Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pedas Bawang di Tangan Bandar

Pasar bawang merah nasional dikuasai para pedagang besar di sentra produksi dan bandar pasar induk. Rantai pasokan hingga konsumen terlalu panjang.

30 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian punya kesibukan tambahan. Setiap hari, mulai pukul sembilan hingga tengah hari, mereka "beralih profesi" menjadi pedagang bawang merah dan cabai keriting. Dua jenis sayuran itu memang sedang banyak dicari belakangan ini.

Dengan seragam PNS lengkap, mereka menjaga dan melayani konsumen. Ada juga yang bertugas menimbang dagangan. Seorang lagi memegang pengeras suara memanggil pembeli. "Pasar murah, pasar murah. Ayo, Bu, bawang murahnya. Sekilo 25 ribu rupiah," ujar si petugas memanggil orang yang berlalu-lalang.

Posisi warung tenda Pasar Tani itu persis di pintu belakang kantor pusat Ditjen Hortikultura, yang menghadap Jalan Raya Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta. Warung itu akan buka sampai stok habis setiap hari sepanjang pekan hingga Lebaran nanti. Selain di Pasar Minggu, warung-warung itu ada di 19 lokasi lain yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka juga membuka lapak di lokasi car-free day, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Seorang pembeli, Nyonya Husnaeni, mengatakan bawang ini lebih murah dibanding bawang di pedagang sayur keliling, yang Rp 40-45 ribu per kilogram. Agung Sunusi, Kepala Subdirektorat Aneka Cabai dan Sayuran Buah, menambahkan, warungnya selalu laris manis. Dalam sehari, dua ton cabai dan lima ton bawang merah ludes terjual.

Komoditas itu didatangkan langsung dari sentra produksinya di Garut dan Cirebon, Jawa Barat; Nganjuk, Jawa Timur; atau Bima, Nusa Tenggara Barat. "Semua tenaga kami dikerahkan untuk mengumpulkan dari petani," kata Agung kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono menolak jika aktivitas yang dilakukan anak buahnya disebut sebagai operasi pasar. "Ini cuma pasar murah. Bukan operasi pasar karena skalanya kecil," ujar Spudnik kepada Tempo di kantornya.

Warung dadakan tersebut dibuka sejak 8 Maret lalu sebagai reaksi cepat atas harga bawang yang melejit kala itu. Satu kilogram bawang merah mesti ditebus Rp 55 ribu. Harga di tukang sayur tentu jauh lebih tinggi lagi, di atas Rp 70 ribu. Namun aksi Spudnik dan anak buahnya tak mampu menggoyang harga pasar. Menurut catatan Bank Indonesia, bawang penyumbang terbesar inflasi, mencapai 30,86 persen. Dari 0,19 persen inflasi pada Maret, 0,16 persennya adalah sumbangsih bawang merah.

Kondisi seperti ini selalu berulang setiap tahun. Akhirnya, pada April lalu, Presiden Joko Widodo memberi tugas tambahan kepada Perum Bulog sebagai badan penyangga bawang. Hingga pekan lalu, Bulog telah menyerap 1.040 ton bawang dari belasan titik serapan yang ditunjukkan Kementerian Pertanian. Menurut Spudnik, hingga akhir bulan ini ditargetkan stok Bulog mencapai 4.000 ton.

Operasi pasar pun dilancarkan Bulog mulai 21 Mei lalu. Namun operasi awal itu dinilai gagal. Pemantauan Tim Monitoring Harga Pangan Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat, per 26 Mei pekan lalu, harga masih bertengger di kisaran Rp 42-43 ribu per kilogram. "Batas atas dan batas bawah yang kami targetkan Rp 33-23 ribu per kilogram," kata Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kementerian Koordinator Perekonomian Wilistra Danny, Kamis pekan lalu.

Seorang pedagang bawang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, menyebut Bulog sebagai pemain amatir di komoditas bawang. "Dia masuk ke medan perang yang sama sekali tidak dikuasainya," ujar pedagang yang menolak ditulis namanya itu. Karena kurang pengalaman, Bulog kesulitan melepas stoknya. Untuk masuk ke pasarnya pun tidak bisa.

Hal itu diakui oleh Wahyu, Direktur Pengadaan Bulog. "Pasar bawang ini eksklusif," ucapnya saat dihubungi Tempo, Kamis malam pekan lalu. Menurut Wahyu, ada resistansi para pemain lama. Penyebabnya adalah struktur pasar yang ada sekarang ini sudah sangat mapan.

Bandar-bandar besar itu, kata Wahyu, menguasai pasar induk dan jaringannya telah menggurita hingga ke petani di berbagai daerah. Setiap bandar pasti memiliki petani binaan. Mereka bisa menentukan waktu tanam, kapan dipanen, dan kapan mesti disimpan atau dilepas ke pasar.

Wahyu mengakui petugas Bulog sempat dikerjai pedagang pasar induk. Bawangnya dirisak para bandar dan ditolak dengan alasan "bukan bawang Brebes" alias barang kelas dua. Harganya dijatuhkan jauh di bawah harga penawaran Bulog Rp 24 ribu per kilogram.

Dari dua truk bawang yang dibawa ke pasar, hanya 60 koli atau karung yang bisa dilepas dengan harga Rp 15 ribu per kilogram. Tak laku di pasar, truk itu kembali ke gudang. Karena tak kunjung digelontorkan, bawang yang berhari-hari menumpuk di gudang Bulog divisi regional Jakarta di Kelapa Gading rusak. Rempah bumbu dapur itu berjamur kehitaman. Tak mengherankan jika harganya jatuh. "Kami akui iya, belum bisa (merawatnya)," ujar Wahyu.

Saat ini masih tersisa 300-an ton bawang di gudang Kelapa Gading. Sementara itu, 700 ton yang lain dijual rugi ke gudang Beni Santoso, pedagang besar bawang di Brebes, Jawa Tengah, pekan lalu. "Saya diminta mengolah, menyortir bawang yang rusak," kata Beni kepada Tempo. Ia pun mengaku pernah dimintai konsultasi Bulog mengenai cara mengimpor bawang.

Di antara para pemain bawang, Beni disebut satu dari "sembilan mata pedang" atau sembilan bandar besar penguasa bawang di Brebes. Dia tidak hanya memasok pasar lokal di Jawa, tapi juga antarpulau dan ekspor-impor antarnegara di Asia Tenggara. Beni punya gudang besar di tepi jalan pantai utara Jawa di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Brebes.

Tak aneh jika para pemain utama berada di Brebes. Menurut catatan Kementerian Pertanian, produksi bawang Brebes menyumbang 30 persen total produksi nasional. Para bandar di Brebes juga menguasai hampir 50 persen perdagangan bawang merah nasional. "Jika ada hambatan produksi dan distribusi bawang di Brebes, pasti nasional ikut terimbas," ujar Direktur Sayuran Direktorat Jenderal Hortikultura Yanuardi.

Menurut informasi yang diterima Tempo, di Brebes juga ada sejumlah orang yang biasa memainkan harga bawang. Para pedagang besar itu menyebar orangnya mengamati lahan yang siap panen. Biasanya, ketika tanaman bawang berumur 45 hari, mereka mulai menawar ke petani. Setelah panen dan dikeringkan, bawang lalu dikirim ke pasar induk di Jakarta. Juwari, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia, membenarkan peran orang-orang tersebut memainkan standar harga di pasar.

Ketua Asosiasi Bawang Merah Pasar Kramat Jati, Hasan Khudri, tak membantah kabar bahwa pedagang punya "agen-agen" yang berasal dari kelompok tani. Namun ia menyatakan yang paling berkuasa di pasar bawang adalah para bandar di sentra produksinya. "Mereka kan yang pegang barang. Kalau Jakarta ini hanya market," katanya. "Kalau market tidak mendapat kiriman dari sentra, ya, harga pasti melonjak."

Khudri mengakui pedagang di pasar induk juga punya kelompok petani binaan di berbagai sentra. "Saya punya binaan di Brebes, Kendal, Bima, Cirebon, Nganjuk, Magelang, Majalengka, Enrekang," ujar Khudri, yang saat dihubungi sedang berada di Sembalun, NTB, mencari pasokan baru.

Ihwal harga yang naik, Khudri menilai hal itu wajar sesuai dengan mekanisme pasar, tergantung pasokan dan permintaan. "Setiap pedagang punya strategi kapan harga akan naik dan kapan akan turun. Kami sudah ada prediksi," ucapnya. Strategi dagang itu diteruskan hingga ke petani binaan untuk mengatur jadwal tanamnya.

Selain itu, menurut Khudri, rantai distribusi sebelum sampai konsumen juga sangat panjang, yakni petani, pengepul, tengkulak, bandar besar di pasar induk, bandar kecil (eceran), pasar tersier (centeng), pasar pagi, pasar kaki lima, hingga tukang sayur dorong.

Wahyu mengatakan tak mudah mengintervensi pasar bawang. Jika ingin ikut mengendalikan harga, kata dia, Bulog harus membuat jaringan sendiri dengan masuk dari level petani (hulu). Sedangkan di hilir dengan membangun jaringan retail alternatif, misalnya memperbanyak Toko Tani dan Rumah Pangan.

Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Muhammad Irsyam Faiz (Brebes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus