Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempertanyakan munculnya keluhan bertubi dari pengusaha angkutan darat berkaitan dengan penerapan biosolar dengan kandungan biofuel 20 persen atau B20. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, mengatakan perluasan mandatory (kewajiban) B20 yang diperluas ke sektor tambang tak seharusnya diprotes lagi oleh sektor otomotif dan transportasi. "Ini program nasional dan sudah dikaji bertahap. Semua pihak harus siap," ujar Rida di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akhirnya meresmikan perluasan mandatory biosolar, kemarin. Melalui para pemasok yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, 2,9 juta kiloliter solar akan disalurkan ke masyarakat secara bertahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ini diproyeksi meningkatkan persentase penggunaan energi baru terbarukan hingga 15 persen dalam indeks konsumsi bahan bakar minyak. Namun tujuan meredam impor migas ini sempat menuai reaksi pengusaha angkutan. Industri angkutan menilai perlunya penyesuaian ulang penggunaan biosolar B20 dengan kendaraan yang ada, salah satunya karena potensi penyumbatan pada saringan bahan bakar.
Menurut Rida, B20 sudah diterapkan sejak 2016. Meski masih dipakai untuk public service obligation atau kewajiban pelayanan publik sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, kata dia, implementasinya sudah menyasar angkutan berat.
"Dulu uji teknis oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga ada, sampai 40 ribu kilometer di Sumatera dan Jawa. Pengusaha truk ikut, kenapa protes sekarang?" kata Rida.
Penerapan B20 berlaku untuk peralatan tempur TNI, termasuk pesawat tempur militer. Namun, ujar Rida, penggunaannya masih akan dievaluasi oleh pihak militer selama dua bulan ke depan. "Untuk TNI, kalau ternyata tak cocok, ya tinggal diberi relaksasi, tapi (untuk) publik kan sudah berjalan."
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengklaim pihaknya sudah didukung oleh berbagai pelaku transportasi terkait dengan B20, baik dari sektor perkeretaapian maupun kapal. "Sudah kami kunyah persoalan ini selama dua tahun tak bermasalah."
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, mengaku akan melanjutkan diskusi formal dengan pengusaha truk perihal penggunaan B20. Biodiesel itu, kata dia, sempat diuji di Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor di Bekasi. "Berbagai mobil lolos dari sisi emisi, tapi kami memang belum analisis untuk jenis truk," ucapnya saat dihubungi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, membenarkan bahwa pihaknya masih ragu akan implementasi B20. Potensi kadar air berlebih dikhawatirkan merusak mesin truk. "Kami lihat dulu pengaruhnya. Kalau mobil baru kan ada garansi. Truk lama susah, apalagi kalau harus pasang alat pemisah air (water separator) lagi," katanya kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, 60 persen truk yang beroperasi saat ini berumur 20 tahun. Dari 6,5 juta unit yang tercatat beroperasi, kata dia, ada sekitar 40 ribu truk yang dipakai di perlintasan logistik Pelabuhan Tanjung Priok. "Semoga (B20) tak jadi masalah. Kalau tidak, beban operasional bisa bertambah."
Wakil Ketua Aptrindo Bidang Logistik, Kyatmaja Lookman, pun sebelumnya menyebut program B20 berisiko membuat mesin angkutan berat lebih cepat kotor dan menjadi rentan perawatan. Biodiesel pun dianggap membuat pengeluaran untuk truk lebih boros 2,3 persen.
Presiden Direktur PT Hyundai Mobil Indonesia, Mukiat Sutikno, mengatakan pihaknya baru akan mengevaluasi dampak B20 pada mesin kendaraan. Jika berdampak negatif, kata dia, harus ada penyesuaian ulang pada produk, seperti penambahan filter. "Interval servis kendaraan juga mungkin dipersingkat, bisa berdampak ke konsumen," ucapnya. "Kami belum coba karena, kalau dicampur sendiri, mungkin berbeda dengan takaran (B20) versi pemerintah." YOHANES PASKALIS PAE DALE | CAESAR AKBAR | ANDI IBNU
Hemat Devisa US$ 2,3 Miliar
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memastikan perluasan mandatory (wajib) solar dengan kandungan biofuel 20 persen atau B20 membantu keuangan negara. Dia menghitung penyaluran massal B20 bisa menghemat devisa hingga US$ 2,3 miliar atau setara dengan Rp 29 triliun, selama empat bulan. "Itu dampak nomor satu karena solar dicampur dengan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang berarti kebutuhan impornya berkurang," kata dia kemarin.
Selain devisa, Darmin menilai penerapan wajib B20 bisa mengurangi potensi penumpukan stok CPO berlebih di dalam negeri. "Stok banyak," ujarnya.
Menurut dia, harga jual B20 per liter untuk PSO tak akan berbeda dari mekanisme yang telah berlaku saat ini karena adanya penyesuaian dengan nilai solar dan biofuel. Adapun selisih Rp 500 per liter karena membeli CPO menjadi tanggungan pengelola dana perkebunan pemerintah (BPDP). "Tak ada perbedaan. Harganya ya yang sekarang dilihat di SPBU itu," ucap Darmin. "Kalau harga CPO naik, BPDP bayarnya lebih banyak. Sementara kalau solar yang naik, subsidi pemerintah lebih banyak."
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, memastikan pihaknya mengawasi perluasan B20. Pencampuran solar akan melibatkan badan usaha bahan bakar minyak penyedia serta badan usaha bahan bakar nabati yang memasok fatty acid methyl esters. "Kami akan silent audit saja, memeriksa apakah produk sesuai dengan standar, termasuk soal penyimpanan dan penyalurannya," kata dia, kemarin. YOHANES PASKALIS PAE DALE | CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo