Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penipuan, Hwa-Hwe Atau Tempat ...

Tujuh perusahaan keagenan bursa komoditi Jepang di Jakarta dan Surabaya dilarang. Belum punya ijin khusus, belum disumpah dan memutar dana terhadap komoditi bukan hasil pertanian Indonesia. (eb)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA pemerintah minggu lalu melarang usaha keagenan bursa komoditi Jepang. Maka terjadi hebol di 7 perusahaan broker (pialang) di DKI. Banyak nasabah mereka menuntut supaya dana mereka segera dikembalikan. Tapi praktek mereka bertujuh selama ini rupanya mentransfer dana ke Jepang. Dan tak mungkin bisa segera, juga tak gampang untuk memindahkan dana itu dari Jepang ke lndonesia. Entahlah, berapa persis jumlahnya. Tapi ketujuhnya ditaksir memutarkan uang nasabah Rp 14 milyar sehari. Panik terutama sekali dijumpai di kalangan spekulan amatir. Seorang Nyonya, umpamanya, meluap di PT Duta Komoditi Indra - di pusat pertokoan Duta Merlin di Jl. Gajah Mada Jakarta-dengan menuduh: "Penipuan, penipuan". Nyonya keturunan Cina itu berkumpul bersama puluhan nasabah lainnya pada suatu petang di perusahaan pialang itu. Semua bermuka muram, kuatir uang mereka akan ludes habis. Mereka terus mendesak Presiden Direktur Rosihan Nazwar sampai dinihari pk. 2 lewat. "Kalau tidak bisa selesai, saya . . . ", jurubicara mereka kemudian mengancam. Suhu meningkat, tapi semua kelihatan masih sopan. Di tempat lain, di PT Tri Daya Artha Universal, para nasabah malah sudah hilang keseimbangan, mengobrak-abrik perabot dan pada berdiri di atas meja. Di PT World Utama Traders, para nasabah begitu jengkel hingga duduk di meja, sementara menunggu direksi yang tak kunjung muncul. Puntung rokok sudah bertaburan di karpet. Di PT Multi Pertiwi, direkturnya meminta perlindungan polisi, setelah dilihatnya gelagat para nasabah yang kurang sabar. Polisi berpakaian preman juga turun tangan di tempat lain guna mencegah pukul-pukulan. Tapi pada suatu ketika seorang nasabah di PT Duta KI sempat juga menjangkau leher baju Tony Yau, wakil Aloha Investment, suatu agen pialang di Hong Kong. Begitu kaget Yau ini, hingga kabarnya tidak bisa makan lama sesudah itu. Kasus Nyonya Itu Di Surabaya, pihak berwajib segera menutup cabang PT Tri Daya Artha Universal. Ini membuat para nasabahnya di ibukota Jatim itu jengkel. Di tiga perusahaan lainnya -- PT Dharma Unicus, PT Utama Growth dan PT Pelangi Nusantara Trading -- suasana panik tidak kelihatan. Terutama di PT Dhama Unicus di Skyline Building Jl. MH Thamrin, Jakarta, trading berjalan terus seperti tidak terjadi apa-apa, ketika di tempat lain para nasabah sudah ribut meminta uang kembali. Adalah PT Dharma Unicus yang tertua - sudah 2 tahun memperoleh izin berusaha - di antara ketujuh perusahaan pialang itu. Mereka menjual jasa dalam perdagangan penyerahan kemudian (future trading), bertindak sebagai agen atau sub-agen dari para pialang yang menjadi anggota bursa komoditi Jepang. Walaupun sudah agak lama, Menteri Departemen Perdagangan rupanya mendiamkan kegiatan itu. Tapi mendadak Menteri Radius bulan April lalu mencela sifat spekulasi yang digalakkan mereka. "Saya kuatir masyarakat akan lebih cepat terpukau dengan angka kalkulasi keuntungan", Menteri berkata ketika itu (TEMPO, 23 April 1977). Maka dianjurkannya supaya masyarakat menjauhi dagang spekulasi itu. Konon kabarnya ada seorang isteri pejabat tinggi menjadi nasabah, ingin untung cepat, tapi akhirnya kecele. Kasus nyonya itu rupanya salah satu contoh bagaimana orang bisa "terpukau". Mungkin ini ikut mempercepat proses pelarangan. Belakangan ini timbul berbagai macam tanggapan dan tuduhan orang terhadap keagenan bursa komoditi Jepang itu. Penipuan, judi, Hwa-hwe, lotto-itulah sedikit contoh tuduhan. Tapi mereka yang menjadi nasabah di situ umumnya berpendidikan, bisa memahami aturan permainan tertulis dan kontrak dari pialang. PT Multi Pertiwi, misalnya, menasehatkan supaya orang jangan menjadi nasabah kalau tidak memiliki "keberanian untuk berspekulasi". Bahwa spekulasi menjadi suatu ciri future trading itu. Begitulah para pialang sudah menjelaskannya. Bahwa memang banyak nasabah tidak beruntung, lantas kemudian merasa tertipu, itu adalah risiko. Tapi jelas bukan sedikit uang panas masuk ke situ, dan tidak semua rugi tentunya. Runtuh Bahwa di situ bisa untung besar, PT Dharma Unicus mungkin bisa bercerita tentang satu kelompok nasabah yang menyetor Rp 400 juta awal minggu lalu, sebelum larangan pemerintah. Dalam 3 hari saja, nasabah itu beruntung 100%. Siapa dia? PT Dharma Unicus, seperti perusahaan pialang lainnya, merahasiakan identitas nasabahnya. Tapi di Sinar Harapan, ada pula berita tentang Panin Bank, bank swasta terbesar di negeri ini, menggaet keuntungan Rp 800 juta dalam future trading minggu lalu. Betulkah itu? "Itu sama sekali tak benar" direktur Mu'min Ali dari Panin Bank menjawab TEMPO. Walaupun sudah dilarang, sejak 7 Juni, Departemen Perdagangan rupanya memberi tenggang waktu bagi ketujuh perusahaan pialang itu menyelesaikan kontrak dengan para nasabah. Berarti, trading masih boleh berlangsung untuk kontrak yang berakhir Nopember. Tapi nasabah baru tidak dibolehkan lagi menyetor untuk mengikuti perdagangan. Dan sekali dalam tiap dua minggu menjelang Nopember itu para pialang harus melaporkan pada Kanwil Departemen Perdagangan DKI mengenai perkembangan sisa nasabah mereka. Meskipun ada kelonggaran transisi, banyak nasabah yang sesungguhnya spekulan amatir telah mendesak supaya dana mereka dikembalikan saja. Maka terjadilah seperti suasana di suatu bank yang mendadak runtuh, di mana uang berebut menarik uang. Para pialang sibuk berkomunikasi dengan afiliasinya di Hong Kong dan Tokyo. Tapi tidak ada tanda-tanda sampai awal minggu ini bahwa mereka mampu segera mengembalikan uang nasabah. Sementara itu beberapa perusahaan, seperti PT Tri Daya Artha Universal, mencoba herkompromi dengan kelompok nasabah dengan menyebut sekian prosen pemotongan dana. "Biarlah dipotong sedikit, asalkan tidak hilang sama sekali", reaksi seorang nasabah. Tapi peraturan Departemen Perdagangan melarang adanya pemotongan untuk pengembalian uang. Bagi spekulan profesional, situasi bursa sekarang menarik sekali, antara lain karena komoditi red beans (kacang merah) anjlok secara tak diduga. Dari Rp 47.230 per bal pada 1 Juni jatuh ke sekitar Rp 43.000 sampai akhir minggu lalu. Menurut statistik tahun-tahun lalu, biasanya kacang merah cenderung menaik pada bulan Juni, ketika petani di RRC dan Taiwan memasuki musim tanam. Belum Punya Izin Kacang merah adalah satu dari 7 komoditi yang diperdagangkan via bursa Jepang itu. Semua itu tidak berkaitan dengan hasil pertanian Indonesia. Jadi, kenapa sekian banyak milyar rupiah harus dilibatkan untuk komoditi negeri lain? Karena tidak relevan dengan Indonesia itu pulalah maka kehadiran bursa komoditi Jepang dianggap kurang layak. Inilah alasan terkuat pemerintah untuk melarangnya, supaya dana domestik tidak terbang percuma. Selain itu, ketujuh perusahaan pialang itu belum mempunyai izin khusus. Mereka masih harus disumpah sebagai pialang. Izin dagang saja yang kini mereka miliki belum mencukupi. Tapi persoalan sekarang ialah pemerintah sendiri kini belum siap dengan peraturannya, hingga tak tahu bagaimana izin khusus itu bisa diberikannya. "Kalau tidak dilarang, 'kan kami bisa melatih diri, belajar sebagai broker", kata manajer Jahja Hoesain dari PT Pelangi Nusantara rading kepada TEMPO. "Kami otomatis akan berfaedah untuk bursa komoditi Indonesia nanti". Kapan? Entah kapam Pembentukan bursa komoditi Indonesia tentunya masih lama lagi. Belum pasti tahun depan. Buat sementara, soal belajar menjadi pialang sudah terbayar mahal. Mungkin kaum spekulan amatir akan berlarut-larut menunggu pengembalian uang mereka. Tapi sudah ada penyejuk dari dinas imigrasi yang menahan sedikitnya 25 paspor tenaga ahli bursa dari Hong Kong dari Tokyo yang diperbantukan selama ini pada ketujuh perusahaan pialang di DKI. Dijadikan sandera?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus