SULIT membayangkan apa yang bergejolak dalam dada E.M. Schoo sewaktu berada di Desa Sulang, Klungkung, Bali, belum lama ini. Nyonya yang menjadi ketua IGGI dan menteri ekonomi pembangunan dan kerja sama Kerajaan Belanda itu lama tak beranjak, menyaksikan keuletan beberapa wanita desa mengayun kaki memutar roda mesin tenun, sementara tangan mereka asyik memainkan benang. Wanita-wanita desa yang ditengoknya itu, semua 24 orang, adalah bekas pencari pasir yang telah diberi keterampilan baru. Ia membeli empat meter kain tenun Rp 26.000. Pusat kerajinan tenun di Sulang itu merupakan proyek Pembinaan Peranan Wanita Industri Kecil (P2W-IK) Kantor Wilayah Perindustrian Bali yang dibantu dengan dana Rp 10 juta dari UNDP (United Nations Devclopment Program, program pembangunan PBB). Proyek, yang dimulai sejak 1982, itu merupakan percontohan yang dinilai berhasil, rupanya, sehingga UNDP menawarkannya kepada lima desa lain lagi di Bali. Sulang terpilih sebagai proyek percontohan karena penduduk disitu sudah lama menenun kain setagen sebagai pekerjaan sambilan. Ikat pinggang wanita ukuran 10 cm x 3 m itu mereka kerjakan dengan alat tenun bukan mesin (ATBM), hasilnya dijual hanya Rp 300 per helai. Sedangkan dengan alat tenun mesin (ATM), para wanita tadi mampu menghasilkan kain sampai dua meter sehari, dengan upah Rp 600 per meter. Bahan baku dan pemasaran tak perlu dipikirkan karena ada pengusaha yang menjadi bapak angkat usaha kerajinan itu. Hasil karya mereka ada yang bermotif riris (garis segitiga), bintang di kurung, dan papalan. Nyonya Schoo, yang sempat terkesan dengan kerajinan para wanita tadi, menawarkan akan mencarikan pasaran di Belanda. Tapi koordinator proyek, Tjokorde Rai Pemayun, baru bisa tersenyum bangga. Dengan 24 pekerja dan 22 mesin tenun itu, produksi mereka baru 990 meter per bulan. "Terlalu kecil untuk bicara ekspor," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini