POISON, Drakkar, Opium, ataupun Scroundel memang nama mentereng, mahal, dan bergengsi. Tapi mungkin sekali nama-nama itu tidak ada artinya tanpa minyak atsiri, bahan baku parfum yang 70% disuplai Aceh -- dari 80% produksi dunia yang disumbang Indonesia. Hanya saja, posisi sebagai supplier terbesar tidak menjamin penghasilan melimpah. Harga minyak atsiri yang berfluktuasi antara 17 dan 19 dolar AS per kg itu -- ini harga f.o.b. -- justru didikte -- pihak importir. Padahal, harga di pasar dunia menjulang sampai 25 dolar. Dalam upaya menstabilkan harga, 12 Oktober silam Kakanwil Perindustrian Sumatera Utara, Buha Tambunan, merintis pembentukan asosiasi meliputi 13 eksportir di Sumatera Bagian Utara. Nada optimistis pun berkibar. Setidaknya kini ada wadah tunggal yang bisa bicara agak keras dengan para imporur atsiri. Di samping itu, tersembul harapan agar nasib petani nilam alias atsin ini juga akan terlindungi dari ulah pihak pedagang. Buha mengatakan, jika produksi atsiri melimpah, harganya jatuh sampai Rp 6 ribu per kg. Tapi jika tipis, melejit Rp 40 ribu. "Nasib petani 'kan terancam," kata Buha. Dan nasib para petani itu juga yang mendorong PT Gecis Matra Indonesia (GMI) -- anak perusahaan PT Pupuk Iskandar Muda Lhokseumawe -- untuk tampil sebagai bapak angkat. Bergerak sejak 1986, GMI berhasil membina 4.450 hektar kebun nilam milik petani di sana. Hasilnya? Dulu panen cuma sekali setahun, kini bisa 3 kali. Kualitasnya pun semakin baik. Kadar besinya anjlok dari 1.500 ppm jadi rata-rata 100 ppm. Berat jenisnya juga memenuhi standar 0,95 hingga 0,98. Kadar keasamannya bisa ditekan dari 7 jadi 3, dan rendemennya naik dari 1,5 menjadi 2,7. Tak pelak lagi, mutu minyak atsiri Aceh meroket di pasar dunia. Importir di AS, Inggris, dan negara Eropa lainnya tergiur. Apalagi pesaing seperti RRC, Madagaskar, .lan Filipina relatif tak berarti. Produksi RC bahkan cuma mengirim bahan baku, tanpa diproses. Maka, harga yang tadinya berfluktuasi ntara Rp 6 ribu dan Rp 15 ribu terkatrol jadi p 26 ribu per kg. Ini mencuat setelah GMI nemberikan kontribusi berupa bantuan pembudidayaan, teknologi produksi, dan pembinaan pemasaran. Dan hasilnya? Petani bersukacita, tapi GMI tidak. Dari areal yang dibina itu mestinya bisa dipanen 37 ton sebulan, tapi yang diekspor lewat GMI hanya 16 ton sebulan -- tidak sampai separuhnya. Jumlah terbesar diam-diam dilego petani kepada eksportir dan tengkulak, yang datang dari Medan. Mereka berani bayar Rp 28 ribu per kg. GMI belum bisa berbuat banyak karena, scpcrti diakui Direktur Komersial PT GMI, Hamzah Anwar, mereka menanggung biaya tinggi. Mengapa? Tak lain karena Aceh belum punya pelabuhan samudra, hingga terpaksa mengekspor via pelabuhan Belawan, Medan. Itu klop dengan catatan Kanwil Perdagangan Sum-Ut. Sejak Januari hingga Juli 1988 telah diekspor 408 ton, bernilai 3,9 juta dolar dari pelabuhan Belawan. Cuma tak ada rincian berapa minyak atsiri asal Aceh yang diekspor GMI dan eksportir Medan, serta berapa pula yang disumbang petani Sum-Ut. Sebegitu jauh GMI tak bisa berbuat apa-apa. Selain terikat dengan misi membina petani nilam, mereka juga tak mungkin memonopoli pembelian. "Perdagangan minyak atsiri bebas, dan siapa saja boleh jadi eksportir," kata Sudjana Wikarta, Kakanwil Perdagangan Aceh. Petani tampaknya sedang bernasib baik. Sadiman, seorang petani atsiri di Kuta Makmur, Aceh Utara, dengan ringannya berkata, "Kalau dijual ke GMI, periksa ini-itu lama betul." Ia pun berpaling ke pembeli dari Medan, yang mau transaksi di penyulingan. Itu masih mendingan dibanding petani lain, yang berani mengijonkan nilamnya. Apa boleh buat, menata komoditi pertanian memang tidak mudah. Barsihar Lubis & Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini