Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Otak-atik Bisnis Sebelum Terjun Membatik

Kisah Yandi menjajal usaha bisnis batik.

27 Juni 2023 | 14.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu karyawan Pusakaing yang bertugas mengecap motif batik di atas kain pada Rabu, 14 Juni 2023.Dokumentasi: Istimewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jangan takut mencoba, jadi rumus Yandi Haryandi, 48 tahun dalam berbisnis. Pria asal Serang, Banten ini menjajal beberapa jenis usaha sebelum akhirnya fokus mengembangkan usaha batik pusaka Banten dengan merek dagang Batik Pusakaing sejak 2014. Beberapa tahun sebelumnya, pria yang pernah bekerja sebagai penagih kredit di Jakarta ini, membuka usaha bakso daging kerbau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis bakso itu sebetulnya laris manis. Namun Yandi menyebut ada kendala yang ia hadapi yang membuatnya kudu menghentikan bisnis itu. Pada 2013, Yandi lantas coba melompat jenis bisnis dari kuliner ke bisnis kaos khas Banten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasarnya sebetulnya lumayan, tapi selama ia berjualan kaos khas sebagai oleh-oleh itu pertanyaan soal batik khas Banten kerap muncul dari sejumlah pelanggan. "Kebetulan saya pernah ikut pelatihan membatik, lalu saya coba buat produknya ternyata permintaan lebih tinggi," tutur Yandi kepada Tempo pada Rabu, 14 Juni lalu.

Menangkap peluang besar itu, Yandi lantas mulai fokus memproduksi batik khas Banten yang menurutnya belum ada membidik. "Padahal batik khas ini peluangnya besar," tuturnya lagi. Di atas kain mori yang semula polos itu, Yandi mencurahkan segenap ide. Beragam pusaka khas Banten jadi inspirasi motif batik yang ia produksi. "Banten punya banyak pusaka. Seperti bangunan dan senjata," bebernya.

Maka dari tangan dingin Yandi, dari rumah produksi di halaman rumahnya di kawasan Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang itu, kini sudah tercipta belasan motif seperti Menara Banten, Mihrab Panembahan, Banteng Sursowan, serta motif golok khas Banten, dan sejumlah motif lainnya.

Batik-batik itu ia jual dengan rentang harga dari Rp 100 ribu- 2 juta, bergantung jenis kain, motif, dan panjangnya. Dalam sepekan ia bisa memproduksi 100 lembar batik. Seblum pandemi, omzetnya mencapai Rp 50 juta tiap bulan.

Yandi sebetulnya tak pernah terpikir bakal menjajal bisnis batik. Lantaran, ilmu membatik ini ia dapat saat sedang menekuni bisnis bakso daging kerbau. Yandi mendapat undangan ikut pelatihan membatik dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah pada 2010 di Yogyakarta.

"Saya pikir ya ikut saja namanya belajar dan ilmunya pasti bermanfaat. Ternyata benar," tuturnya. Walau setelah mengikuti pelatihan ia tak terpikir untuk lanjut menggeluti batik.

Bermodal tabungan dari perputaran usahanya sebesar Rp 50 juta, Yandi nekad mengalihkan bisnis kaos khas Banten ke produksi batik. Ia menyasar pasar kantor-kantor dinas pemerintahan daerah yang sudah pasti bakal memakai batik untuk seragam.

Nah, diakui Yandi sembilan tahun bisnisnya berjalan, ia masih sangat bergantung ke pasar yang satu ini. Produknya belum terlalu banyak menarik perhatian wisatawan atau masyarakat secara umum.

"Masih jadi pekerjaan rumah untuk bisa menarik perhatian masyarakat, makanya saya juga suka mengisi pelatihan membatik ke sekolah-sekolah untuk edukasi."

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus