Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha perhotelan mengklaim lebih mempedulikan nasib para wisatawan ketimbang penyedia akomodasi online seperti Airbnb. "Hotel ataupun agen resmi pasti menjamin keamanan dan kenyamanan penggunanya," kata Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Rainier Daulay, Rabu, 29 November 2017, di Hotel Ibis, Harmoni, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rainer lalu mengambil contoh kasus erupsi Gunung Agung di Bali yang turut membuat wisatawan dan pengelola akomodasi khawatir. Tapi, dengan mengedepankan pelayanan yang prima, pengusaha hotel harus menjamin keamanan para wisatawan. "Kalau orang pesan lewat online, misalnya Airbnb, siapa yang mengurus?" ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan hotel yang memang berfokus pada bisnis tersebut, menurut Rainer, Airbnb cenderung lebih bebas dalam menentukan standar pelayanan. "Malah tempat yang disewakan cenderung seadanya, misalnya ada kamar kos atau apartemen yang tidak ditempati."
Rainer juga mempermasalahkan keberadaan Airbnb yang dinilai turut memukul industri perhotelan di Tanah Air. Pengusaha hotel dengan kualitas pelayanan di bawah bintang 3 disebut paling dirugikan. "Karena perusahaan online menawarkan properti berkualitas sama dengan harga yang bisa sampai setengahnya," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukmandani meminta pemerintah membekukan bisnis penyewaan kamar nonhotel berbasis aplikasi seperti Airbnb karena terbukti menggerus okupansi hotel. Meski tidak mempermasalahkan konsep bisnis sharing economy seperti yang diusung Airbnb, harus ada regulasi yang adil.
Lebih jauh, Rainer menyebutkan kunci usaha perhotelan untuk bisa bertahan di tengah gempuran digitalisasi hanyalah servis dan inovasi. "Kuncinya servis, servis, servis, juga inovasi, misalnya kami yang menyediakan kamar tematik," tuturnya.
Menurut Rainer, kehadiran perusahaan-perusahaan aplikasi penginapan berbasis digital tentu menambah sesak persaingan bisnis. "Secara umum sudah oversupply, ditambah Airbnb makin over," katanya. Dampaknya, ucap dia, terjadi perang harga di antara para pebisnis. Dia lantas mengambil contoh Bali yang telah dihamburi berbagai penginapan, baik vila maupun hotel. "Bali bakal menjadi world cheapest pariwisata di dunia."
Namun dia yakin, dengan meningkatkan servis kepada para pelancong, meski tidak ikut menurunkan harga, perusahaannya bisa bertahan dari gempuran itu. "Contohnya hotel kami tidak mau menurunkan harga. Sebab, kalau sudah diturunkan, akan susah kembali untuk naik," tuturnya.