Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kini sudah saatnya pemerintah serius membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Apalagi pemerintah akan membentuk Badan Pengawas Tenaga Nuklir, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pembentukan ini menunjukkan komitmen serius Pemerintahaan Joko Widodo dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia," ujarnya dalam keterangan rilis, Rabu 12 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengungkapkan ada tiga syarat yang mesti dipenuhi oleh pemerintah agar pengembangan PLTN bisa berjalan dengan lancar di Indonesia. Pertama, presiden harus memiliki komitmen yang kuat untuk merealisasikan PLTN. Paling tidak, kata dia, komitmen itu serupa dengan komitmen Presiden Joko Widodo dalam membangun jalan tol.
Syarat yang kedua, menurut Fahmy, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus merealisasikan komitmen Joko Widodo dengan mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.
"Harus diubah hingga menjadikan energi nuklir sebagai energi prioritas utama," kata Fahmy.
Kemudian syarat yang terakhir, Fahmy menilai pemerintah perlu melakukan kampanye publik untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat (public acceptances rate) terhadap penggunaan PLTN.
Menurut Fahmy, pengembangan PLTN menjadi keniscayaan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Sebab, PLTN merupakan salah satu energi bersih yang selaras dengan transisi energi untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
Untuk mencapai mencapai target nol emisi karbon, ucapnya, seluruh pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus menggunakan Energi Terbarukan (EBT) 100 persen. Adapun saat ini, lebih dari 57 persen pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih menggunakan energi kotor batubara.
Fahmy menuturkan PLTN dapat mengatasi kelemahan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Pasalnya, PLTN yang kedua pembangkit listrik itu dapat memasok listrik secara penuh setiap waktu (intermittent). Terlebih pasokan dari PLTS menjadi berkurang pada saat cuaca mendung dan hujan.
Sedangkan pasokan dari PLTB ditentukan tinggi-rendahnya tiupan angin. Sementara PLTN dapat memasok listrik setiap saat secara penuh.
Di sisi lain, Fahmy menilai tingkat penerimaan masyaarakat terhadap PLTN kini masih sangat rendah. Salah satunya faktor penyebabnya adalah trauma kecelakaan reaktor nuklir di beberapa negara, di antaranya Jepang, Rusia dan Ukrania. Namun, menurut dia, kemajuan teknologi reaktor nuklir terbaru yang digunakan oleh Rostov Rusia dapat mencegah terjadinya kecelakaan nuklir hingga mencapai nol persen atau zero accident.
Tanpa mengembangkan PLTN, tuturnya, akan sangat sulit bagi PLN untuk mencapai 100 persen EBT Pembangkit Listrik, yang menjadi syarat untuk mencapai zero carbon pada 2060. "Untuk mencapai zero carbon tersebut, pada saat inilah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk mulai mengembangkan energi nuklir bagi pembangkit listrik," ucapnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini