SIDANG Pengadilan Negeri Samarinda, menjelang akhir Mei lalu
telah membuat jantugn penonton bekerja berat yaitu tatkala
Pembela Anwar Sulaiman SH tiba-tiba mogok tak mau memberikan
pembelaan. "Dari berkas yang ada ternyata terdapat kepincangan
dalam proses peradilan, kata Anwar, orang Kalimantan lulusan
Unpad ini. Karena itu ia menilai sidang seharusnya belum sampai
pada saat rekwisitor, apalagi pleidoi. Kepincangan tersebut,
menurut Pembela, adalah karena belum diajukannya barang bukti
dan belum dilaksanakannya penetapan majelis hakim sebelumnya.
Hari itu Anwar hanya membacakan nota permohonan agar kedua hal
tersebut dipenuhi lebih dahulu.
Ini bukan perkara terbilang besar seperti kasus Budiadji,
walaupun orang-orangnya terlibat boleh juga kekakapannya.
Tertuduh Hadi Sulistio dan Sumarto Sulistio dari CV Sumber Baru
dituduh Jaksa Henok Purba Tanjung dalum soal penggelapan 162
potong kayu gelondongan. Yang pertama karena menggelapkan dan
yang kedua karena menada. Kayu itu adalah milik Hadi sendiri,
yang menurut Jaksa sudah harus diserahkan kepada Saksi Sugianto
Kantono dari CV Djaya Mas. Saksi, menurut Penuntut Umum, telah
memberikan uang panjar. "Ternyata kayu itu dijual kepada
tertuduh II", tuduh Jaksa.
Mengkhianati Majelis
Lain Jaksa lain pula Tertuduh I. Tidak dserahkannya kayu itu
kepada Saksi, menurut Tertuduh, karena Saksi belum mau melakukan
perhitungan atas kayu-kayunya terdahulu ia juga membantah telah
menjual kayunya kepada Tertuduh II. Menurutnya kuyu itu ditarik
ke Samarinda oleh Tertuduh II sebagai barang titipan. Ia sendiri
waktu itu, tahun 1971, masih berada di pedalaman dan akan ke
Samarinda untuk melakukan perhitungan dengan Saksl serta
menyerahkan barang gelondongsn tersebut. Sebelum Tertuduh sampat
di Samarinda, Saksi sudah mengudu ke Komres 1402 Samarinda, dan
jadilah perkara ini.
Kembali ke sidang 30 Mei tersebut. Mendengar gebrakun Pembela,
Majelis Hakim yang diketuai Andreas Djaman SH segeru menskors
sidang. Penonton yang disuruh meninggalkan ruangan tak sabar
menanti apa yang bakal terjadi. Dua puluh menit kemudian sidang
dibuka kembali dalam suasana yang terasa mencekam dalam
keheningun itu suara Hakim yang lirih terdenar syahdu. "Majelis
merasa sedih dan prihatin", ujar Andreas, seraya mengaku seumur
hidupnya baru kali ini menemui perkara yang berkepanjangan.
Andreas kemudian menjelaskan kenapa sidang telah memasuki tahap
rekwisittor. "Pada mulanya", tutur Andreas yang mendapat
perhatian penuh dari hadirin. "Majelis percaya pada pernyataan
Saksi yang sawaktu-waktu bersedia menghadapkan barang bukti
pengganti mengingat bukti asli telah diekspor atas persetujuan
Polisi". Kepercayaan itu didasarkan pada keyakinan tak
mungkinnya saksi, yang dikenal sebagai pengusaha kelas kakap
itu, akan menyesatkan diri hanya dengan 162 potong kayu. "Tapi
ternyata Saksi Wiyono Kantono telah mengkhianati Majelis", tukas
Andreas dengan nada yang meninggi. Wiyono Kantono adalah wakil
Sugianto Kantono.
Akan hal penetapan Hakim terdnulu yang dimaksud Pembela, Majelis
juga merasa sedih. "Demi Tuhan, selama saya jadi hakim baru kali
inilah penetapan hakim diabaikan oleh jaksa", kata Andreas.
Penetapan itu intinya memerintahkan Jaksa untuk menahan Saksi
Sugianto Kantono di lembaga pemasyarakatan karena orang ini
memberikan kesaksian palsu dalam persidangan. Menurut Hakim
Ketua, Jaksa belum melaksanakan penetapan ini karena surat
penetapan yang dibacakan dalam sidang itu belum sampai di
tangannya. "Masih di tangan atasannya, Kepala Kejaksaan Negeri",
kata Andreas.
Penetapan itu sendiri adalah penetapan kedua. Penetapan pertama
bernasib lebih buruk: dibatalkan oleh penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Samarinda yang baru, A. Syachrani SH. Adakah hal itu
disebabkan sang saksi, yang dikenal sebagai pengusaha kakap itu,
menyediakan udang di balik batu? Wallahualam. Yang jelas Andreas
minta sekali lagi kepada Jaksa untuk melaksanakan penetapan itu
dan membawa barang bukti sebagaimana dimaksud di atas.
Jaksa Henok sudah tentu keberatan. "Dalam sidang yang lalu,
Majelis telah mengatakan bahwa pemeriksaan telah selesai", dalih
Penuntut Umum. Henok menilai perintah majelis itu sebagai
mengulang pemeriksaan yang sudah selesai. Tapi Majelis tetap
berpendapat, selama belum dijatuhkan vonis, pemeriksaan bisa
diulang dan Jaksa kalau mau boleh membuat rekwisitor baru. Jaksa
diam. Dan Majelis mengulangi perkataannya agar dalam sidang
pertengahan Juni ini Jaksa sudah membawa barang bukti.
Usus Buntu
Keprihatinan Majelis Hakim ternyata belum habis. Barang bukti
dalam perkara pidana ini oleh Majelis Hakim Perdata yang
diketuai A. Syachrani SH dinyatakan sah milik Penggugat, yang
tidak lain adalah saksi dalam perkara pidana. Tergugatnya ialah
tertuduh pidana tersebut. "Quo vadis perkara ini kalau barang
bukti sudah dibawa ke sana", ujar Andreas. "Semestinyalah pidana
didahulukan", tambahnya, bagai hendak mengoreksi rekan
sekerjanya.
Vonis perdata itu dijatuhkan 17 Mei lalu, tanpa kehadiran
Tergugat. "Tergugat sama sekali belum diberi kesempatan untuk
memajukan duplik, tegen bewijs dan kesimpulan terakhir.
Keputusan itu seolah-olah dijatuhkan secara tergesa-gesa dan
diforsir", komentar Pembela Anwar Suleiman. Apalagi keputusan
perdata itu dinyatakan bisa dilaksanakan lebih dulu biarpun
Tergugat banding atau kasasi. "Padahal bukti yang digunakan
Penggugat, seperti tercantum dalam penetapan Majelis Pidana,
diragukan keabsahannya atau dipalsukan", tambahnya.
Walhasil perkara kriminil yang berkait dengan kasus perdata ini
masih bakal ramai. Ketua Pengadilan Negeri Syachrani, yang juga
Ketua Majelis Perdata, tidak berhasil ditemui TEMPO karena
sedang menjalani operasi usus buntu. Hanya isterinya, yang
tampak mondar-mandir dengan Mazda biru plat hitam yang kelihatan
masih baru. Dapatkah Hakim Andreas bersikap lebih tegas dan
berwibawa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini