Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Senior Ekonom The Institute Economics of Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menduga kebangkrutan PT Sepatu Bata Tbk alias Bata yang diumumkan pada 2 Mei 2024 disebabkan salah satunya karena persaingan merek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya kira mungkin ini memang disebabkan oleh persaingan antar merek. Jadi, memang produk atau merek baru di industri sepatu kian gencar baik global maupun lokal," kata Tauhid dihubungi Tempo melalui saluran telepon pada Selasa, 14 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tauhid menyebut merek sepatu Bata sebelumnya menyasar pada masyarakat kelas menengah hingga bawah kalau melihat dari harganya. "Nah ini pasar yang sangat gemuk tapi persaingan paling ketat," ujarnya.
Eksistensi Bata 30 tahun terakhir sempat menjadi primadona di pasar, karena dulu kompetitornya sedikit. Sedangkan, saat ini muncul inovasi-inovasi baru dari perusahaan baru yang menawarkan dengan barang yang menarik. "Memang daya kompetitif dari produk sepatu Bata masih kalah dibanding dengan merek lain yang sejenis. Meski dikatakan yang lain lebih mahal tapi mereka menawarkan desain yang mungkin jauh lebih baik," ujarnya.
Bata dinilai kurang inovasi untuk tetap menjaga pasarnya hingga pemain baru mengambil alih pasarnya. Terutama dengan adanya produk luar secara global yang datang secara cepat perkembangannya, namun desain Bata tidak cepat berganti seiring berkembangnya zaman.
Penyebab kebangkrutan Bata berikutnya yakni cost atau beban biaya produksi. Tauhid mengatakan perusahaan perlu fleksibel melihat lokasi dengan upah yang cukup terjangkau. Tauhid mengatakan Bata memiliki struktur pabrik yang cukup besar berada di wilayah strategis.
"Situasi kenaikan upah menambah beban biaya yang besar. Sementara pemasukannya relatif menurun, kemudian mungkin bahan baku impor di tengah situasi nilai tukar rupiah melemah ke dolar Amerika," paparnya.
Selain pemasaran dalam negeri, perusahaan juga harus gencar memasarkan ke luar. "Saya enggak tahu apakah Bata melakukan ekspor. Setahu saya memang pasar ekspor tertahan, terutama tekstil produksi alas kaki secara global mengalami penurunan," ujarnya. Sehingga harus ada penguatan pasar domestiknya.
Tauhid mengatakan dari kasus kebangkrutan Bata ini, perusahaan lain bisa mengambil pembelajaran yakni meningkatkan inovasi dengan mengikuti selera market untuk persaingan kompetitor lain, melihat karakteristik pasar dan harga pasar tidak hanya memberikan harga murah saja. "Harus dipelajari karakteristik target market-nya agar tidak gulung tikar," ucapnya.
Kemudian, menurutnya manufaktur perusahaan harus fleksibel mencari celah di mana lokasi dengan biaya produksi seminimal mungkin. "Ya harus mengejar lokasi-lokasi industri yang minim cost. Kemudian memperluas pasar tidak hanya dalam negeri tapi juga luar negeri. Itu saya kira yang paling kunci," ujarnya.
Pilihan Editor: Terpopuler: Jokowi Berlakukan Kelas Standar BPJS Kesehatan, Muhammadiyah Tanggapi Bagi-bagi Izin Tambang Ala Bahlil