mana-mana.

Rosyid menjelaskan, skema pembelian properti tanpa perantara diminati karena lebih sesuai dengan syariah--alias syar'i--ketimbang KPR perbankan umum atau "konvensional". Transaksi KPR bank umumnya mengenakan bunga untuk pinjaman dan denda buat keterlambatan kredit. "Yang namanya mengambil manfaat apa pun dari utang-piutang, baik bunga, denda, maupun hadiah, adalah riba," ucap Rosyid. Dia juga menolak model asuransi KPR, yang disebutnya sebagai praktik perjudian.

Bagaimana dengan transaksi via bank syariah? "Itu juga banyak yang tak syar'i," kata Rosyid. Soalnya, developer properti syariah kerap masih memberikan alternatif pembiayaan nonsyariah.

Sejauh ini konsumen utama skema pembiayaan rumah tanpa perantara memang merupakan khalayak yang "syariah-minded". Rosyid mengidentifikasi "pasar yang sudah jadi" ini merupakan komunitas muslim perkotaan dan anggota organisasi seperti Salafi, Al-Ikhwan al-Muslimun, dan Hizbut Tahrir. Dia yakin pasarnya masih bisa bertumbuh lebih besar.

Rosyid sendiri mulai mengembangkan properti syariah pada 2011. Uji coba perdananya adalah membangun 13 rumah toko di Lasem, Jawa Tengah. Sukses di sana, dia memberanikan diri menggarap proyek yang kedua, ketiga, dan keempat. Semua terjual habis.

Dua tahun kemudian, Rosyid mulai mengkampanyekan idenya ke forum-forum komunitas muslim. Dia sudah berkeliling ke hampir semua kota di Tanah Air. Di setiap kota, didirikan forum untuk peminat skema ini. Anggotanya mencapai ribuan orang.

Kholis Rahmat termasuk salah satu anggota komunitas Rosyid. Developer muda ini mencoba menjalankan bisnis properti syariah dengan menggandeng pemilik lahan sebagai mitra dengan sistem bagi hasil. Dengan modal hanya Rp 1 juta, ia kini punya proyek Arbi Garden di Cikaret, Bogor Selatan. Sebanyak 19 unit rumah dia bangun di lahan 2.500 meter persegi. Dalam sebulan, 6 unit sudah terjual.

Direktur Utama Amana Sharia Consulting, Ahmad Ifham Solihin, menilai model bisnis properti nonbank sebenarnya sangat berisiko, terutama bagi developer. Praktik kredit tanpa denda dan tanpa verifikasi nasabah yang memadai, kata Ifham, berpotensi merugikan pengembang. Apalagi skema ini juga menolak asuransi. "Artinya diikhlaskan kalau gagal bayar," ujarnya. Pemberian pinjaman sampai 15 tahun tanpa jaminan juga membuatnya bertanya-tanya. "Apa developer mampu? Saya ragu kecuali dia kaya raya," tutur Ifham.

Karena itu, Ifham cenderung menganjurkan pengembang yang ingin menyasar pasar muslim untuk mengadopsi skema KPR syariah. Saat ini, kata dia, KPR perbankan syariah telah dinyatakan halal oleh Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia.

Meski begitu, ceruk pasar model direct owner ini tetap menggiurkan. Angka penjualannya naik terus. Menurut Property Sentiment Report 2016, seperti dilansir Rumah123.com, peminat model cicilan langsung ke pengembang ini mencapai 20 persen dari total konsumen. Jumlah konsumen yang ingin membayar tunai juga cukup tinggi, mencapai 27 persen responden.

Praktisi properti Dinnu Ferdiansyah mengiyakan hasil riset itu. "Banyak konsumen yang betul-betul menginginkan rumah yang transaksinya tanpa perantara," ujarnya.

Dinnu sendiri sudah menjalankan lebih dari 30 proyek properti. Dua di antaranya, kata dia, menggunakan model pembiayaan nonbank atau direct owner. Meski hasilnya bagus, dia mengakui ada risiko besar jika proyek yang dijalankan tanpa bank dan asuransi macet di tengah jalan.

Dinnu juga tak yakin bisa mengelola penagihan cicilan selama 15 tahun. "Bayangkan kalau harus mengurusi tagihan cicilan tiap bulan," ucapnya. Apalagi sistem ini luwes sekali: bayar cicilan boleh maju, boleh mundur. Kalaupun ada masalah, silakan dimusyawarahkan bersama.

Karena itu, Dinnu masih condong pada model KPR syariah. Apalagi perbedaan harga KPR bank syariah dan skema direct owner juga tidak signifikan. "Memang ada variabel biaya-biaya yang dihilangkan, tapi tidak banyak," katanya. Penurunan biaya itu jadi impas karena ongkos operasional skema ini lumayan besar.

Dimintai konfirmasi soal kelemahan sistem ini, Rosyid Aziz tak mengelak. Kunci kekuatan skema pembiayaan tanpa perantara, menurut dia, adalah edukasi kepada konsumen. Menurut Rosyid, sekian banyak proyeknya tak ada yang macet karena edukasi yang kuat. Bukan hanya konsumen, para pemilik lahan, makelar, kontraktor, notaris, dan semua pihak yang terlibat harus mendapat pemahaman yang sama. "Seperti dakwah, tidak ada kata lelah," ujarnya.

Strategi utama Rosyid menghindari kemacetan proyek adalah memilih skema yang tepat untuk memilih mitra penyedia lahan dan kontraktor serta menyaring calon konsumen dengan cermat. Untuk itu, pengembang harus mengadopsi model verifikasi nasabah perbankan. "Perhatikan 5C, yakni capital, capacity, collateral, character, dan condition," katanya. Rosyid menyarankan pengembang properti syariah membentuk tim khusus untuk melakukan fungsi ini.

Menurut pengalaman Rosyid, lebih mudah mendapatkan konsumen properti syariah dari kalangan muslim terdidik di perkotaan. "Ini pasar yang sangat gurih. Jumlahnya makin hari makin bertambah," ucap Rosyid yakin.

Ida Listyaningsih salah satunya. Dia mengaku membeli satu unit rumah di Azzura Residence Bogor karena tertarik pada konsep nonriba dalam skema pembiayaannya. "Kami ingin yang rumah berkah dan keluarga sakinah," kata ibu satu anak itu. Tapi, belakangan, dia mengaku ada juga alasan lain: lokasi Azzura strategis karena dekat dengan stasiun kereta Cilebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus