Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tidak Lekang Dihantam Kredit Pengembang

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Maryono, gencarnya konsumen membeli rumah tanpa cicilan ke bank bukan hal yang perlu dirisaukan. Bos Bank Tabungan Negara (BTN) itu yakin bank yang bertumpu pada bisnis kredit properti ini tetap punya pasar sendiri. "Konsumen kelas menengah ke bawah menyukai kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bank," kata Direktur Utama BTN tersebut di Jakarta Convention Centre, Kamis pekan lalu.

Ketenangan Maryono ada buktinya. Ketika banyak pengembang perumahan menawarkan pembelian rumah tanpa KPR bank, kinerja kredit properti BTN nyatanya terus tumbuh. Pada 2014, BTN menyalurkan kredit pemilikan properti Rp 102,614 triliun. Setahun kemudian, naik jadi Rp 124,927 triliun, dan tahun lalu menjadi Rp 147,498 triliun. Sampai kuartal pertama tahun ini, angkanya sudah naik lagi menjadi Rp 153,316 triliun. Sekitar 90,35 persen kredit yang disalurkan BTN adalah kredit pemilikan hunian.

Namun Maryono tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Sebab, tren cicilan hunian langsung ke pengembang terus menanjak. Mengacu pada survei salah satu situs jual-beli rumah, Property Sentiment Report Semester I 2016, peminat cicilan langsung ke pengembang sudah mencapai 20 persen. Sebanyak 46 persen responden memilih KPR dengan bank dan sisanya beli tunai. "Kalau perbankan membiayai properti indent itu kan dibatasi oleh regulator," ujar Maryono. "Nah, kami juga berharap regulator menerapkan kebijakan yang sama kepada pengembang." Bila tidak ada batasan, kata Maryono, tren cicilan kredit hunian langsung ke pengembang akan terus mengembang. Tidak beda dengan BTN, Bank Mandiri juga menganggap tren KPR langsung ke pengembang tidak akan terlalu mengganggu bisnis kredit properti perbankan. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan konsumen kelas menengah ke bawah tetap akan melirik KPR dengan bank. "Kelas menengah dan menengah ke bawah itu nyicilnya harus panjang," ucap Rohan saat dihubungi pada Kamis pekan lalu. "Mau-tidak mau, mereka harus lewat bank."

Menurut Rohan, tren kredit hunian langsung ke pengembang bukanlah barang baru. Sementara jamur tumbuh ketika musim hujan, kredit langsung ke pengembang hadir saat penjualan hunian sedang kering. "Gimmick seperti ini selalu muncul," tutur Rohan. Kredit langsung ke pengembang, kata dia, hadir karena pengembang tidak mau menurunkan harga hunian, padahal permintaan sedang lemas. Pengembang, Rohan menuturkan, kemudian menyiasati lesunya penjualan dengan diskon. Diskon dikemas lagi dalam bentuk cicilan langsung ke pengembang dengan bunga rendah. Sebagai contoh, dia menambahkan, ada sebuah rumah dengan harga Rp 100 juta. Dua pekan kemudian, pengembang melepas rumah itu seharga Rp 115 juta. "Sengaja dia naikkan. Nanti dikemas lagi dalam kompensasi cicilan berbunga rendah," kata Rohan.

Ia mengatakan bahwa mereka yang bisa melakukan ini kebanyakan hanya pengembang dengan modal jumbo atau sudah punya tabungan tanah berhektare-hektare. Tanah-tanah itu dibeli oleh pengembang dengan harga lama alias murah.

Penjelasan lain datang dari Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional Kartika Wirjoatmodjo. Ia memberi contoh, ada sebuah rumah dengan harga jual pokok Rp 500 juta. Pengembang hunian kemudian menjual rumah itu Rp 1 miliar dengan pembayaran cicilan selama lima tahun tanpa bunga. Pengembang, kata Kartika, melepas dengan harga tinggi agar dia mendapat untung lebih besar, sebagai subsidi silang dari penerimaan yang baru didapat dalam lima tahun. "Dia tetap untung besar, tapi lama. Jadi keuntungan itu disatukan dalam model cicilan tersebut," ujar Kartika di Jakarta Convention Centre, Kamis pekan lalu. Sementara itu, untuk menutup modal kerja yang dibutuhkan selama lima tahun dalam cicilan, menurut Kartika, pengembang mencari pinjaman ke bank dengan total pengembalian yang lebih rendah dari keuntungan.

Kartika mengakui memang tidak banyak pengembang hunian yang berani menawarkan pembelian kredit langsung ke konsumen, bahkan kelas paus sekalipun. "Mereka juga enggak mau mengeluarkan modal kerja terlalu besar untuk pembiayaan konsumen karena ada risiko kredit." Sekuat-kuatnya modal pengembang, kata Kartika, kemampuan memberi kredit kepada konsumen tetap tidak besar. "Tidak mungkin pengembang memberi kredit sampai 15 tahun seperti perbankan," ujarnya. "Kapasitas bank enggak mungkin dikalahkan." Menurut Kartika, kredit pemilikan rumah lewat bank juga akan tetap diminati karena lebih aman. "Bank pasti akan memeriksa semua kelengkapan dokumen tanah dan sebagainya untuk mencairkan KPR." Sedangkan dalam kredit langsung ke pengembang, risiko-risiko itu ditanggung langsung oleh pembeli dan penjual. Untuk itu, Kartika menitip pesan kepada konsumen yang hendak membeli hunian dengan kredit langsung ke pengembang: "Beli ke pengembang yang sudah 'terbukti' saja."

Khairul Anam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus