MUTIARA tidak lagi hanya dihasilkan dari laut di sekitar Maluku. Dari Tanjung Bero di Sumbawa Besar, akhir bulan ini akan dipanen 9.600 mutiara setengah bulat hasil budi daya sejak enam bulan lalu. Mutiara sebesar itu, yang dihasilkan dari 1.200 kerang tua, akan diekspor ke Jepang. Jika segalanya lancar, sesudah ekspor pertama itu, PT Paloma Agung akan melakukan pengiriman kedua November mendatang. Banyak devisa, tentu, bakal didapat perusahaan ini. Kalau harga patokan enam bulan lalu belum berubah, Paloma akan mendapat US$ 3 (hampir Rp 3.400) untuk penjualan mutiara setengah bulat sampal di atas tempat pengiriman. Cukup menguntungkan karena biaya untuk memperoleh mutiara setengah bulat itu paling banyak Rp 2.000. Bagian terbesar pembentuk harga pokok penjualan ini adalah nuclei, butiran kulit kerang air tawar yang harus ditanam sebagai bibit mutiara ke tubuh kerang, seharga Rp 1.000. Kerangnya sendiri dibeli Rp 1.100 setiap ekor dari para penyelam. Pada tingkat awal, setiap perut kerang ini hanya bisa ditanami delapan nuclei. Sekarang, sesudah perusahaan itu mendapat keterampilan berkat bimbingan empat ahli Jepang, 12 nuclei bisa ditanamkan lewat suatu pembedahan hati-hati. Salah menanam, bukan tak mungkin, benda asing ini akan dimuntahkan kembali. Di Kepulauan Ambon dan sekitarnya tingkat pemuntahan nuclei ini bisa mencapai 60%, sedangkan di Sumbawa 30%. Selain itu, kerang bisa juga mati karena kecerobohan daIam pembadahan. Di dalam perut, nuclei tadi kemudian diselimuti cairan kapur karbonat, yang dikeluarkan tubuh kerang secara alamiah untuk menolak benda asing. Pembungkus benda inilah yang akhirnya jadi mutiara, penghias leher kaum wanita. Dari Indonesia, tahun lalu, Jepang membeli 211 kg mutiara bulat seharga 1,35 milyar yen (Rp 6 milyar) dan 251 kg mutiara setengah bulat seharga Rp 99 juta yen (Rp 445 juta). Kenaikan mencolok tampak terjadi untuk pembelian mutiara setengah bulat, dari 57 kg (1982) jadi 220 kg (1983), atau naik menjadi empat kali lipat. Untuk jenis mutiara setengah bulat, Indonesia memang menjadi pengekspor nomor dua, di belakang Australia. Menurut catatan, seluruh impor mutiara setengah bulat Jepang, tahun lalu, mencapai 1.300 kg dengan nilai 486 juta yen (hampir Rp 2,2 milyar). Sedangkan mutiara bulat mencapai 44 ribu kg dengan nilai 15 milyar yen (Rp 67,5 miIyar). Angka-angka ini tampaknya menunjukkan bahwa leher wanita Jepang merupakan pasar cukup potensial bagi mutiara. Nippo Pearl Co., perusahaan mutiara no. 6 di Jepang, selama hampir 30 tahun mempunyai usaha budi daya mutiara di pantai sekitar Kota Broome, Australia. Dari sana setiap tahun bisa dihasilkan 120 kg mutiara. Kerja samanva dengan Paloma dilakukan di Sumbawa Besar, yang diharapkan bisa menghasilkan mutiara 40 kg setahun. Biasanya mutiara dari sekitar Maluku berwarna pink, biru, dan kuning emas, dengan ukuran 11 sampai 16 mm. "Tapi Pulau Sumbawa merupakan lokasi baru bagi pemeliharaan mutiara. Karena itu, saya sulit menduga hasil dan kualitasnya nanti," ujar Akira Nakamura, direktur pelaksana Nippo Pearl. Sebagai pendatang baru dalam budi daya mutiara, Paloma tampaknya tak ingin mengecewakan rekan usahanya. Kerang-kerang tadi dirawatnya dengan baik dalam keranjang yang dikaitkan pada rakit-rakit dan digayuti jangkar. Setiap 10 hari keranjang itu harus selalu dibalik-balik posisinya secara hati-hati. Kotoran yang menempel di kulit kerang juga harus selalu dibersihkan. Kotoran dan lumut bisa mempengaruhi warna mutiaranya kelak. Untuk menghasilkan mutiara bulat, yang harganya tinggi, kerang tadi perlu dipelihara satu setengah tahun. Menurut Vic Suratman direktur Paloma, Sumbawa dipilih karena lautnya bersih dan tidak berombak. Limbah kulit kerang juga ada harganya sebenarnya. Misalnya untuk membuat kancing. Nah, terbukti, budi daya kerang mutiara nilai tambahnya cukup besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini