PADA saat Presiden Suharto menyampaikan pidato kenegaran tanggal 16 Agustus 1993 di depan DPR, situasi perekonomian Indonesia masih tidak menentu. Sekurangnya ada empat masalah yang akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini. Pertama, harga minyak yang masih turun kedua, kurs yen terhadap dolar yang makin meningkat ketiga, arus penanaman modal yang turun dan keempat, situasi yang dihadapi bank-bank pemerintah. Harga minyak akhir-akhir ini lemah, dan harganya sedikit di bawah harga perhitungan APBN 1993-1994. Spekulasi bahwa Irak akan diperkenankan PBB melakukan ekspor minyak lagi, sebanyak satu juta barel, membuat panik para pedagang minyak, hingga harga turun. Disiplin anggota OPEC cukup parah. Produsen minyak utama, termasuk Arab Saudi, masih terus melanggar persetujuan batas produksi yang disetujui. Akibatnya, produksi minyak OPEC sekarang ini satu juta barel sehari di atas batas yang disetujui. Arab Saudi sudah menumpuk minyak cukup besar, dan mereka tampaknya siap melakukan perang harga, bila menteri OPEC mengadakan pertemuan lagi bulan depan. Di lain pihak, permintaan dunia terhadap minyak masih lemah, karena resesi yang masih melanda negara-negara industri. Resesi kali lebih buruk karena ekonomi Jepang, yang biasanya lebih baik dibandingkan ekonomi negara industri lainnya, juga mengalami resesi yang paling parah dalam sejarahnya. Bukan tak mungkin, bulan depan OPEC akan menghadapi krisis yang paling buruk sejak jatuhnya harga minyak pada tahun 1986. Kenaikan kurs yen terhadap dolar akan berpengaruh, baik terhadap APBN maupun terhadap neraca pembayaran. Dalam waktu enam bulan terakhir ini, kurs yen terhadap dolar sudah naik 16%. Nilai dolar terhadap yen sudah mencapai titik terendah dalam sejarah. Lebih buruk lagi, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda menguatnya yen itu akan berhenti. Akibat masih lemahnya ekonomi Jepang, impor mereka kecil. Surplus neraca perdagangannya terus membubung. Di pasar uang Tokyo, dolar terus membanjir, dan harganya terus turun. Dalam laporannya tentang ekonomi Indonesia untuk 1992, Bank Dunia menyebutkan bahwa pergerakan kurs merupakan risiko yang mempengaruhi makroekonomi Indonesia. Hampir 50% anggaran rutin APBN tahun ini harus disisihkan untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Naiknya kurs yen juga akan memukul neraca pembayaran, karena sekitar 43% utang luar negeri Pemerintah didenominasikan dalam mata uang yen. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya akan melampaui US$ 8 miliar. Atau, sekitar seperlima dari ekspor Indonesia harus disisihkan untuk membayar cicilan utang dan bunga. Dengan kombinasi turunnya harga minyak dan menguatnya kurs yen, defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran bisa lebih besar dari sasaran APBN 1993-1994. Tapi tak tertutup kemungkinan, memburuknya harga minyak dan yen akan bisa ditutup dari ekspor di luar migas yang empat bulan terakhir ini masih terus menguat. Harga kayu lapis (primadona ekspor Indonesia), misalnya, sudah meningkat 50% dalam enam bulan terakhir ini, karena adanya permintaan yang kuat dari RRC, yang ekonominya masih mengalami boom. Hal ketiga yang masih mengkhawatirkan adalah situasi bank- bank pemerintah. Modal mereka sudah sangat rendah, jauh di bawah persyaratan CAR 7% (kecuali Bank Exim). Pada akhir 1992, secara bersama, jumlah modal enam bank pemerintah Rp 5,3 triliun. Untuk meningkatkan CAR mereka menjadi 7%, mereka perlu tambahan modal sekitar Rp 3,6 triliun. Belum ada yang tahu, dapatkah mereka dan dari mana mereka akan mendapatkan injeksi dana ini. Di lain pihak, jumlah kredit yang kurang lancar, yang diragukan, dan yang macet mencapai Rp 22 triliun. Dengan sendirinya, angka kredit bermasalah ini tidak bisa didiamkan terus-menerus. Satu saat, pembukuan mereka harus disesuaikan, untuk memberi gambaran yang lebih nyata. Dilemanya adalah, bila bank-bank pemerintah membuat provisi 50% untuk kredit yang diragukan dan yang macet pada neraca rugi-labanya, modal mereka akan menjadi negatif. Dalam keadaan demikian ini, tentunya sulit bagi mereka untuk melakukan ekspansi kredit. Bila demikian, pertambahan kredit akan terhambat dan pertumbuhan ekonomi bisa tertekan, sekalipun turunnya suku bunga seharusnya bisa memberi efek stimulatif kepada perekonomian. Bank-bank pemerintah juga tampaknya mengalami kesulitan dalam menyalurkan dananya. Untuk membatasi masuknya deposito, mereka sudah tidak merayu nasabah. Mereka bersikap tegas terhadap suku bunga yang ditawarkan. SBI sudah tidak menarik karena bunganya sekarang hanya 7%. Dan BI pun tidak otomatis menerima penempatan dana di SBI. Pada masa lalu, SBI merupakan tempat pelarian yang aman bagi dana bank-bank yang tidak disalurkan sebagai kredit ke sektor usaha yang mengandung banyak risiko. Bagi BI, fasilitas SBI, yang tujuannya semula adalah untuk mengendalikan likuiditas moneter, ternyata malah membuat BI babak-belur. Setiap tahun BI harus mengeluarkan biaya hampir Rp 2 triliun untuk membayar bunga SBI ini. Semula dikhawatirkan, turunnya suku bunga SBI dengan cepat akan mendorong pelarian modal ke luar negeri. Tampaknya Pemerintah tak perlu mengkhawatirkan adanya pelarian modal ini. Kalau mereka lari, mau lari ke mana? Suku bunga di luar negeri masih lebih rendah daripada suku bunga di Jakarta. Kenyataan ini suku bunga SBI sudah cukup rendah tapi modal masih belum lari mungkin menunjukkan bahwa rasa waswas tentang devaluasi sudah benar-benar mereda. Jadi, kalau ada pelarian modal, sebabnya berasal dari tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini