Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Pelajaran Penting dari Turki  

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA baiknya pemerintah dan otoritas moneter di Indonesia memperhatikan nasib buruk yang tengah menimpa Turki. Ada pelajaran penting dari sana. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa terjeblos ke lubang yang sama. Nilai rupiah bisa rontok dan pada akhirnya ekonomi kita secara keseluruhan ikut terperosok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pangkal soal di Turki adalah kebijakan ekonomi yang cenderung intervensionis, menggerogoti independensi bank sentral. Presiden Turki Recep Tayyip ErdoÄŸan yakin suku bunga tinggi adalah akar masalahnya. Adapun ilmu ekonomi lazimnya percaya bahwa suku bunga tinggi justru merupakan konsekuensi berbagai persoalan. Salah satunya tingginya inflasi. Jika inflasi melonjak, suku bunga harus turut menyesuaikan, bukan sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemahaman ErdoÄŸan yang melawan pakem ini membuatnya menjadi intervensionis, selalu mencampuri kebijakan Türkiye Cumhuriyet Merkez Bankası (TCMB), bank sentral Turki. Bahkan ErdoÄŸan langsung memecat Gubernur TCMB Naci Aqbal pada Sabtu, 20 Maret lalu, karena ia menaikkan suku bunga sebesar 2 persen untuk mengatasi inflasi di Turki yang melonjak hingga melampaui 15 persen per tahun.

Pasar sebetulnya sangat menaruh respek kepada Aqbal. Sejak ErdoÄŸan mengangkat Aqbal sebagai Gubernur TCMB pada November 2020, dia berhasil membuat nilai lira Turki, yang sebelumnya terus merosot, naik signifikan dan relatif stabil. Ia menggunakan pendekatan ekonomi yang lazim untuk melawan laju inflasi yang tengah mencekik ekonomi Turki.

Sebaliknya, ErdoÄŸan tidak dapat menerima kebijakan Aqbal mengenai suku bunga. Akhirnya, persoalannya menjadi ErdoÄŸan versus pasar global. Begitu ErdoÄŸan memecat Aqbal pada akhir pekan, nilai lira Turki langsung terpangkas hingga 14 persen ketika pasar mulai buka pada pekan berikutnya.

Benang merah antara Turki dan Indonesia ada pada masalah independensi bank sentral yang tengah terancam. Di sini, pemerintah memang tidak sedang menekan Bank Indonesia ihwal kebijakan suku bunga sebagaimana yang dilakukan ErdoÄŸan. Namun krisis akibat merebaknya pandemi Covid-19 telah menjadi pintu masuk bagi pemerintah Indonesia untuk meminta bank sentral melakukan berbagai hal, yang dalam persepsi pasar juga dapat diterjemahkan sebagai sebuah intervensi.

Salah satu contohnya adalah program pembagian beban antara pemerintah dan BI dalam menangani defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pandemi membuat belanja pemerintah meledak sehingga menimbulkan defisit anggaran yang luar biasa besar jumlahnya.

Lantaran tak ada lagi alternatif sumber pembiayaan defisit, pemerintah meminta BI membantu menanggung pengeluaran itu. Caranya: BI membeli surat utang pemerintah di pasar perdana, bukan dari pasar keuangan. Dengan kata lain, BI mencetak uang buat menambal defisit anggaran pemerintah. Program ini jelas sangat tidak populer di mata investor asing yang menaruh dana di sini.

Tahun lalu, BI sebetulnya berjanji kebijakan mencetak rupiah untuk membiayai defisit hanya akan berlangsung dalam APBN 2020. Sepanjang tahun lalu, BI telah mengeksekusi pencetakan uang ini hingga Rp 473,42 triliun. Nyatanya, BI tetap melanjutkan pembelian obligasi pemerintah di pasar perdana pada 2021. Sejak awal tahun hingga 16 Maret lalu, BI sudah menambah suntikan dana penambal defisit pemerintah senilai Rp 65 triliun.

Kebijakan pemerintah dan bank sentral di Indonesia memang tidak setara dengan kebijakan ErdoÄŸan di Turki yang terang-terangan menekan TCMB dalam hal suku bunga. Di sini, ada bungkus yang cantik dengan nama pembagian beban antara pemerintah dan BI atau burden sharing untuk pemulihan ekonomi. Namun intinya sama. BI sudah mulai kehilangan independensi. BI harus ikut menanggung beban pemerintah. Pemerintah dan BI sedang menguji batas kesabaran pasar dengan meneruskan kebijakan yang tidak populer ini.

Pelajaran dari Turki sangat jelas. Independensi bank sentral merupakan jangkar penjaga kepercayaan pasar. Jika tak ingin Indonesia senasib dengan Turki yang kehilangan kredibilitas, pemerintah sebaiknya segera mencari jalan untuk mengempiskan defisit anggarannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus