Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh pemasangan pagar laut ilegal sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang dan juga Kabupaten Bekasi mencapai Rp116,91 miliar per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Achmad Nur Hidayat, kerugian ini mencakup dampak terhadap pendapatan nelayan, peningkatan biaya operasional, serta kerusakan ekosistem laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi telah menciptakan kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis yang signifikan. Proyek ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga gagal memberikan manfaat yang dijanjikan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pagar ini lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif,” kata Achmad kepada ANTARA di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.
Ia merinci, kerugian sebesar Rp116,91 miliar tersebut terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar per tahun, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun. Perhitungan ini didasarkan pada data dari Ombudsman RI serta analisis ekologis independen.
Pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer ditemukan di pesisir utara Kabupaten Tangerang dan 8 kilometer di Bekasi.
Pagar ini diklaim sebagai upaya mitigasi abrasi dan tsunami, namun data menunjukkan bahwa struktur ini lebih banyak mendatangkan kerugian.
Berdasarkan data Ombudsman RI, sekitar 3.888 nelayan di Tangerang dan Bekasi mengalami kerugian akibat terhambatnya akses ke wilayah tangkapan ikan.
Achmad menilai pendapatan nelayan menurun rata-rata Rp100.000 per hari karena waktu melaut yang berkurang dan jarak melaut yang lebih jauh. Dengan asumsi nelayan bekerja 20 hari per bulan, kerugian total mencapai Rp7,776 miliar setiap bulan atau Rp93,31 miliar per tahun.
Selain itu, rute melaut yang lebih panjang meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga Rp1,55 miliar per bulan atau Rp18,60 miliar per tahun. Biaya tambahan ini semakin memperburuk kondisi ekonomi nelayan.
"Dengan ekosistem yang terganggu dan akses masyarakat yang terbatas, pagar laut ini justru menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir," ujarnya.
Selain kerugian ekonomi, pagar laut juga dinilai merusak ekosistem pesisir. Struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan untuk membangun pagar mengganggu habitat alami ikan, udang, dan kerang. Hal ini memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya.
"Hal ini semakin memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya. Alih-alih mencegah abrasi, pagar ini justru menciptakan tekanan baru pada lingkungan," kata Achmad.
Lebih lanjut, analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara kerugian yang ditimbulkan dan manfaat yang diharapkan.
Dengan kerugian ekonomi yang mencapai Rp116,91 miliar per tahun, namun manfaat seperti mitigasi abrasi dan tsunami serta budidaya kerang hijau tidak dapat diverifikasi atau memberikan dampak nyata.
"Hasil analisis ini menunjukkan bahwa proyek pagar laut tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir. Sebaliknya, proyek ini justru menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat lokal," tuturnya.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengatasi permasalahan ini. Achmad merekomendasikan agar pagar laut ilegal segera dibongkar demi memulihkan akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan.
Selain itu, kebijakan berbasis data harus diterapkan untuk memastikan bahwa mitigasi abrasi dilakukan secara efektif dan berkelanjutan.
Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap wilayah pesisir untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
"Dengan langkah-langkah tersebut, keadilan bagi nelayan dapat dipulihkan, dan ekosistem pesisir dapat dilindungi dari kerusakan lebih lanjut. Semua pihak harus bersinergi untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan selalu berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan yang berkelanjutan," ujarnya.
Hitungan Ombudsman
Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Mokhammad Najih menjelaskan bahwa kerugian nelayan sebanyak Rp9 miliar akibat pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, masih hitungan sementara.
“Ya, itu masih valuasi yang bersifat kasar begitu ya, karena tadi berdasar keluhan para nelayan,” kata Najih di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa penghitungan tersebut dilakukan dengan memperkirakan kerugian nelayan akibat tambahan jarak untuk melaut.
“Dengan adanya pagar laut itu, dia harus memutar kurang lebih 30 kilometer itu, sehingga dia kehilangan biaya kurang lebih di angka tiga literan. Semula hanya satu liter menjadi tiga liter,” katanya.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa perkiraan kerugian tersebut bukanlah angka yang terperinci.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa perkiraan tersebut dihitung oleh tim investigasi Ombudsman yang dipimpin anggota ORI Yeka Hendra Fatika.
Sebelumnya, Yeka melalui keterangannya di Serang, Banten, Rabu, menaksir kerugian nelayan selama tiga bulan terakhir mencapai Rp9 miliar.
Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Banten Fadli Afriadi di Tangerang, Rabu, juga mengatakan bahwa kerugian nelayan diperkirakan mencapai Rp9 miliar dengan menghitung penurunan rata-rata penghasilan nelayan Rp100 ribu per hari.
"Asumsinya 1.500 nelayan melaut selama 20 hari dikali sekian bulan. Tiga bulan saja, sudah Rp9 miliar. Ini paling rendah taksiran ekonominya, apalagi 3.888 nelayan," kata dia.