Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Panik Terjepit Harga Bawang

Pemerintah akhirnya membuka keran impor bawang merah. Empat kementerian ragu terhadap data produksi Kementerian Pertanian.

30 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK berdaya menghadapi lima pejabat negara, Direktur Sayuran dan Tanaman Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Yanuardi kalah suara tatkala mayoritas peserta rapat menyetujui kebijakan impor. Digelar di kantor Kementerian Perekonomian pada Selasa pekan lalu, rapat koordinasi pangan itu membahas strategi pemerintah menekan gejolak harga bawang merah yang trennya meroket.

Lawan yang dihadapi Yanuardi bukan sembarangan. Rapat ini dihadiri Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, dan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.

Utusan Kementerian Pertanian selalu menolak impor setiap kali rapat digelar. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim produksi bawang merah mencapai 93 ribu ton per bulan. Angka itu, kata dia, cukup untuk kebutuhan per bulan sebesar 85-90 ribu ton. Hingga rapat ketiga, Kementerian Koordinator Perekonomian memberi kesempatan kepada Kementerian Pertanian untuk bisa memastikan kebutuhan tercukupi. Indikatornya, suplai mencukupi dan harga bawang merah turun.

Namun, hingga rapat keempat digelar pekan lalu, harga tak kunjung turun dan masih bertengger di level Rp 42 ribu per kilogram. Hal ini membuat data produksi Kementerian Pertanian diragukan. "Kami tidak melihat ada suplai seperti yang dikatakan," ucap Darmin. Padahal, menurut Darmin, kementeriannya sudah meminta data yang dijanjikan sejak tiga minggu sebelumnya.

Dalam rapat keempat itulah Darmin memutuskan membuka keran impor bawang merah 2.500 ton. Kementerian Pertanian sepertinya sudah mencium arah kebijakan yang akan diambil. Itu sebabnya Amran enggan "bertarung" dalam rapat itu. Ia hanya mengutus Yanuardi, pejabat eselon II. Namun, saat dimintai konfirmasi, ia punya alasan lain: "Saya menerima kunjungan sejumlah duta besar."

Lonjakan harga bawang merah menjadi perhatian pemerintah. Data Bank Indonesia menunjukkan lonjakan harga bawang menyumbang inflasi 0,16 persen. Itu sebabnya Darmin geregetan ingin menekan harga. Apalagi Presiden Joko Widodo sudah meminta agar harga bawang merah bisa bertengger pada level Rp 25 ribu per kilogram menjelang bulan puasa dan Lebaran.

Darmin merespons keinginan Presiden dengan mengundang Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, dan Bulog pada 29 April lalu. Analis keuangan Lin Che Wei juga dilibatkan untuk mencari jalan keluar.

Lin Che Wei mengatakan harga meroket akibat produksi seret. Maret-Mei merupakan masa rendah produktivitas bawang karena sudah masuk periode musim hujan. "Impor adalah pilihan terakhir untuk menstabilkan harga," katanya.

Usul impor ini mengemuka dalam rapat koordinasi itu. Menteri Amran menolak usul tersebut dan mengklaim produksinya cukup. Anggota rapat mengalah dan memberi kesempatan kepada Amran untuk memastikan suplai bawang mencukupi sehingga bisa meredam kenaikan harga. Tiga hari kemudian rapat koordinasi digelar kembali. Kementerian Pertanian menyodorkan data bahwa produksi mencapai 93 ribu ton. Mayoritas peserta rapat ragu terhadap data tersebut. Melihat gelagat itu, rapat sepakat membentuk tim untuk mengecek ke lapangan.

Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator Perekonomian Wilistra Danny memimpin tim berangkat ke Kendal, Jawa Tengah. Tim terdiri atas perwakilan Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, dan Bulog. Tugas tim adalah memvalidasi data yang disodorkan Kementerian Pertanian. "Kami menggunakan GPS untuk mengecek jumlah lahan," ucap Wilistra.

Hasilnya, temuan tim berbeda dengan data Kementerian Pertanian. Salah satunya tentang produktivitas lahan. Kementerian Pertanian menyebutkan produktivitas lahan menembus 10 ton per hektare. Kementerian Perekonomian menilai produktivitas lahan saat musim hujan seperti sekarang hanya 7-8 ton per hektare. Karena itu, Kementerian Perekonomian ragu terhadap data Kementerian Pertanian.

Menteri Amran tak mau kalah. Dua pekan lalu, ia merevisi data produksi bawang bulan Mei, dari 93 ribu ton menjadi 125 ribu ton. Ia mencoba meyakinkan publik bahwa produksi melimpah dan tak perlu impor. Revisi itu membuat Kementerian Perekonomian semakin ragu terhadap data produksi. "Data Kementerian Pertanian kurang akurat," kata Lin Che Wei. Sedangkan Amran menyindir sikap tidak konsisten Kementerian Perekonomian. "Kalau data produksi naik, diragukan. Kalau turun, datanya langsung dipercaya."

* * * *

DI tengah desakan impor, Kementerian Pertanian berupaya menurunkan harga bawang lewat operasi pasar. Kementerian Pertanian memperoleh stok bawang melalui petani binaannya. Hasil yang terkumpul dijual Kementerian Pertanian lewat Toko Tani Indonesia, yang tersebar di 20 lokasi di Jakarta. Gerai Toko Tani berdiri saat berlangsungnya hari bebas kendaraan (car-free day) di Jakarta pada Ahad tiga pekan lalu.

Tak hanya di jalanan, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono juga menginstruksikan anak buahnya berjualan di kantor Direktorat Jenderal Hortikultura di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Lantai dasar kantor disulap bak pasar dadakan sejak dua bulan lalu. Ratusan karung berjejer di lantai, aroma bawang meruap begitu memasuki gedung yang dibangun melingkar itu. Bawang "pelat merah" itu dibanderol Rp 25 ribu per kilogram.

Jurus Amran tak kunjung membuahkan hasil. Harga bawang masih bertengger di atas 40 ribu per kilogram. Amran sadar berjualan bawang bukan tugas instansinya. Namun ia tak punya jalan lain. "Saya meyakini produksi melimpah, tapi harga tinggi memang anomali," katanya.

Amran belum mau menyerah. Kali ini ia menggandeng Perum Bulog untuk menyerap bawang petani. Direktur Jenderal Hortikultura Spudnik Sujono menerjunkan anak buahnya ke sentra produksi, seperti Brebes di Jawa Tengah, Nganjuk dan Malang di Jawa Timur, dan Bima di Nusa Tenggara Barat, untuk membujuk petani agar mau bawangnya dibeli Bulog. "Kami memastikan suplai ada," katanya.

Membujuk petani bukan pekerjaan mudah. Direktur Pengadaan Bulog Wahyu mengatakan mayoritas bawang petani statusnya sudah diijon atau dibeli tengkulak ketika tanaman baru berusia 25-45 hari. Panen bawang rata-rata membutuhkan 60 hari. Akhirnya Bulog banyak mendapatkan bawang dari pedagang, bukan dari petani. "Kami ingin jemput bola. Tapi kenyataannya kami mendapatkan bawang dari pedagang," katanya Senin pekan lalu. Bulog berhasil mendapatkan bawang dengan harga beli Rp 20-22 ribu per kilogram.

Menteri BUMN Rini Soemarno dan Amran Sulaiman melihat sendiri bawang hasil gerilya itu di gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Hasilnya, terkumpul 1.040 ton bawang merah. Namun Bulog enggan menggelar operasi pasar di pasar induk karena dikuasai pedagang besar yang berperan mengendalikan harga. Wahyu menilai gelontoran bawang ke Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta, Cibitung di Bekasi, dan Tanah Tinggi di Tangerang tidak akan bisa menekan harga. "Bandar besar di pasar induk terlalu menggurita," ujarnya.

Di tengah kebingungan itu, ribuan bawang menumpuk dan mulai rusak di Gudang Bulog. Perusahaan pelat merah itu tak memiliki kemampuan mengurus bawang yang tak tahan ditumpuk dan disimpan lama. Bulog akhirnya lempar handuk. Bawang dijual ke tengkulak pasar induk dalam jumlah kecil. Pedagang besar pasar induk tak mau membeli karena buruknya kualitas bawang.

Bulog bisa sedikit lega setelah Beni Santoso, pedagang besar di Brebes, mau menampung 700 ton bawangnya. Beni adalah pedagang yang dikenal sebagai salah satu "pemain" besar di Brebes.

Beni mengakui menampung bawang Bulog. Bawang tersebut akan disortir. Urusan memilah bawang ini membutuhkan tenaga terampil. Itu sebabnya Bulog memilih Beni sebagai penampung karena ia salah satu pedagang yang memiliki gudang besar dengan tenaga kerja memadai. "Saya dimintai tolong untuk mengolah," ucap Beni kepada Tempo.

Seorang pejabat di pemerintahan mengatakan Bulog bisa menggandeng Beni karena peran Billy Haryanto, pedagang besar beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta. Billy dikenal sebagai pedagang dari Solo, Jawa Tengah, yang dekat dengan Presiden Joko Widodo sejak menjabat Wali Kota Solo. Billy tak membantah perannya. "Menurunkan harga bawang ini mudah," katanya Jumat pekan lalu.

Billy Haryanto dan Beni Santoso bukan nama asing di Kementerian Perekonomian. Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud pernah mengundang Billy dan Beni-beserta sejumlah perwakilan petani dan asosiasi bawang-ke Kantor Kementerian Perekonomian di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Jumat dua pekan lalu. Lin Che Wei dan Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti hadir di sana.

Seorang peserta mengatakan para pengusaha bawang itu mengusulkan impor bibit bawang 2.500-5.000 ton. Alasannya, stok bibit ludes akibat terserap untuk konsumsi. Mereka menyodorkan data stok bawang merah yang mencapai 19 ribu di Thailand dan 17 ribu ton di Vietnam. Billy mengakui ada pertemuan tersebut dan usul mengimpor bibit. "Kalau bawang untuk konsumsi tidak perlu impor, dua minggu lagi harga pasti turun," katanya.

Djarot tak membantah ada pertemuan itu. Namun ia menyangkal kabar bahwa para pedagang meminta impor bawang. "Pertemuan itu dalam rangka diskusi stabilitas harga. Tidak ada usul impor," katanya. Lin Che Wei memastikan kebijakan impor bukan agenda titipan, melainkan berdasarkan analisis ekonomi untuk menstabilkan harga menjelang puasa dan Idul Fitri. Musdhalifah mengatakan kebijakan impor berasal dari hitungan berbasis data dan verifikasi lapangan. "Tidak ada cukup suplai di pasar," ujarnya.

Empat hari setelah pertemuan itu, Kementerian Perekonomian menggelar rapat koordinasi dan mengumumkan membuka keran impor 2.500 ton. Kuota impor ini akan diberikan kepada tiga BUMN, yakni Perum Bulog, PT Berdikari, dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia. Di kalangan pedagang besar pasar induk, beredar kabar bahwa impor tiga BUMN ini akan menggandeng kelompok Beni Santoso. "Bulog sudah terbukti tidak bisa mengurus bawang," ujar pedagang pasar induk di Jakarta.

Direktur Pengadaan Bulog Wahyu mengatakan belum menggandeng mitra karena izin impor belum resmi terbit dari Kementerian Perdagangan. Adapun Beni membantah terlibat impor bawang. "Belum ada komunikasi dengan Bulog," katanya. Ia menegaskan, yang diperlukan saat ini bukan impor bawang, melainkan impor bibit bawang.

Akbar Tri Kurniawan, Agus Supriyanto (Jakarta), Muhammad Irsyam Faiz (Brebes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus