Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ngebut menjelang lebaran

Minggu-minggu menjelang lebaran penjualan mobil laku keras meski harga terus melonjak.Bahkan ada dealer yang melakukan penjualan sistem indent karena barang habis. Sebagai faktor peristiwa tersabut.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM itu kini banyak tersungging di bibir pedagang mobil. Senyum puas, terlalu puas. Dalam empat minggu menjelang Lebaran ini, mereka panen besar. Entah kenapa, mobil laku keras. Sampai-sampai, seorang pedagang di Pecenongan berani sesumbar. Katanya, kalau ada yang jual merek apa saja, kami berani beli Rp 1 juta lebih mahal dari harga dealer. Ini benar-benar menantang. Padahal, beberapa pabrik perakitan sejak April 1990 sudah memasang harga jual yang baru. Tingkatnya, harga mobil baru saja dinaikkan. Mendadak, para pedagang yang pernah diamuk masa lesu itu berani main borong. Ambil contoh, produk-produk dari Toyota Astra Motor. Kijang Super, misalnya, sebelum April harganya masih Rp 14,75 juta, tapi kini dihargai Rp 16,15 juta on the road. Artinya, naik Rp 1,4 juta atau sekitar 9,4%. Sementara itu, 11 jenis Kijang lainnya -- seperti Ranger Standard, Komando Super, dan Ranger Aurora naik Rp 200 - 400 ribu. Kenaikan harga Toyota jenis niaga diikuti oleh saingan terdekatnya, yakni minibus. Biarpun naiknya tak sebanyak Toyota, PT Indomobil Utama -- perakit Suzuki -- juga menaikkan harga jual chasisnya dari Rp 9,15 juta menjadi Rp 9,3 juta. Dan itu harga pabrik. Di tingkat pengecer, yang terjadi malah lebih gila-gilaan. Mereka memasang harga Rp 1-2 juta lebih tinggi. Dan lonjakan itu merata. Sedan Toyota Corona 2.000 CC harganya dikerek Rp 1,85 juta. Jadi, kalau Anda ingin memiliki Corona New Auto Metalic 2000 yang langsung meluncur di jalanan, misalnya, uang Rp 68 juta tak cukup lagi, harus Rp 69.850.000. Begitupun sedan yang lagi berkibar di kalangan atas, seperti BMW. Saingan Baby Benz ini bahkan harganya mengayun lebar. BMW 318 mulai April dijual Rp 79,1 juta (naik Rp 4 juta). Sedangkan model 520 naik Rp 3 juta menjadi Rp 137,8 juta. "Yang saya sebut itu angka price list, Iho. Harga di luaran lebih mahal lagi," kata Andre Dumais, Sales Supervisor BMW Cabang Cikini. Sebenarnya, Andre mau mengatakan, di luar harga resmi yang ditentukan dealer, memang ada "harga jual bayangan". Untuk BMW 318, harga bayangannya Rp 85 juta -- Rp 6 juta lebih mahal dibanding harga resmi. Sedangkan BMW 520, di luar dealer, juga Rp 6 juta lebih mahal. Ulah spekulan? Mungkin saja. Sebab, banyak dealer yang melakukan penjualan dengan sistem indent (uang dahulu, barang belakangan) sejak awal tahun ini. "Habis, bagaimana, wong barangnya tidak ada," kata Andre. Pada daftar antre di Cikini, sekarang sudah ada 90 konsumen yang menunggu BMW. Entah sampai kapan "masa gila mobil" ini akan berlangsung. Hingga akhir April? Mungkin saja. Apalagi para perakit kabarnya akan kembali menaikkan harga jualnya. Hingga harga BMW sudah diisukan akan naik lagi antara Rp 2 juta dan Rp 3,7 juta. Mengapa kenaikan itu bertubi-tubi? Menurut Alam Wiyono, Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor, ada beberapa faktor yang menjadi pendorong. Harga Kijang naik, misalnya, karena pada Januari pemerintah mengenakan penalti bea masuk terhadap komponen-komponen yang seharusnya sudah dibikin di dalam negeri tapi kini masih diimpor. Transmisi, umpamanya, kini kena bea 50%. "Tapi kami tidak mungkin langsung menaikkan harga jual sekaligus. Bertahaplah, supaya konsumen tidak kaget," katanya. Selain soal bea masuk, untuk sedan terutama, kenaikan terjadi karena nilai impor yang semakin mahal. Seperti diketahui, dolar belakangan ini kian menguat, bahkan terhadap yen. Padahal, kedua mata uang itu sangat diperlukan untuk mengimpor. "Di samping kami pun ingin menaikkan margin untuk para dealer," kata Alam. Suara senada dikemukakan T. Pawitra, Dirut PT Star Motors, yang mengageni Mercedes -- merek termewah ini sudah mengantungi pesanan untuk pengiriman hingga Juni depan. Menurut dia, CKD yang dibelinya dari Jerman terasa lebih mahal 15%, karena menguatnya mata uang DM. Tapi kami baru akan menaikkan harga jual Juni nanti -- setelah Februari lalu naik 5%. "Ya, buat apa dinaikkan sekarang, barangnya juga tidak ada," kata Pawitra, yang mendapat pesanan 30% di atas kapasitas produksi pabriknya. Langkah serupa juga diambil Ang Kang Ho, bos PT Imora Motor, yang mengageni sedan Honda. Karena pada Januari baru menaikkan harga jual Maestro -- model terbaru yang diluncurkan bulan itu -- dari Rp 68 juta menjadi Rp 74 juta, maka menurut Ang kini Honda belum akan menaikkan harga. Namun, wajahnya tak lepas dari senyum. Maklum, dalam tiga bulan terakhir, Imora telah menjual 3.300 unit. Sementara itu, ada 20% konsumen yang tidak terlayani, lantaran stoknya habis terborong. Nah, kalau harga semua merek naik, lantas apa yang mendorong konsumen sampai berlomba-lomba membeli? Ulah spekulan -- membeli bulan April dan dijual kembali pada bulan Mei -- memang sangat menentukan. Tapi gejala kerasukan membeli mobil itu mungkin juga dipacu oleh meningkatnya daya beli. Pawitra dan Ang Kang Ho melihat gejala itu sebagai pertanda bahwa perekonomian kita membaik. Ditambahkan oleh Pawitra, overlikuiditas yang melanda kalangan perbankan juga menjadi pendorong yang kuat untuk membeli mobil. Lihat saja iklan-iklan di berbagai media. Banyak bank yang menawarkan kredit mobil dengan bunga yang sangat murah, tanpa uang muka lagi. Tapi masih ada satu faktor lain. Ada isu yang "agak mengerikan", yang bertiup di kalangan para pengecer sedan. Ini dikemukakan oleh seorang pedagang di Pecenongan, Jakarta. "Beberapa konsumen saya mengatakan, mereka membeli mobil karena takut devaluasi," tuturnya. Ada-ada saja. Tak heran kalau penjualan mobil dalam empat bulan terakhir ini meledak-ledak. Itu untuk semua merek dan semua jenis mobil (termasuk truk, sedan, kendaraan niaga, dan kendaraan serba guna seperti jip). "Sekarang, baik pabrik, dealer, maupun pedagang, semua tak punya stok," kata seorang dealer Mazda. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus