Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berulangnya praktik korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah menimbulkan lonjakan kerugian negara.
Tak hanya merugikan negara, korupsi membuat masyarakat tak bisa mendapat manfaat optimal dari fasilitas publik.
Penyelewengan pengadaan barang dan jasa karena adanya kesempatan, lemahnya regulasi, hingga nihil transparansi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti peningkatan nilai kerugian negara akibat tindak korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari ICW, Wana Alamsyah, menyebutkan, pada periode 2021-2023, tercatat nilai kerugian negara akibat praktik itu mencapai Rp 43,33 triliun atau melonjak dibanding pada 2016-2020 yang sebesar Rp 5,3 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada periode 2021-2023 tercatat ada 798 pengadaan barang dan jasa pemerintah yang terindikasi dikorupsi. Sedangkan pada 2016-2020 terdapat 1.093 kasus serupa.
Wana menilai sistem katalog elektronik ini belum dimanfaatkan secara optimal sehingga memicu terjadinya korupsi. Contohnya, dalam proses perencanaan pengadaan, kata dia, ada upaya mengutak-atik, merancang pemenang, dan menggelembungkan harga.
“Hingga saat ini pemerintah masih lambat dalam mencegah di proses perencanaan,” kata Wana pada Tempo, Jumat, 15 November 2024.
Praktik korupsi yang terus terjadi tidak hanya merugikan negara, tapi juga menghambat warga negara mendapat manfaat optimal dari fasilitas publik yang dibangun. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya, dapat menyebabkan hasil pembangunan tidak maksimal. Bahkan, hal ini bisa menimbulkan korban jiwa terjadi kecelakaan akibat kualitas pembangunan yang buruk. "Misalnya, kasus SDN Gentong, Pasuruan, yang roboh akibat spesifikasi yang digunakan tidak sesuai."
Hal senada disampaikan peneliti dari Transparency International Indonesia, Agus Sarwono. Dia mengatakan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa tak hanya merugikan negara, tapi juga masyarakat. Tak sedikit proyek berkualitas buruk yang akhirnya mangkrak di berbagai daerah.
Kerugian Negara Akibat Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Kerugian Negara Akibat Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Masalah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah kembali disorot setelah adanya operasi tangkap tangan (OTT) di Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 6 Oktober 2024. Dalam kasus dugaan suap pada pengadaan barang dan jasa itu, KPK menetapkan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor alias Paman Birin sebagai tersangka. Saat ini status tersangka orang nomor satu di pemerintahan provinsi itu telah gugur karena memenangi gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam pengadaan barang dan jasa senilai Rp 64 miliar di Kalsel itu, KPK menemukan beberapa modus para tersangka, dari membocorkan harga perkiraan sendiri (HPS), merekayasa proses pemilihan e-katalog, menggunakan konsultan perencanaan yang terafiliasi, hingga melaksanakan pengerjaan proyek sebelum adanya kontrak.
Sementara itu, Wana mengatakan pola korupsi di sektor pengadaan tak banyak berubah, yaitu mark-up, proyek fiktif, suap, dan konflik kepentingan dalam belanja pengadaan. Pola ini, kata Wana, bertransformasi ketika pemerintah menggencarkan penggunaan e-purchasing dan e-katalog.
Pada mulanya, para pelaku usaha menjalin komunikasi dengan panitia pengadaan untuk mengatur harga di e-katalog. Kemudian, para pelaku meminta biaya agar panitia pengadaan memenangkan penyedia barang. Setelah terjadi transaksi, barang yang telah dimenangi pelaku pun lenyap karena sudah ada kesepakatan sebelumnya.
“Setelahnya, barang tersebut akan hilang dari etalase produk,” kata Wana.
Pola lain juga dibaca oleh Agus Sarwono. Dia menyebutkan, dalam korupsi pengadaan, penyelenggara negara atau pemerintah bisa mengkondisikan para peserta tender agar tak memenuhi syarat menjalankan proyek. Kondisi ini hanya akan menguntungkan para peserta tender yang telah diatur untuk menang sehingga otomatis menyingkirkan pelaku usaha lain.
“Banyak peserta tender yang seharusnya layak malah menjadi tersingkir karena dikondisikan seperti itu,” kata Agus.
Selain itu, Agus menyebutkan pejabat publik kerap menentukan pemenang tender sesuai dengan kedekatan personal atau kepentingan politik. Akibatnya, modus, seperti mark-up harga, manipulasi kebutuhan warga, kick-back, suap, dan gratifikasi, sering terjadi. “Artinya, konflik kepentingan dalam pengadaan sangat tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan biaya politik yang tinggi,” tuturnya.
Soal ini, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyayangkan bahwa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) belum bisa segera memblokir nomor induk kependudukan (NIK) pengusaha yang terlibat seperti yang diminta instansinya sejak dua tahun lalu.
Tanpa adanya pemblokiran NIK, menurut dia, praktik korupsi akan terus terjadi. “Harus ada yang mengawasi secara serius. Yang punya wewenang LKPP, tapi lembaganya lemah,” ucap Pahala.
Apalagi korupsi di sektor pengadaan kini menempati posisi kedua setelah penyuapan. Selama periode 2004-2024, pada sektor pengadaan barang dan jasa tercatat sebanyak 369 kasus korupsi, sedangkan penyuapan ada 1.012 kasus.
Kerugian Negara Akibat Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Pahala juga menunjukkan temuan KPK soal penyelewengan pengadaan di katalog elektronik. Dalam pengadaan laptop, misalnya, terjadi selisih harga yang signifikan antara harga di situs web katalog dan harga di beberapa platform e-commerce. Berdasarkan data yang dilihat Tempo, terdapat margin sebesar Rp 26,2 juta untuk pengadaan laptop model Cruiser 20 15V-16.
Laptop model ini di platform e-commerce dijual dengan harga rata-rata Rp 16,5 juta, tapi di katalog elektronik dibanderol sebesar Rp 23,6 juta. Dari 11 pengadaan laptop dalam data tersebut, rata-rata terdapat selisih harga Rp 18-22 juta.
Sementara itu, Direktur Perencanaan Transformasi, Pemantauan, dan Evaluasi Pengadaan LKPP Fadli Arif tak memungkiri bahwa dalam proses pengadaan barang dan jasa masih ditemui berbagai penyelewengan dengan pola berulang. Bahkan, ia menyebutkan, “Setan itu paling banyak berkumpul di pasar, termasuk pasar pengadaan."
Menurut catatan LKPP, penyelewengan dalam pengadaan barang dan jasa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adanya sejumlah kesempatan yang dimanfaatkan, lemahnya regulasi, kurangnya persaingan, serta minimnya transparansi. Padahal transparansi seharusnya menjadi kunci agar proses pengadaan efisien dan efektif. “Yang bisa kami lakukan adalah membuat proses ini setransparan mungkin,” katanya.
Ia menambahkan, LKPP juga mengambil langkah mengurangi impor sebagai bagian dari upaya mencegah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Apalagi uang hasil korupsi dari pengadaan yang mengendap dapat berdampak negatif bagi perekonomian. “Korupsi tidak hanya jahat, tapi memang dampak ekonominya juga besar,” ucapnya.
Hingga November 2024, ada 10.616.144 produk yang telah tayang di e-katalog. Jumlah itu terdiri atas produk katalog nasional 1.452.360, lokal 7.284,311, dan sektoral 1.879.740. Secara nasional, realisasi belanja pengadaan kementerian/lembaga/pemerintah daerah telah mencapai Rp 617 miliar atau 53,34 persen dari total anggaran Rp 1,158 triliun.
Adapun sepanjang 2023, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menemukan ada transaksi yang tidak wajar dari 64.747 paket senilai Rp 3,9 triliun dalam katalog elektronik. Ketidakwajaran itu terjadi karena proses persetujuan paket berlangsung sangat cepat, hanya butuh waktu 30 menit setelah paket dibuat.
Selain itu, Stranas PK menemukan ada 65.947 paket pengadaan senilai Rp 2,5 triliun yang diproses dalam waktu kurang dari 24 jam sejak penyedia pertama kali menayangkan produknya. Sebanyak 3.108 transaksi pengadaan katalog elektronik sebesar Rp 328 miliar juga teridentifikasi mengalami kenaikan harga setidaknya 20 persen tepat sebelum ditransaksikan. Ada pula 268 PPK transaksi ke penyedia yang sama berulang kali dengan rasio lebih dari 30 kali.
Temuan itu berasal dari hasil pengawasan katalog elektronik bernama e-audit yang diluncurkan oleh Stranas PK, KPK, LKPP, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Maret 2024.
Sistem e-audit ini pada awalnya dirancang untuk 44 unsur kementerian/lembaga/pemerintah daerah penanggung jawab agar dalam proses pengadaan barang dan jasa bisa diawasi. Dalam laporan pelaksanaan Stranas PK Triwulan VI Tahun 2023-2024 hingga Juni, baru 27 pengguna yang memanfaatkan sistem ini. Dari jumlah itu, hanya 50 persen atau 22 kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang telah menggunakannya.
Sekretaris Utama LKPP Iwan Herniwan mengatakan lembaganya juga akan mengembangkan e-audit untuk mengawasi para pelaku usaha dan pemerintah yang terindikasi melanggar ketentuan. Dia menyebutkan LKPP akan menurunkan produksi ketika harga di e-katalog tak wajar.
Dia mencontohkan, ketika pelaku usaha mengunggah produk pada pukul 10.30, tapi sudah terjadi transaksi semenit kemudian, fenomena ini janggal. Karena itu, e-audit akan merekam seluruh transaksi dan melihat siapa saja pelaku dalam proses tersebut. “Kami juga ingin untuk mencegah penyimpangan, moral hazard. Keduanya harus dituntut integritasnya,” tutur Iwan.
Sementara itu, Analis Kebijakan Muda LKPP Devi Yanurida mengakui kewenangan LKPP terbatas untuk menghukum para pelaku ketika terindikasi melanggar. Sanksi dari LKPP hanya surat peringatan untuk pelanggaran pertama, larangan berjualan enam bulan untuk pelanggaran kedua, dan larangan berjualan selama beberapa tahun untuk peringatan ketiga (SP 3).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo