Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan mengubah komposisi saham BUMN di konsorsium pengendali kereta cepat.
KAI akan memiliki saham terbesar, menggeser posisi WIKA dalam proyek kereta cepat.
Pergeseran saham BUMN dinilai tidak akan berpengaruh terhadap proyek kereta cepat.
JAKARTA -- Pemerintah mengkaji rencana perubahan komposisi kepemilikan saham badan usaha milik negara (BUMN) yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). PSBI merupakan pemegang saham terbesar PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber Tempo di pemerintahan menyatakan perubahan komposisi saham akan terjadi pada PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI. WIKA, yang saat ini menjadi pemegang saham mayoritas PSBI, bakal bertukar posisi dengan KAI menjelang fase pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung. “KAI akan menjadi pemegang saham mayoritas PSBI,” kata sumber tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan struktur pemilikan saham itu merupakan bentuk persiapan menyambut pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung yang ditargetkan bakal terwujud pada 2022. Tempo mencoba meminta konfirmasi hal itu kepada manajemen WIKA, KAI, dan KCIC, tapi tak mendapat respons. Demikian pula dengan Kementerian BUMN.
Proyek pengerjaan jalur kereta cepat Jakarta Bandung (KCIB) di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 12 April 2021. TEMPO/Prima Mulia.
Saat ini WIKA memegang saham terbesar PSBI, yaitu 38 persen, dan KAI memiliki 25 persen saham. Sedangkan dua BUMN lainnya, yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT Jasa Marga Tbk, masing-masing memegang saham 25 dan 12 persen. PSBI menguasai 60 persen saham KCIC. Sedangkan 40 persen sisanya dimiliki Beijing Yawan HSR Co Ltd.
Sebelumnya, Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, meminta pemerintah memangkas porsi kepemilikan saham Indonesia dalam konsorsium KCIC. Usul tersebut untuk merespons pembengkakan biaya kereta cepat yang ditengarai bakal mengganggu kinerja BUMN yang terlibat dalam konsorsium tersebut. “Kami sedang melakukan negosiasi dengan pihak Cina agar porsi Indonesia ini bisa lebih kecil dari 60 persen," kata Agung. "Dengan begitu, cost overrun yang terjadi sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap apa yang sudah kita setorkan."
Sebagai pemilik saham PSBI terbesar, jika ada pembengkakan biaya dan negosiasi tidak membuahkan hasil, WIKA bakal menanggung beban yang lebih besar ketimbang perusahaan BUMN lainnya yang terlibat dalam konsorsium tersebut.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung semula membutuhkan biaya sekitar US$ 6,071 miliar. Tapi kini biaya tersebut diduga membengkak sekitar 23 persen dari nilai semula atau setara dengan Rp 20 triliun. Pembengkakan tersebut terjadi lantaran munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi pada awal proyek. Berdasarkan perjanjian, melarnya biaya ini sepenuhnya ditanggung konsorsium.
Menurut Corporate Secretary PT KCIC, Mirza Soraya, dalam proses pembangunan, terjadi banyak hal yang tidak terduga di lapangan, sehingga menambah beban biaya, khususnya dalam aspek pembebasan lahan dan utilitas.
Pemindahan utilitas yang dimaksudkan, misalnya pemindahan gardu listrik, pipa air, kabel fiber, ataupun jaringan lain yang merupakan utilitas umum untuk menunjang pelayanan masyarakat. "Ada proses yang cukup panjang yang harus ditempuh untuk bisa membebaskan lahan dengan utilitas itu, dan ini memakan biaya," ujar Mirza.
Maket kereta cepat di proyek Tunnel Section 1 Kereta Cepat Jakarta Bandung di Halim, Jakarta, 2018. TEMPO/Tony Hartawan.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bidang Perkeretaapian, Aditya Dwi Laksana, menuturkan pergeseran saham WIKA ke KAI cenderung wajar dilakukan dan tidak berpotensi memicu permasalahan baru. Pasalnya, perubahan komposisi saham dilakukan secara internal antar-perusahaan pelat merah.
Namun, kata Aditya, masalah besar berpotensi terjadi jika perubahan komposisi saham terjadi antara PSBI dan konsorsium Cina, sehingga kepemilikan nasional menjadi di bawah 60 persen atau bahkan minoritas. “Ini tentu berdampak pada kemandirian proyek strategis nasional kita dalam proyek kereta cepat,” ucapnya. Pemerintah diharapkan dapat melakukan perhitungan pelbagai risiko dengan cermat serta melakukan negosiasi secara optimal untuk mengatasi persoalan beban keuangan proyek kereta cepat.
Sementara itu, KCIC terus berupaya membenahi berbagai permasalahan dalam pengerjaan proyek kereta berkecepatan 350 kilometer per jam tersebut. Salah satunya melalui perombakan manajemen yang dilakukan pada pertengahan Maret lalu.
KCIC kini dinakhodai Dwiyana Slamet Riyadi yang sebelumnya memimpin PT Reska Multi Usaha, anak usaha PT KAI. Adapun Presiden Direktur KCIC sebelumnya, Chandra Dwiputra, menjadi salah satu direktur KCIC. Tiga kursi anggota direksi diisi oleh Direktur Utama PT Light Rail Train, Allan Tandiono, serta dua perwakilan Cina dalam kerja sama kereta cepat, masing-masing Zhang Chao dan Xiao Song Xin.
CAESAR AKBAR | YOHANES PASKALIS | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo