SEJAK pekan lalu tarif angkutan udara mengalami kenaikan
lumayan. Kini misalnya tiket pesawat udara dari Jakarta ke Medan
berharga Rp 96.500, naik 27% di atas harga semula Rp 75.675.
Tapi agaknya keyataan itu tak mengurangi minat penumpang. Tetap
saja bandar udara di Jakarta, Medan, Surabaya dan lain tempat,
berjubel dipenuhi calon penumpang.
Itu sebabnya Dir-Ut Garuda, Wiweko Supono tak surut dari rencana
pengembangan armada Garuda. Meski sudah bisa diduga suatu
kenaikan harga BBM tahun ini yang bakal mempengaruhi tarif
angkutan, rencana pembelian enam pesawat berbadan lebar, A-300
tetap terlaksana. Bahkan awal tahun lalu ditambah dengan
kesediaan membeli tiga A-300 dan dua Boeing (Jumbo) 747 lagi.
Tahap pertama rencana itu pekan ini bakal terwujud dan pesawat
Airbus pertama tiba di Indonesia. Mulai 22 Januari pesawat itu
yang sanggup mengangkut 302 penumpang, dioperasikan antara
Jakarta dan Medan. Mula-mula dua kali setiap hari, tapi
berangsur--dengan kedatangan lima Airbus menjelang bulan
Maret--frekuensi ini ditambah hingga empat kali setiap hari.
Sementara pesawat Airbus kedua yang tiba akhir bulan, bakal
melayani rute Jakarta-Surabaya mulai 2 Februari dengan target
frekuensi lima kali setiap hari. Sedang mulai 21 ebruari juga
dibuka rute Airbus antara Medan dan Singapura, minimal setiap
hari satu kali. Rute lain yang sampai saat ini dilayani pesawat
DC-9, seperti Jakarta-Ujungpandang dan Jakarta-Manado juga
dicalonkan untuk dilayani Airbus kelak.
Tentu saja rencana pengembangan Garuda itu mengundang banyak
kritik, tak kurang dari para "pengamat" luar negeri. "Suatu
pertaruhan besar-besaran," tulis Asian Wall Street Journal thun
lalu. "Garuda melancarkan pengembangannya di saat perusahaan
penerbangan lain membatasi rencana mereka, menghadapi kenaikan
harga bahan bakar, peningkatan persaingan dan keuntungan yang
semakin menyusut."
Bagaimana caranya Wiweko mengatasi berbagai tantangan itu? "Saya
sendiri tak tahu," jawabnya dalam suatu wawancara tahun lalu.
"Tapi menurut angka-angka yang ada sekarang kami bisa
mengatasinya." Apakah angka-angka itu menggembirakan? Agaknya
tidak, terutama tentu saja bagi mereka yang "berkacamata hitam".
Meski begitu angka utama - volume penumpang -- tetap cenderung
naik.
Tak bisa disangkal, tahun 1978 bagi Garuda merupakan tahun
gemuk. Jumlah penumpang domestik mencapai 3,2 juta, kenaikan 26%
lebih dari tahun sebelumnya. Juga penumpang rute luar negeri
naik hampir 24% mencapai 722. 000' Tapi tahun berikut, Kenop-15
dan kenaikan harga BBM mulai berpengaruh. Laju kenaikan sangat
merosot. Kurang dari 5% untuk domestik dan melebihi 5% untuk
luar negeri. Tapi naik dan bahkan tahun 1980 domestik sudah
mencapai 7,6% dan luar negeri bahkan 13%.
Truf Lain
Tapi itu kenaikan penumpang. Sementara kenaikan kapasitas
angkutan Garuda berkembang luar biasa. Jika menjelang akhir
tahun ini semua pesanan terpenuhi, Garuda memiliki armada 36
F-28, 24 DC-9 (kalau belum terjual), 6 DC-10, 6 B-747 dan 9
A-300. Ini mencakup kenaikan lebih 5.000 kursi atau hampir 80%
dari kapasitas sebelumnya. Bisakah kursi sebanyak itu terisi?
Menurut Sekretaris Perusahaan, R.A. J. Lumenta, 1981 dan 1982
memang "tahun berat bagi Garuda". Tapi Garuda mengharapkan titik
balik di tahun 1983. Betapapun armada Garuda disiapkan untuk dua
dasawarsa mendatang. Seperti pernah diungkapkan Wiweko, "Kami
memperoleh pesawat terbang masa depan menghadapi perkembangan
masa depan dengan harga masa kini." Suatu ungkapan yang terasa
idealistis agaknya.
Sementara cadangan menghadapi masa kini juga ada. Tahun 1980
lebih 78. 000 jamaah haji diangkut Garuda, menghasilkan hampir
Rp 57 milyar. Ini merupakan 16,5% dari total penghasilan Garuda
tahun itu. Tahun sebelumnya program "haji udara" merupakan 10,5%
dari pemasukan Garuda.
Selain program haji itu, Wiweko masih punya truf lain. Umumnya
perusahaan penerbangan memperkirakan masa susut pesawat terbang
mereka dalam 12 sampai 15 tahun. Tapi Wiweko semula menetapkan
masa depresiasi untuk semua pesawat hanya 7 tahun.
Angka ini dalam laporan tahunan tentu menggerogoti sebagian
penghasilan dan akhirnya juga laba. Tapi kalau masa penyusutan
ini diperpanjang, angka setiap tahun bisa kecil. Itu yang
dilakukan Wiweko dan mengubah masa penyusutan dari 7 tahun
menjadi 8 tahun, khususnya untuk Boeing 747 menjadi 10 tahun.
Agaknya ini cukup memberinya peluang tambahan untuk mengatasi
sejumlah "tahun berat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini