Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nasabah mengatur langkah prajogo menentukan

Pemecahan masalah bank summa dan rencana penjualan saham astra belum selesai. ada usul agar wakil nasabah ikut dalam perundingan dan menukar sertifikat deposito dengan saham astra.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA damai Natal sempat singgah sebentar di kalangan nasabah Bank Summa. Hal itu terjadi Selasa 22 Desember lalu, ketika mereka berkumpul lagi di kantor pusat Bank Summa di gedung Landmark, Jakarta. Pertemuan nasabah Bank Summa yang entah keberapa kalinya itu mulamula terasa panas. Yang datang cuma sekitar 30 orang. Duta Besar Keliling Hasnan Habib dan Direktur PDBI Christianto Wibisono, sebagai pengundang, terpaksa menyabarkan tamu mereka, yang beberapa khusus datang dari luar Jakarta. ''Apakah ada yang merekayasa kehancuran Bank Summa. Kalau begini, kan yang bertarung gajah lawan gajah, kami sebagai pelanduk mati di tengahnya,'' tutur Ani Raisamon, seorang ibu yang mengaku datang dari Bali. Lain lagi Hadi, seorang nasabah Bank Summa dari Semarang. ''Kami merasa ditinggal Bank Indonesia,'' ujar Hadi. Katanya, BI sudah terlalu banyak melindungi (pemilik) Bank Summa. Ternyata Bank Summa kolaps, bahkan akhirnya harus dilikuidasi, sedangkan nasib nasabah terkatungkatung. Hasnan Habib lalu mencoba menahan emosi mereka. ''Betul Bank Summa sudah dikenai likuidasi oleh Pemerintah. Tapi yang harus melikuidasi bukan Pemerintah, melainkan pemilik Bank Summa,'' kata Hasnan, yang berusaha membentengi Pemerintah. ''Jadi, kartu tertinggi ada pada Om Willem (William Soeryadjaya) sebagai ketua pemegang saham Bank Summa. Ia diberi waktu 30 hari oleh Pemerintah. Om Willem kini memilih Prajogo Pangestu. Saya percaya mereka bisa menyelesaikan,'' kata Hasnan lagi. Namun, ada saja wakil nasabah yang tidak puas. ''Pak Habib, tolonglah jangan cuma jadi penasihat kami. Tapi nasihatilah Pemerintah supaya memikirkan nasib kami,'' kata Hutabarat. Melihat gelagatnya sudah mulai konfrontatif, Hasnan Habib meminta tim perwakilan nasabah itu tenang. Alasannya, supaya Om Willem dan Prajogo dapat mencari jalan penyelesaian sebaikbaiknya. Namun, suasana kembali panas ketika Christianto mengusulkan supaya wakil nasabah diikutkan dalam perundinganperundingan antara Om Willem dan Prajogo. Christianto juga mengajak para nasabah untuk menukar sertifikat deposito mereka dengan saham Astra. Tapi juru bicara Om Willem, Ken Soedarto, menilai usul Christianto itu tidak relevan. Alasannya, perundingan Om Willem dan Prajogo bisa menjadi mentah kembali. Masalah Bank Summa serta kaitannya dengan rencana penjualan saham keluarga William di PT Astra International memang tidaklah sesederhana seperti yang dilihat para deposan. Soalnya bukan sekadar bagaimana dana nasabah Bank Summa yang berjumlah Rp 730 milyar bisa diletakkan di atas meja, lalu dibagibagikan ke nasabah. Di balik itu ada utang keluarga Soeryadjaya sebesar Rp 500 milyar dengan agunan 100 juta lembar saham Astra. Kini utang itu berikut bunga Rp 50 milyar harus dilunasi. Kemudian ada tagihan terhadap Bank Summa sebesar Rp 1.700 milyar (antara lain tagihan para nasabah) serta piutang Bank Summa bernilai Rp 1.200 milyar. ''Kalau Pak Prajogo mau membantu menyelesaikan masalah Bank Summa secara keseluruhan, itu berarti juga ia akan menangani para karyawan Bank Summa,'' kata seorang dari kelompok Prajogo. Prajogo Pangestu tampaknya memang sedang kerja keras untuk itu. Pada hari Kamis, sehari sebelum Natal, Prajogo masih berada di Jakarta, kendati hari itu salah satu proyek Prajogo di Gorontalo (Sulawesi Utara) -- pabrik gula PT Naga Manis -- diresmikan Presiden Soeharto. Apa yang akan dilakukan Prajogo, sampai sekarang belum jelas. ''Pak Prajogo baru akan bicara kalau semua masalah sudah tuntas,'' kata sumber TEMPO. Taipan kayu lapis ini, menurut sumber TEMPO, adalah seorang yang sangat teliti, sampai ke masalahmasalah hukum. Perihal legalisasi pembelian saham, memang jalan sudah terentang lebar. Soalnya, untuk membeli 100 juta saham keluarga Soeryadjaya, ia tidak perlu lagi meminta legalisasi dari Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang sejak Selasa pekan lalu sudah melepaskan jabatan presiden komisaris PT Astra International. Yang mungkin masih harus diatasi, apakah dana pembelian 108 juta saham Astra sebanyak Rp 1.080 milyar akan tersalur sebagaimana mestinya. Yang sudah jelas, sejumlah Rp 550 milyar harus disetorkan Om Willem kepada konsorsium Bank EximBapindoDanamon. Berarti sisa yang bisa dipakai Om Willem untuk menutupi kewajiban Bank Summa tinggal Rp 530 milyar. Kini Bank Summa telah dilikuidasi, sehingga dana tersebut jelas tidak langsung dibayarkan kepada penagih Bank Summa. Dalam kondisi dilikuidasi, itu berarti ada tambahan biaya ekstra lagi, misalnya untuk tim likuidator, termasuk biaya mengaudit dan melacak asetaset Bank Summa. Tadinya perkiraan kewajiban keluarga Soeryadjaya pada konsorsium EximBapindoDanamon (Rp 550 milyar) berikut kewajiban Bank Summa (Rp 1.700 milyar) bisa ditutup dengan penjualan 108 juta saham Astra (Rp 1.080 milyar) berikut aktiva Bank Summa (Rp 1.200 milyar). Kini, selain bebannya bertambah untuk biaya tim likuidator, ada lagi beban birokrasi yang harus diatasi: apakah Bank Indonesia bisa menyetujui action program Prajogo? Masalah lain yang dihadapi Prajogo adalah timnya. Awal Desember lalu ada sejumlah konglomerat siap membantu. ''Tapi belakangan ada yang sudah mengundurkan diri,'' kata sumber dari kalangan itu. Menurut Christianto, jika tim Prajogo tak sanggup mencari dana, para pemilik deposito Bank Summa bisa diikutsertakan. Di antara para wakil deposan yang berkumpul di gedung Landmark, sudah ada yang menyatakan bersedia menukar sertifikat depositonya dengan saham Astra. Bahkan mereka berani membeli saham Astra dengan harga Rp 11.000 per lembar. Cuma, Christianto mengusulkan, ''Perdagangan saham Astra di bursa dibekukan dulu sementara.'' Kalau usul Chris ini dilaksanakan, bukankah itu berarti beban Bank Summa harus dipikul pula oleh pemegang saham Astra di bursa? '' Tahun 1985, sebuah perusahaan yang tercatat di bursa Singapura, Pan El, bangkrut. Akibatnya, bursa Singapura crash, sehingga seluruh kegiatan bursa Singapura harus dihentikan tiga hari,'' ujar Christianto. Direktur PDBI itu menambahkan, bila saham Astra terus diperdagangkan, ia khawatir harga saham Astra di bursa akan jatuh ke harga nominal, yang Rp 1.000 per lembar. Christianto mungkin tidak mengadaada. Mungkin saja PT Astra International akan ''berdarahdarah'' setelah Sumitro mengundurkan diri sebagai presiden komisaris. Begawan ekonomi itu dulu masuk ke Astra bukan cuma untuk membentengi aset nasional itu dari rongrongan pihak luar, tapi juga untuk mencegah rongrongan dari dalam oleh para pemegang saham Astra. Seberapa gencar rongrongan dari dalam itu, tentulah ini rahasia perusahaan. Presiden Direktur PT Astra International, T.P. Rachmat, Selasa pekan lalu mengeluarkan pernyataan, bahwa PT Astra International selama ini telah dan akan terus dikelola oleh para profesional dalam sistem dan prosedur kerja yang mantap. Yang tidak diulangnya, perusahaan yang sahamnya pernah merupakan blue chip di bursa Jakarta itu juga dalam kondisi yang tidak terlalu prima. Beban utang jangka pendeknya sekitar Rp 2 trilyun, sementara utang jangka panjangnya mencapai Rp 600 milyar. Angkaangka ini terungkap dalam RUPS Astra Juni 1992, yang juga menampilkan omset tahun 1991-1992 sebesar Rp 4,3 trilyun. Max Wangkar, Bina Bektiati, Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus