URUSAN feri-feri Tanjungpinang kini sudah muncul pula di
Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Ini tak lain buah kerja Martono
Sukastowo juga, itu kepala Inspeksi Bea Cukai Tanjungpinang yang
baru. Begitu ia menduduki jabatan. begitu ia mencoba menembus
rahasia feri bolak-balik Tanjungpinang-Singapura yang tambah
meningkat, padahal penumpang merekaamat sedikit (TEMPO, 16
April, Bisnis). Menyelundupkah mereka? Atas dasar kecurigaan
ini, beberapa awak feri harus kasih keterangan kepada hakim. Ini
adalah kasus pertama orang-orang feri diadili.
Sebula, 18 Trip
Perhatian masyarakat terhadap proses peradilan yang dimulai 27
Mei yang lalu itu cukup besar. Walaupun nilai materi perkara tak
seberapa, ratusan orang memenuhi ruang sidang sampai ke jendela
gedung yang tak begitu besar itu. Petugas keamanan kewalahan
jadinya. Apa benar yang menarik perhatian pengunjung?
"Kami kepingin tahu putusan apa yang akan dijatuhkan Hakim",
ucap seseorang. Ia bersama puluhan kawannya adalah orang yang
selama ini ikut terlibat dalam membiaknya usaha feri. Tanpa ada
yang pegang komando, mereka telah menunjukkan rasa setiakawan
atas kawan-kawan mereka yang kebetulan kepergok dalam jaringan
Martono dan hari itu diadili. Secara kelakar ada yang mengatakan
siap membawa peraturan, dan bahkan siap pula membantu membayar
sidang. Mereka sama sependapat, bahwa kerja rekan mereka yang
kebetulan kena sergap BC itu tak lain cuma untuk cari makan.
Lihatlah: perkara yang sedang ditangani Hakim S. Napitupulu SH
hari itu cuma menyangkut penyelundupan 24 helai baju kaos merek
More, yang ditaksir tak lebih dari 220 dolar Singapura (tak
sampai Rp 40 ribu). Kedua lusin baju itu dikatakan termasuk
jenis barang yang samasekali dilarang dimasukkan ke Indonesia,
tapi oleh A Yong alias Joni, awak feri Kartika 17, dicoba
diterobos dengan menyembunyikannya di kamar dalam bungkusan
selimut. Penyergapan terjadi ketika kapal tiba dari Singapura,
19 April.
Hakim kebetulan tak mau repot-repot. Mungkin karena A Yong, yang
baru berusia 25 tahun itu, mengaku terus terang perbuatannya
atas dasar sematamata cari rezeki. Sebab gajinya sebulan,
sebagai awak feri, katanya cuma Rp 4 ribu -- tambah ongkos
jangkar 24 dolar Singapura, juga selama sebulan atau 8 trip.
Dasar Perasaan
Tapi untunglah bukan terhadap kasus 24 baju kaos saja Martono
tampak berani. Masih ada perkara lain yang lebih dari cari
makan. Misalnya perkara penyelundupan 33 buah radio kaset model
mutakhir yang dipegang Hakim Napitupulu. Nilai barang tak kurang
dari Rp 2 juta. Lalu ada pula penyelundupan buku-buku porno dan
barang-barang lainnya, yang semuanya terjaring dari feri.
Yang menarik adalah sikap para saksi yang umumnya petugas BC
setempat. Mereka tampaknya tak siap memberikan keterangan,
terutama berkenaan dengan tugas dan wewenang mereka. Misalnya
saksi Nizar Jusuf, petugas P2 BC yang menyergap A Yong. Saksi
tak tahu persis apakah barang itu barang yang dilarang diimpor,
atau jenis yang dibatasi.
Ia mengaku tahu peraturan, tapi lupa peraturan yang mana. Juga
ia kelihatan berkeringat ketika Hakim menanyakan dasar hukumnya
untuk meloloskan barang bawaan awak yang olehnya dianggap hanya
untuk dipakai. Sebab, 24 helai baju ditahan, tapi selimut wol
pembungkus baju itu dibialannya. "Menurut penilaian saya", kata
Nizar. Hakim sontak tercengang. "Jadi perasaan saja bisa jadi
dasar hukum, ya?" tanya hakim. Saksi terdiam.
Lain halnya dengan Hasan Ali, petugas BC yang berurusan dengan
radio kaset tertuduh Bono mengaku barangnya berjumlah 34 buah.
Tapi dalam bukti sitaan hanya 33. Di mana yang satu lagi? Hasan
mengaku tak menghitung barang itu ketika dimuat ke goni, dan
terhadap barang itu tak pula lansung dibuat surat sitaan.
Menurut peraturan apa harus dibuat sitaan? tanya Hakim. Hasan
hanya terhenyak seketika.
Sudah Capek-Capek
Dengan kasus-kasus itu justru keadaan para saksilah yang tampak
lebih parah menghadapi hakim, ketimbang tertuduh. Tak heran
begitu sidang selesai mereka merasa kesal dan mengeluh.
"Sudah capek-capek menangkap, malah dibentak-bentak", gerurutu
Hasan. Mungkin salah mereka sendiri. Tapi yang jelas gambaran
terhadap BC jadi sedikit kurang menarik. "Yang menangkap saja
tak tahu aturan", begitu komentar beberapa pengunjung.
Ini sekaligus menunjukan bahwa Martono dan staf, dalam
kegencaran memberantas penyelundupan, belum sempat
memperdsiapkan bawahan sehingga menjadi lebih tanguh bertindak.
Artinya pula segala macam peraturan yang telah dikeluarkan untuk
mengikis tindakan hukum itu belum sampai meresap ke tangan para
bawahan yang sebenarnya memegang rol utama.
Seorang petugas BC yang sudah lama berpos di situ juga mengakui,
bahwa peraturan-peraturan umumnya hanya sampai pada golongan II
saja yangn lebih bawah lagi cuma tinggal terima perintah. Tak
heran kalau mereka suka main sergap saja. Hasilnya, seperti
tadi, hakim pada golongan kepala. Mungkin situasi ini bisa
dijadikan proyek bagus buat BC untuk menatar lagi par karyawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini