BISNIS radio panggil (paging) terkesan semakin marak, tapi tiba-tiba pekan lalu Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Djakaria Purawidjaja, mengumumkan pencabutan tujuh izin prinsip bagi badan usaha yang ingin terjun ke sektor itu (6 yang berskala lokal, 1 berskala antarkota). Sebenarnya, mereka diberi tenggang waktu 2 tahun, yang bahkan diperpanjang 3 bulan. Ternyata, ''Mereka terbukti tak sanggup beroperasi. Bahkan ada yang sama sekali tak punya peralatan,'' kata Djakaria kepada TEMPO. Kini, bisnis radio paging lokal masih diramaikan sekitar 30 badan usaha 3 di antaranya berskala nasional. Untuk mengatur bisnis ini, Dirjen Djakaria ''membatasi'' operasi mereka. Caranya? Kota yang berpenduduk kurang dari sejuta hanya diisi dua perusahaan yang penduduknya lebih dari tiga juta maksimal dilayani lima perusahaan. Kendati sudah diatur begitu, ''Banyak yang memaksa-maksa supaya diberi izin, nyatanya tak sanggup,'' kata Djakaria, kesal. Padahal, menurut Djakaria, bisnis paging ini tak gampang. ''Bisnis ini termasuk lamban,'' tukas Ady Soewondo, Manajer Operasi PT Motorollain Corporation (MC), pemilik Starko. Kata Ady, pihaknya baru meraup laba setelah 12 tahun beroperasi. MC kini melayani 34.000 pelanggan di Jakarta dan Surabaya dengan omset Rp 3,6 miliar setahun. Nah, agar lebih untung, pengusaha dengan izin untuk luar Jakarta lalu sengaja mengambil daerah perbatasan, agar bisa memanfaatkan frekuensi Jakarta tentu dengan bayaran non- Jakarta yang lebih miring. Menyadari gelagat ini, Dirjen Djakaria bermaksud menyatukan wilayah se-Jabotabek, dengan tarif sama, yakni tarif Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini