KEPALA Badan Urusan Logistik (Bulog) Jusuf Kalla kepeleset. Cuma lima bulan menduduki kursinya, pengusaha Sulawesi Selatan itu sudah harus menyerahkan jabatan kepada ekonom Rizal Ramli. Menurut rencana, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri yang akan melantik kepala Bulog baru itu, pekan ini.
Keputusan untuk mencopot Jusuf tampaknya tak bisa dielakkan Gus Dur. Harga gabah, salah satu tanggung jawab Kabulog, sudah jatuh sampai ke titik terendah dalam sejarah Republik. Dalam 2,5 bulan terakhir, hampir di semua daerah di Indonesia harga gabah berkutat pada Rp 700 per kilogram. Padahal, menurut patokan pemerintah, harga dasar gabah kering panen sebesar Rp 1.020-Rp 1.095 per kilo.
Rendahnya harga gabah tidak cuma membuat petani gigit jari (lihat: Panen Lara buat Pak Tani), tapi juga mengancam pemerintahan Gus Dur. Tidak disangsikan lagi, komoditi strategis ini punya sawab politik yang sudah terbukti manjur. Lebih dari tiga dasawarsa lalu, Sukarno jatuh gara-gara harga beras menggila. Begitu juga Soeharto. Demonstrasi dan kerusuhan marak karena harga bahan pangan tak terkendali.
Boleh jadi, ancaman politik yang dihadapi pemerintahan Gus Dur dalam geger gabah kali ini tak akan sedahsyat yang dihadapi Sukarno atau Soeharto. Soalnya, yang terjadi bukanlah kenaikan harga yang menyulut kemarahan konsumen dan kelas menengah, justru sebaliknya, penurunan harga yang "cuma" menekan nasib petani.
Tapi, jangan anggap enteng. Geger gabah ini akan mencekik kehidupan 15 persen penduduk Indonesia. Sekitar 35 juta orang yang kini hidup dari sektor pertanian akan jadi taruhan. Bayangkan saja. Menurut perhitungan Menteri Pertanian M. Prakosa, biaya produksi petani rata-rata Rp 706 per kilo. Dengan kata lain, usaha tani padi saat ini tak akan menghasilkan sisa dan kelebihan apa pun untuk petani: pak-puk, impas saja sudah untung. Kalau benar begitu, lalu dari mana mereka bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidup yang lain.
Jatuh ciutnya kualitas petani bukan tak ada buntutnya. Derita petani tahun ini akan mengancam pasokan pangan tahun depan. Jika ekspektasi harga gabah begitu rendahnya dan kebijakan pemerintah terbukti tak mampu menolong, petani berpeluang untuk berakrobat: mengganti usaha tani padinya dengan tanaman lain yang lebih menjanjikan. Kalau itu terjadi, jelas sudah, produksi padi akan merosot dan akibatnya hantu kurang pangan akan kembali menggejala. Kalau sudah begini, konsumen akan berteriak dan pemerintah baru merasa terancam.
Banyak yang menunjuk beras impor sebagai biang keladi kejatuhan harga gabah. Harus diakui, sejak impor beras dibebaskan, awal 1998, serbuan beras impor memang luar biasa kencang. Menurut catatan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), selama periode itu, hampir 10 juta ton beras impor telah menyerbu Indonesia.
Pada tahun pertama pembebasan tata niaga impor beras, 1998, serbuan itu memang habis diserap pasar. Harap maklum, ketika itu Indonesia lagi disergap bencana kekeringan, panen gagal di mana-mana. Tapi pada tahun berikutnya, 1999, panen lumayan bagus. Akibatnya, hingga akhir tahun lalu, ada sekitar 2,5 juta ton beras eks-impor yang belum diserap pasar. Hingga hari ini, sejumlah gudang Dolog dan pedagang masih dipenuhi beras impor.
Berbarengan dengan sesaknya gudang oleh beras impor tahun lalu, panen padi berjalan sukses. Di mana-mana ada panen raya. Menurut Kepala Humas Departemen Pertanian, panen raya tahun ini diperkirakan bakal menghasilkan gabah kering giling (GKG) 50,4 juta ton, atau setara 31,4 juta ton beras. Padahal, tingkat konsumsi nasional paling banter hanya 28,2 juta ton. Artinya, dari pasokan produksi lokal saja ada kelebihan sekitar 3 juta ton.
Celakanya, di tengah panen raya seperti itu, Gus Dur tak cekatan. Patokan harga dasar gabah memang ada, tapi KUD dan Dolog tak punya dana untuk membelinya. Dana pembelian gabah telat cair. Padahal, Ketua HKTI, Siswono Yudohusodho, mengaku sudah mengingatkan pemerintah jauh hari sebelum panen raya tiba, Februari lalu. "Kami sudah memberi warning sejak November tahun lalu," katanya.
Menurut Siswono, peringatan dini itu disampaikan karena ada perubahan penting dalam penyaluran dana pembelian beras. Selama ini, kredit itu langsung turun dari Bank Indonesia (BI) melalui kredit murah kepada BRI. Tapi sekarang, berdasarkan Undang-Undang Bank Sentral, BI tak boleh lagi memberi kredit. Karena itu, pemerintah harus menerbitkan surat utang ke BI lebih dulu. Dan pinjaman itulah yang akan disalurkan pemerintah ke KUD atau Bulog.
Proses yang rumit itu rupanya tak dipersiapkan dengan serius. Surat utang belum dibuat. Akibatnya, KUD tak bisa berbuat apa-apa melihat serbuan panen yang begitu dahsyat. "Bagaimana membeli gabah kalau di kas tak ada duit," kata seorang pengurus KUD di Karawang, Jawa Barat.
Lebih celaka lagi, pemerintah salah memperkirakan kebutuhan dana pembelian gabah. Tahun ini, anggaran untuk pembelian gabah cuma Rp 2,2 triliun. Padahal, menurut perhitungan Econit berdasarkan prognosis panen, dana yang harus dicadangkan untuk menstabilkan harga gabah paling tidak Rp 6,3 triliun.
Lalu, apa yang bisa dilakukan setelah gonjang-ganjing ini terjadi? Ada yang mengusulkan kenaikan bea masuk beras untuk menghadang beras impor. Tapi, menurut seorang ekonom, jurus ini tak akan mengatasi masalah. Tanpa tambahan bea masuk pun harga beras lokal masih bisa bersaing. Menurut kajian Econit, harga beras kualitas medium asal Thailand saat ini Rp 1.500 per kilo. Dengan tambahan bea masuk Rp 450 (30 persen), beras Thailand akan dijual di pasar pada harga Rp 2.000 per kilo, tidak terlalu murah untuk ukuran beras lokal. Artinya, tanpa tambahan bea masuk pun, beras impor baru bukan lagi ancaman.
Menurut sejumlah ekonom pertanian, yang lebih dibutuhkan adalah solusi jangka pendek: bagaimana agar harga gabah bisa terdongkrak naik. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali cepat-cepat menyediakan dana untuk melakukan operasi pasar. "Beli gabah petani sesuai dengan harga patokan," kata Econit dalam kajiannya.
Lalu, bagaimana caranya? Toh, dana yang sudah dianggarkan kini jauh di bawah kebutuhan. Untuk mengatasi keterbatasan dana pengadaan beras, Econit mengusulkan agar dana tambahan ini bisa diperoleh melalui sejumlah akrobat. Misalnya, merelokasikan dana anggaran yang sedianya dipakai untuk membayar utang luar negeri. Kalaupun ini tidak mungkin dilakukan, pemerintah bisa memanfaatkan rezeki nomplok dari kenaikan harga minyak.
Seperti mendengar seruan para ekonom, pemerintah kini mulai bergerak. Dana pengadaan beras, misalnya, langsung dinaikkan menjadi Rp 6 triliun (tak jelas sumbernya dari mana), dan proses pengucurannya, kabarnya, akan dipercepat. Pemerintah juga menghentikan impor beras sampai pertengahan tahun ini. "Impor yang dilakukan Bulog sampai bulan ini tak sampai 200 ton," kata Kalla.
Tapi, semua itu cuma solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, soal manajemen perberasan harus mendapatkan prioritas utama. Penghitungan perkiraan produksi nasional, misalnya, harus dilakukan dengan lebih akurat. Dan di atas semua itu, untuk meningkatkan ketahanan dan stabilitas pangan, harkat dan kesejahteraan petani perlu didongkrak.
M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan, Ardi Bramantyo, Tiarma Siboro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini