Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penerapan pajak hiburan yang kena tarif batas bawah dan batas atas (40-75 persen) hanya berlaku buat diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa. Menurut Kementerian Keuangan, diskotek hingga spa kena pajak tinggi karena dinikmati oleh masyarakat tertentu, yaitu kelas menengah dan menengah ke atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung membantah bahwa industri spa hanya dinikmati oleh orang kaya. “Manfaat spa itu apa? Prevention (pencegahan),” ujar dia di kawasan Jakarta Selatan, pada Kamis, 18 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, spa berkaitan dengan tubuh manusia yang memiliki kaki, badan, dan tangan dengan berjuta-juta saraf, serta jantung yang memompa darah. Jika terjadi hambatan antara pembuluh darah dan pembuluh getah bening yang namanya limpa, maka membuat antibodi dan imunitas turun yang membuat penyakit bisa datang.
Untuk mencegah itu terjadi, Lourda berujar, layanan spa dilakukan melalui berbagai pendekatan alami. Sehingga dia heran spa termasuk ke dalam jenis hiburan. “Jadi, untuk kalangan siapa? Ya berlaku untuk semua, emangnya yang punya hanya orang kaya? Petani nggak punya? Ya punyalah,” tutur dia.
Jadi, dia menuturkan, tidak bisa spa dikategorikan hanya untuk orang-orang kaya. Justru, Lourda berujar, orang yang menengah bawah perlu diajarkan caranya untuk tetap sehat. “Orang kaya mah nggak usah diajarin, dia bisa golf sendiri, bisa relaksasi sendiri,” ucap Lourda.
Kementerian Keuangan menyatakan pajak hiburan yang kena tarif batas bawah dan batas atas (40-75 persen) hanya berlaku buat diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan diskotek hingga spa kena pajak tinggi karena dinikmati oleh masyarakat tertentu, sehingga perlu penetapan tarif batas bawah atas jenis tersebut.
“Guna mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha,” kata Lydia di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Januari 2024.
Selanjutnya: Pajak tersebut diatur dalam revisi Undang-Undang....
Pajak tersebut diatur dalam revisi Undang-Undang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang terbit pada 2022. Pasal 55 UU HKPD mengatur ada 12 jenis kegiatan yang masuk kategori jasa kesenian dan hiburan. Dari dua belas jenis kategori tersebut, hanya jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa saja yang kena tarif batas bawah dan atas.
Sementara sebelas jenis lainnya yaitu tontonan film; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; dan panti pijat dan pijat refleksi, tidak kena tarif tinggi.
Secara umum, kata Lidya, ada penurunan tarif untuk sebelas jenis pajak hiburan di luar diskotek, dari 35 persen menjadi peling tinggi 10 persen. Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir. Ini, menurut Lidya, bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.
Selain itu, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian pajak terhadap jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah,” ucap dia.
Sebelumnya banyak pengusaha hiburan mengeluh dan memprotes rencana pengenaan pajak hiburan hingga 75 persen oleh sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya Inul Daratista, pemilik karaoke Inul Vizta, yang memprotes pengenaan tarif pajak tersebut. Menurut dia, tarif tersebut akan membunuh industri hiburan karena pajak itu mau tak mau akan dibebankan ke konsumen.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus juga menyebutkan para pengusaha spa di Bali langsung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 5 Januari 2024.
Dia menjelaskan materi yang diuji itu yakni terkait Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Menurut dia, pengusaha spa ingin meninjau kembali posisi industri spa yang bukan termasuk jasa hiburan melainkan kebugaran atau kesehatan (wellness).