BOLA mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak. Semangat sang paman itu pun menggelegak, tanpa terkendalikan lagi. Sebelumnya, menurut Juani, ia berupaya memalingkan pandangannya untuk tidak mengintai Soleka. Tapi, karena hatinya terus bergolak kasmaran, ia lalu berkeras hati menghampiri gadis berusia dua puluh tahun itu. Kemudian, dalam sekali sergap, Juani memeluk Soleka seraya mengajaknya berbuat tidak senonoh di tempat itu. Soleka yang masih berkain basahan tanggung tentu menolak ajakan sang paman. Tetapi tidak dinyana Juani menjadi kalap. Ia tak cuma menggorok leher Soleka, bahkan juga menodai sang kemenakan beberapa detik sebelum korban tewas. Perbuatan Juani pada 18 Desember lalu itu memang aman dilakukannya di tempat itu. Saat itu semua penduduk di Desa Sarangelang, Baturaja, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, itu sedang sibuk bekerja di kebun mereka masing-masing yang jaraknya sekitar satu kilometer dari desa tersebut. Rumah Soleka juga senyap, karena semua saudaranya sudah pisah rumah sejak mereka berumah tangga. Seperti biasanya, sore itu Soleka turun mandi di sumur yang berjarak 100 meter di belakang rumah orang tuanya. Ketika itu Juani berpura-pura mengambil anak bambu dekat sumur tersebut sebelum ia mendekati keponakannya. Mulanya Soleka masih berani memberontak setelah melihat pamannya muncul di hadapannya yang seraya mengajaknya melakukan perbuatan yang tidak layak itu. Waktu itu Juani tidak cuma mengancamnya dengan parang, kemudian bahkan sudah melukai lehernya. Dengan darah berlelehan ke bajunya, Soleka menjerit minta tolong. Ia bahkan sempat melepaskan diri dari dekapan Juani dan ia lintang-pukang berlari sejauh 20 meter. Tetapi karena luka di leher Soleka semakin parah, Juani berhasil menangkapnya. Kemudian lelaki berumur 35 tahun itu menggorok leher Soleka. Itu yang membikin Soleka jatuh hingga tak siuman. Lalu saat itulah Juani menodai gadis yang tengah sekarat tersebut. Sesaat berlalu, korban mengembuskan napas terakhir. Setelah itu Juani menutupi mayat korban dengan basahan. Parangnya yang bersimbah darah itu dicucinya di sumur. Kemudian ia membuang bajunya yang terpercik darah korban itu ke semak-semak. Seperti tidak melakukan apa-apa terhadap Soleka, lelaki itu lalu bergegas pulang ke rumah, memberitahukan istrinya seolah ia baru menemukan mayat dekat sumur tersebut. Setelah mengganti pakaian, ia malah buru-buru menemui Mat Toha, 60 tahun, ayah korban, yang bekerja di kebunnya. Mendengar kabar itu keduanya bergegas ke tempat mayat Soleka tergeletak. Mat Toha terkesiap melihat jasad anaknya bermandi darah dan dalam keadaan bugil. Karena tetangga Mat Toha seorang polisi, Sersan Kepala Budiono, kemudian ia menyuruh Juani segera melaporkan kejadian itu kepada Budiono. Dan ketika Budiono datang memeriksa mayat korban, polisi itu curiga. Juani ditahannya, lalu dititipkan sementara di tahanan Polisi Sektor Baturaja Timur. Ketika diinterogasi polisi, Juani ternyata tidak bisa mengelak. Dengan jujur diceritakannya apa yang dilakukannya terhadap Soleka. Malam itu juga ia diboyong ke tahanan Polisi Resor Ogan Komering Ulu. Lelaki tegap tinggi ini berkisah kepada TEMPO bahwa sejak sepekan silam ia memang suka membayangkan dirinya bermesraan dengan Soleka. Apalagi gadis hitam manis yang bertubuh menggiurkan itu senang mampir ke rumahnya. ''Ia sering pula tidur-tiduran di balai rumahku, dan roknya acap tersingkap,'' katanya. Rupanya itulah yang membuat Juani semakin kasmaran pada gadis tamatan SMA tahun lalu tersebut. Dan semangatnya kian terdorong karena ia mengaku sudah dua tahun tidak berhubungan badan dengan istrinya, Rohni. ''Istri saya selalu menolak jika saya mengajaknya ke tempat tidur,'' kata Juani. Ketika mengawini Rohni dulu, perempuan berusia 45 tahun ini berstatus janda. Rohni lebih tua 10 tahun dari Juani. Semula keluarga Mat Toha tidak percaya bahwa Juani yang membunuh dan memperkosa Soleka. Lagi pula Juani yang memberitahukan Mat Toha seolah-olah telah menemukan mayat Soleka. ''Ia bahkan menemani saya melihat mayat Soleka dan dia pula yang melaporkannya kepada polisi,'' kata Mat Toha. Selain itu, ia adalah paman Soleka. Juani adalah adik Painem, ibu Soleka, meskipun lain ayah. Rumah Juani juga bertetangga dengan Mat Toha dengan jarak 75 meter. Umumnya rumah-rumah di desa itu memang berjauhan. Meskipun ada pertalian saudara, Juani jarang mampir bertamu ke rumah Mat Toha. ''Terkadang setahun sekali pun tidak,'' kata Mat Toha. Juani memang agak pendiam, dan sebelumnya ia belum pernah kedengaran berbuat macam-macam pada Soleka. ''Sekiranya pernah tentu saja anakku itu sudah mengadu kepadaku,'' kata Mat Toha. Awal Desember lalu Soleka baru saja menerima tanda lulus kursus menjahit. Setamat SMA tahun lalu ia mengisi waktu yang longgar dengan mengikuti kursus keterampilan tersebut. Teman-temannya juga merasa kehilangan, karena jika sore hari mereka suka bermain bola voli dengan anak bungsu dari tujuh bersaudara ini. Akan halnya Juani, meskipun ungkapannya ini sudah klise, me- ngaku menyesali perbuatannya. ''Entah bagaimana kelak nasib anak-anak saya yang masih kecil-kecil,'' katanya kepada Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO. Sebagai petani ia mengaku cuma berpenghasilan Rp 4 ribu per hari untuk menyuapi delapan anak-anaknya. Ayah ini mengatakan masih ada tiga anaknya yang bersekolah, dua di SD dan satu lagi di SMP. Nasi memang sudah menjadi bubur. Sekarang apa yang diharapkannya adalah ia kelak mendapatkan keringanan hukuman. ''Jika saya harus dicaci maki oleh keluarga Mat Toha, saya juga sudah ikhlas. Entah mengapa saya tega berbuat demikian dan malah membunuh Soleka,'' kata lelaki berkulit hitam jebolan kelas III SD itu. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini