Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengemudi Ojek Online Gelar Aksi Matikan Aplikasi, Berikut Sejarah Ojol di Indonesia

Para pengemudi ojek online (ojol), taksi online, hingga kurir menggelar demo dan aksi off bid atau mematikan aplikasi massal.

17 Februari 2025 | 19.30 WIB

Sejumlah pengemudi ojek online menunggu penumpang di Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Sejumlah pengemudi ojek online menunggu penumpang di Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, Senin, 17 Februari 2025, para pengemudi ojek online (ojol), taksi online (taksol), hingga kurir menggelar demo dan aksi off bid atau mematikan aplikasi massal. Hal itu dilakukan serikat pengemudi online guna memprotes kembali hubungan kerja kemitraan dengan perusahaan penyedia aplikasi layanan transportasi daring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menganggap sistem kemitraan dengan perusahaan gagal memberi kepastian hukum bagi pengemudi sebagai pekerja buntut fleksibilitas dalam kemitraan. Fleksibilitas tersebut disebut sebagai dalih platform untuk menghindar dari kewajiban membayar tunjangan hari raya (THR) dan hak-hak pekerja kepada mitra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Fleksibilitas dalam hubungan kemitraan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Sebabnya, setiap platform berlomba untuk menerapkan tarif murah, sehingga yang menjadi korban adalah pengemudi yang hanya mengantongi sebagian dari tarif tersebut,” kata Ketua SPAI Lily Pujiati melalui keterangan tertulis pada Senin, 17 Februari 2025.

Adapun berbagai insentif yang diberikan platform untuk pengemudi juga Lily rasa belum berhasil menyejahterakan para ojol. Karena, kata dia, itu semua ternyata memaksa pengemudi untuk terus-menerus bekerja tanpa istirahat melebihi ketentuan jam kerja 8 jam. Ia mengklaim masih ada pengemudi ojol yang terpaksa bekerja 17 jam bahkan lebih.

“Alasannya, pendapatan mereka dihitung per pesanan di aplikasi sehingga harus bekerja ekstra agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Sejarah ojol di Indonesia

Perusahaan ride hailing alias angkutan panggilan berbasis online, belakangan lebih dikenal dengan sebutan ojol maupun taksol, di Indonesia mulai dikenal sejak awal 2015 . Pionirnya antara lain Gojek yang didirikan pada 2009 oleh Nadiem Makarim dkk. Sebelumnya telah muncul Uber.

Usaha ini awalnya diperkenalkan pada 2010 dengan hanya memiliki 20 ojek dengan 1 call center. Setelah digitalisasi mulai meluas, Gojek kemudian melakukan ekspansi bisnis via aplikasi. Seiring waktu, banyak penyedia ojol maupun taksol lalu bermunculan. Menjadi pesaing sekaligus alternatif selain Gojek.

Gojek saat ini menjadi salah satu penyedia jasa transportasi online terpopuler di Indonesia. Sebagai perintis, tak jarang masyarakat menyebut ojol dengan istilah Gojek. Selain di Indonesia Gojek juga beroperasi di Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina.

Selain menyediakan jasa transportasi seperti GoRide, GoCar dan GoBlueBird, Gojek juga memiliki sejumlah fitur lainnya, seperti GoFood untuk pesan antar makanan, GoSend untuk mengirim barang, dan GoBox untuk mengangkut barang berukuran besar. Seiring berjalannya waktu, aplikasi ini juga menyediakan beragam layanan lainnya.

Setelah Gojek, Grab yang sebelumnya sudah beroperasi di Malaysia dan Singapura, turut memberikan layanan ojol di Indonesia. Bermula dari layanan transportasi, Grab berkembang menyediakan layanan lain seperti pengantaran makanan dan pembayaran yang dapat diakses lewat aplikasi. Grab didirikan pada 2012 oleh Anthony Tan. Saat ini Grab beroperasi di sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Maxim kemudian menyusul Gojek dan Grab yang telah lebih dulu populer. Perusahaan layanan transportasi online asal Rusia ini mulai beroperasi di Indonesia pada 2018. Mengutip dari laman resmi Maxim, perusahaan ini didirikan di Kota Chardinsk Rusia, pada 2003. Maxim dirintis oleh sejumlah insinyur Rusia dari sebuah pelayanan taksi kecil. Maxim menjadi opsi karena mematok harga lebih murah.

Rizki Dewi Ayu dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus