Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan imbauan Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) agar pengusaha hiburan jenis diskotek dan semacamnya tetap membayar pajak hiburan dengan tarif lama merupakan langkah tidak tepat. Alih-alih membayar dengan tarif lama, kata Prianto, pengusaha hiburan lebih baik mengajukan pengurangan pajak kepada bupati, walikota, atau gubernur jika peraturan daerah mengenai kenaikan tarif pajak sudah terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dengan asumsi belum ada perubahan UU HKPD (Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) karena putusan MK, walikota/bupati dan DPRD dapat sepakat untuk tidak menerapkan pajak hiburan,” ujar Prianto kepada Tempo, dikutip pada Rabu, 14 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab menurut Priyanto, penerapan tarif pajak tersebut harus didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten, kota atau provinsi. Oleh karena itu, tanggung jawab penuh mengenai pajak hiburan sebenarnya ada di tangan bupati, walikota, dan gubernur bersama legistlatifnya. Dengan demikian, dengan asumsi belum adanya perubahan pada UU HKPD karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kepala daerah dan legislatifnya dapat sepakat untuk tidak menerapkan pajak hiburan.
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengeluarkan Surat Edaran (SE) resmi pada Senin, 12 Februari 2024. Melalui SE tersebut, GIPI mengimbau agar pengusaha jasa hiburan tetap membayar pajak hiburan dengan tarif lama. Keputusan tersebut, menurut GIPI, diambil untuk menjaga kelangsungan usaha, karena kenaikan tarif pajak berdampak negatif pada jumlah konsumen yang datang.
“DPP GlPl menyampaikan sikap bahwa selama menunggu putusan Uji Materil di Mahkamah Konstitusi,maka pengusaha jasa hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) membayar pajak hiburan dengan tarif lama,” tulis DPP GIPI dalam SE resminya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinven), Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengungkapkan rencana pemerintah untuk meminta sejumlah daerah memberikan insentif pajak hiburan sebagai respons terhadap kontroversi kenaikan tarif pajak tersebut.
Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), pun merekomendasikan kepada para kepala daerah agar memberikan insentif fiskal untuk meringankan beban pajak hiburan tertentu, dengan batas waktu paling lambat pertengahan Februari 2024. Sandiaga turut mengajak Pemda untuk bersikap hati-hati dalam menerapkan tarif pajak hiburan yang baru, sambil menunggu hasil uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD.
Sebelumnya, GIPI telah mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 7 Februari 2024. Pasal tersebut menetapkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dengan rentang tarif antara 40 persen hingga 75 persen. Sejumlah pemerintah daerah telah menetapkan tarif pajak baru diskotek tersebut hingga mencapai 40 persen. Di antaranya DKI Jakarta dan Badung, Bali. Namun penetapan tarif baru itu menimbulkan polemik.
GIPI berharap agar MK mencabut Pasal 58 Ayat (2). Mereka berharap tarif PBJT untuk jasa hiburan diskotek dan sebagainya disetarakan menjadi 0 hingga 10 persen. Mereka menganggap pasal 58 ayat 2 adalah bentuk diskriminasi pajak usaha jasa kesenian dan hiburan.
ADINDA JASMINE PRASETYO
Pilihan Editor: Cerita Basuki Hadimuljono dan Sri Mulyani soal Alasan Pilih Baju Warna Hitam Saat Nyoblos