BAGI Filipina ataupun India, kertas koran agaknya tak pernah jadi masalah apalagi jadi buah simalakama. Lain halnya di Indonesia, yang kebutuhan kertas korannya semakin lama semakin meningkat tapi kemampuan memproduksinya tidak. Maka, orang pun teringat pada buah simalakama, yang bikin segalanya jadi serba salah. Kalau harga kertas koran naik, pihak penerbit akan menjerit. Sebaliknya, kalau tidak naik, BUMN seperti PT Kertas Leces (PTKL) merintih. Lalu bagaimana? Kali ini pemerintah langsung mengumumkan harga baru. Menpen Harmoko berkata pekan lalu, harga kertas koran sekarang ditetapkan Rp 1.050 per kilogram, naik sekitar 23% dibanding harga sebelumnya yang Rp 850 per kg. Kenaikan ini tidaklah tanpa aba-aba. Juni lalu, Menpen sudah mengisyaratkan. Padahal, Oktober 1987 telah pula terjadi kenaikan dari Rp 675 menjadi Rp 850 per kilogram. Alasannya sama: harga dinaikkan untuk menyelamatkan industri kertas. Adalah Ir. Amirul Yusuf, Direktur Utama PTKL, yang pertama kali bersuara. Katanya jika pemerintah tidak segera menyesuaikan harga kertas koran, maka unit kertas koran yang dikelolanya akan gulung tikar. Apa yang terjadi? Konon, biaya produksi mencapai Rp 1.378,54 per kilo, jauh di atas harga jual yang Rp 850 itu. Akibatnya, PTKL setiap hari harus menanggung rugi Rp 112,5 juta, atau sekitar Rp 4,1 milyar setahun. Hanya selama ini, kerugian bisa ditutup dengan keuntungan yang diperoleh dari unit-unit produksi lain, yang membuat kertas tisu, buku tulis, dan kertas untuk kebutuhan buku cetak. "Tapi kalau tiap tahun merugi terus, yaa ... payah," ucap Amirul Yusuf. Duduk perkaranya kira-kira begini. Salah satu komponen produksi yang membuat biaya tinggi adalah harga pulp (bahan baku kertas) yang diimpor dari Amerika, Kanada, Brasil, dan Skandinavia. Di pasaran internasional, harga pulp cenderung terus menanjak. Bulan Januari harganya masih Rp 1.200, sekarang melonjak sampai sekitar Rp 1.800 per kilo. Selain itu, biaya listrik pun termasuk lumayan tinggi. Bila dihitung-hitung lagi, dengan harga baru yang ditetapkan pemerintah itu, unit produksi kertas koran PTKL toh masih akan merugi. Tapi tak jelas mengapa, setelah banyak koran memaparkan keluh kesah dan kegerahannya, Amirul tak lagi sedia berkomentar. Namun, diakuinya bahwa PTKL merugi. Dan kalau hal ini berlangsung terus, memang bisa mengakibatkan unit kertas korannya gulung tikar. Bicara soal harga yang baru, ternyata produsen maupun konsumen sama-sama tidak puas. Ketua Bidang Sarana dan Prasarana SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), Sabam Leo Batubara, ada berucap bahwa kertas koran merupakan salah satu komponen biaya yang cukup besar, 30% dari biaya total produksi. Jadi, kalau harganya dinaikkan lagi, "yang paling terpukul adalah penerbit-penerbit kecil." Mengapa? Para penerbit ini, di samping menanggung harga kertas, juga membiayai ongkos cetak. Contohnya, ongkos cetak yang dikeluarkan Pos Kota hanya Rp 8 per eksemplar. Ongkos bisa ditekan karena oplahnya cukup besar. Lain halnya koran daerah beroplah kecil, seperti Manado Post, yang biaya cetaknya bisa menggelembung jadi Rp 75 per eksemplar. Tapi ini pun bukan berarti penerbit besar tidak terpengaruh. Kenaikan yang terjadi kali ini terasa merisaukan juga. "Kami sudah menyiapkan diri. Sekarang tinggal menunggu harga patokan dari SPS saja," kata Sjamsul Basri, Pemimpin Redaksi Suara Karya (SK). Maksudnya, SK juga sudah menyiapkan harga baru, dengan kenaikan sekitar 25% dari harga jual yang sekarang. "Saya yakin, dengan melonjaknya harga kertas, harga jual semua koran pun akan naik pula," ujarnya lagi. Kemudian terjadilah pukulan beruntun itu: kertas koran naik, harga koran naik, biaya cetak juga ikut naik. Budi Kusumah dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini