PROYEK perintis gula cair PT Saritani Nusantara terasa pahit belakangan ini. Direksinya lagi ribut, sehingga produksi gula cairnya, yang dikatakan 120% lebih manis dan 25% lebih murah dari gula tebu tak mengalir keluar. Pemegang saham dari PT Pertani (persero Departemen Pertanian) Jakarta, lewat Soenardi Tjiptopranoto, mengunci pabriknya di Malang, awal November lalu. Ketua komisaris swasta, Moeksaid Soeparman, juga telah ikut memasang gembok. Pangkal persoalan adalah manajemen. Perusahaan yang didirikan 1975 itu, mulamula, dipimpin direksi yang ditunjuk swasta. Perusahaan berkembang dan untung terus. Sejak manajemen berada di tangan pihak Pertani, 1981, perusahaan mulai kehilangan kepercayaan relasi, karena mutu produk berkurang dan kapasitas produksi perusahaan merosot. Bisa diduga, Saritani merugi. PT Saritani Nusantara, yang didirikan dengan akta notaris R. Soebiono Danoesastro itu, mula-mula menjalankan pabrik tapioka di Gondanglegi, Malang, Jawa Timur. Tahun 1978, perusahaan itu melebarkan sayap dengan mendirikan pabrik sakar gula (maltose) dan sakar anggur (glucose). Tahun 1982, Saritani mengembangkan lagi pabrik gula cair fructose, yang diresmikan sebagai proyek percontohan oleh menteri pertanian, waktu itu, Prof. Soedarsono Hadisapoetro. Produk gula cairnya sudah dipakai oleh perusahaan minuman, roti, es krim, dan kecap. Saritani bahkan sempat mengekspor tapioka ke Taiwan dan butir (pellet) tapioka ke Eropa. Sampai 1981, perusahaan itu untung Rp 200 juta lebih. Entah kenapa, tahun 1982 kepemimpinan PT Saritani Nusantara beralih dari Soeparman ke pihak Pertani, yang memegang 51% dari 1.000 saham. Konon, Soeparman, pemegang 34% saham, dicurigai telah menerima komisi 20% atas pembelian mesin-mesin pabrik tapioka bernilai Rp 80 juta, tanpa membagi-bagi kepada pemegang saham lainnya. Tapi yang jelas, sejak terjadi peralihan manajemen itu, kesialan menimpa perusahaan. Kebetulan, terjadi musim kemarau panjang, tahun 1982, sehingga sulit mendapatkan bahan baku ubi kayu. Pengolahan ubi kayu, yang sempat berkembang dari 8 juta ton (1976) hingga 50 juta ton (1981), telah merosot. Tahun 1982 tinggal 32 juta ton, dan tahun lalu tinggal 17 juta ton. PT Saritani Nusantara, tahun ini, menurut Soeparman, sudah parah. Pabrik glucose, fructose, dan pellet akhir-akhir ini berproduksi nol persen, sedangkan tapioka cuma 9%, dan maltose cuma 29%. "Mutu produk juga merosot," katanya. Ada lagi yang dianggap tak beres: misalnya kas langsung dipegang direksi dan pembayaran di rumah direksi. Dengan alasan itu, ia memecat Direktur Utama Wiratno, Oktober lalu, tanpa rapat pemegang saham. Baru kemudian, ia mengundang rapat pemegang saham untuk pemilihan direksi baru. Tetapi, pemegang saham lain, terutama PT Pertani, tak menyetujui langkah Soeparman. PT Pertani juga tak membela pemecatan Wiratno. Sebuah sumber pemegang saham mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap Wiratno, karena mendiamkan saja Soeparman mengambil stok pabrik bernilai Rp 60 juta lebih. tanpa izin direksi. Direktur Pertani Pusat, Rusli Yahya, kemudian membalas membuat undangan rapat pemegang saham untuk memilih direksi baru. Awal November lalu, mereka menunjuk penjabat direksi: Soenardi Tjiptopranoto (dari Pertani), H. Soeparlan dan Oerip Hartono (unsur swasta). Sebaliknya, Soeparman mengangkat Soediro sebagai pejabat sementara. Soenardi, dari Pertani Pusat, berusaha mengamankan pabrik dan kantor dari kemungkinan direbut Soeparman dengan mengunci kantor dan pabrik. Penjabat yang ditunjuk Soeparman, kemudian, ikut menggembok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini