Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hanya tersisa waktu kurang satu bulan sebelum penerapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Rencana penerapan PPN 12 persen menuai banyak penolakan, namun belum ada kepastian kebijakan itu bakal tetap dijalankan atau dibatalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kemungkinan penundaan implementasi kenaikan pajak masih akan dibicarakan. “Nanti akan dibahas,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya Airlangga sempat menyatakan bahwa pemerintah hanya mengikuti keputusan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat soal kenaikan PPN. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Hotel Mulia, Jakarta, Ahad, 1 Desember 2024.
“Jangan tanya pemerintah (soal kenaikan PPN), tanya Komisi XI, karena yang memutuskan Komisi XI. Kalau pemerintah, ikut keputusan Komisi XI,” ujar Airlangga.
Pernyataan itu merespons permintaan Richard Effendy Siregar, salah seorang Anggota Luar Biasa (ALB) Kadin, yang meminta pemerintah tak hanya membatalkan kenaikan PPN, tapi juga menurunkannnya. Sebab, menurut dia, kondisi perekomian saat ini sedang tak baik-baik saja.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mengatakan keputusan kenaikan tarif pajak berada di tangan pemerintah. “Kita serahkan sepenuhnya itu menjadi wilayah pemerintah,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah bisa menaikkan PPN bertahap satu persen. Kenaikan pajak ini sempat terjadi pada April 2022 menjadi 11 persen dan akan naik lagi jadi 12 persen pada 2025. Pajak pertambahan nilai dibebankan kepada konsumen sehingga penerapannya akan menyebabkan sejumlah harga barang dan jasa ikut naik.
Misbakhun membenarkan kondisi saat ini berbeda dengan kenaikan pajak yang terjadi pada April 2022. Saat ini daya beli sedang menurun sehingga pemerintah perlu memutuskan meski Undang-Undang itu sudah disepakati. "Tinggal pemerintah, apakah kemudian men-consider, kondisi daya beli yang menurun penurunan kelas menengah yang hampir 10 juta,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan kenaikan tarif PPN. Khususnya di tengah kondisi ekonomi saat ini dan adanya penurunan daya beli.
Masih ada waktu untuk membatalkan sebelum kenaikan tarif pajak resmi berlaku pada Januari 2025. “Ini kondisinya urgen mendesak, karena mengancam perekonomian, keluarkan saja Perpu merevisi, mengeluarkan kenaikan tarif PPN 12 persen di 2025,” ujarnya.
Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini