PEMERINTAH ternyata memerlukan ujung tombak dalam usaha menyukseskan ekspor nonmigas. Untuk tugas yang tidak mudah itu, pemerintah menjatuhkan pilihan pada Hassan Sampoerna Kartadjoemena. Ia akan bertindak sebagai Dubes Indonesia untuk GATT (General Agreement on Trade and Tariffs), yakni lembaga internasional yang mengatur perdagangan dan tarif-tarif. Hassan Sampoerna Kartadjoemena -- terakhir menjabat Wakil Kepala Urusan Ekonomi dan Statistik di Bank Indonesia tampaknya memiliki potensi kuat untuk menggempur pintu-pintu masuk berbagai negara maju, lewat markas GATT di Jenewa. Pria berusia 46 tahun yang kelahiran Cirebon ini tahun silam meraih gelar M.B.A. bidang manajemen internasional dari Universitas Jenewa. Gelar sarjananya diperoleh dari Universitas John Hopkins (AS) tahun 1967. Ia pernah menjadi Asisten Menteri Perdagangan pada 1972-1974, kemudian Staf Ahli Menteri Perdagangan 1974-1978. Menurut Hassan, sebelum ini Indonesia mengirim bekas Dirjen Bea Cukai Hans Pandelaki ke GATT. "Saat itu sorotan utama perdagangan internasional tertuju pada hambatan tarif, hingga perlu seorang ahli masalah itu," katanya. Tapi perdagangan internasional sekarang lebih rumit, dan GATT akhirnya menangani banyak masalah, tidak sekadar menyangkut bea masuk. Tak kurang dari 15 masalah, yang sekarang dihadapi GATT, begitu kata Hassan. Semuanya pelik, jadi harus dibicarakan dalam beberapa sidang GATT, -- ini terjadi sejak pertemuan di Uruuay tahun 1976. Pertemuan ini kemudian terkenal dengan nama Uruguay Round. Desember mendatang, sidang GATT di Jenewa sudah memasuki tahap putaran menengah. Masalah jadi kian sulit, karena negara-negara maiu memaksa negara-negara berkembang berdiskusi tentang hal-hal baru, antara lain tentang hak cipta. "Jika negara berkembang menolak diskusi tentang itu, mereka juga menolak mendiskusikan masalah-masalah tradisional," tutur Hassan. Contohnya, masalah eskalasi tarif yang berbau proteksioms. Ekspor barang mentah dikenai tarif rendah (misalnya 5%), sedangkan ekspor barang jadi dikenai tarif bea masuk lebih tinggi (40%). Hal ini jelas menjadi kendala besar bagi Indonesia, yang tengah berusaha meningkatkan ekspor nonmigas dalam bentuk barang jadi yang punya nilai tambah. Lagi pula, ekspor nonmigas Indonesia kini bukan sekadar barang-barang mentah seperti karet atau rotan. Belakangan, ekspor barang jadi hasil industri seperti kayu lapis, tekstil, dan pakaian jadi atau ban kendaraan, semakin meningkat. Tapi kemajuan ini harus berhadapan dengan pabrik-pabrik yang sudah ada di negara maju. Misalnya Industri kayu lapis di Jepang dan industri tekstil di AS. "Kita harus menjaga agar jangan nanti pada saat kita sudah mampu mengekspor barang-barang industri, pasar sudah tertutup benteng proteksionis," ujar Hassan, serius. Hal lain yang juga harus dipelajari Indonesia ialah masalah investasi pasar modal. Dikatakannya, dewasa ini beberapa pemilik modal nasional sudah mulai senang bermain di pasar modal internasional dan pemerintah pun sudah membuka bursa saham di Jakarta kepada investor asing. "Hal ini belum terlalu jelas bagi Indonesia maupun negara-negara berkembang. Karena itu, perlu dilihat secara hati-hati, apa dampaknya serta bagaimana mengaturnya supaya tidak mengganggu pembangunan," kata Hassan. Dari Menmud Perdaanan Soedradjat Djiwandono diketahui bahwa pemerintah mengangkat seorang dubes untuk GATT memang pertama-tama agar bisa ikut bersuara di badan internasional itu. Pemerintah juga bermaksud meningkatkan fungsi lembaga yang sudah ada sejak tahun 1946 itu. "Menteri Perdagangan ingin juga berperan dalam GATT, sebagaiman Menteri Keuangan dalam IMF (Dana Moneter Internasional)," ujar Soedradjat. Dubes di GATT diharapkan akan ikut berbicara tentang semua masalah tersebut secara aktif, baik atas nama Indonesia, maupun bersama rekan ASEAN, ataupun kelompok perjanjian komoditi nonmigas lainnya. Dubes GATT juga diharapkan akan memberikan inforrnasi tentang hal-hal yang perlu diketahui para eksportir. "Misalnya, bila kita memberikan atau melarang subsidi ekspor dan bagaimana damaknya. Semua itu perlu diberitahukan kepada masyarakat," demikian Soedradjat. MW, Sidartha P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini