Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kalau Petugas Main Perasaan

Kepala inspeksi bea cukai Tanjungpinang mengungkap penyelundupan barang yang dilakukan awak feri Tanjungpinang-Singapura. Petugas bea cukai tidak siap memberi kesaksian di pengadilan. (hk)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URUSAN feri-feri Tanjungpinang kini sudah muncul pula di Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Ini tak lain buah kerja Martono Sukastowo juga, itu kepala Inspeksi Bea Cukai Tanjungpinang yang baru. Begitu ia menduduki jabatan. begitu ia mencoba menembus rahasia feri bolak-balik Tanjungpinang-Singapura yang tambah meningkat, padahal penumpang merekaamat sedikit (TEMPO, 16 April, Bisnis). Menyelundupkah mereka? Atas dasar kecurigaan ini, beberapa awak feri harus kasih keterangan kepada hakim. Ini adalah kasus pertama orang-orang feri diadili. Sebula, 18 Trip Perhatian masyarakat terhadap proses peradilan yang dimulai 27 Mei yang lalu itu cukup besar. Walaupun nilai materi perkara tak seberapa, ratusan orang memenuhi ruang sidang sampai ke jendela gedung yang tak begitu besar itu. Petugas keamanan kewalahan jadinya. Apa benar yang menarik perhatian pengunjung? "Kami kepingin tahu putusan apa yang akan dijatuhkan Hakim", ucap seseorang. Ia bersama puluhan kawannya adalah orang yang selama ini ikut terlibat dalam membiaknya usaha feri. Tanpa ada yang pegang komando, mereka telah menunjukkan rasa setiakawan atas kawan-kawan mereka yang kebetulan kepergok dalam jaringan Martono dan hari itu diadili. Secara kelakar ada yang mengatakan siap membawa peraturan, dan bahkan siap pula membantu membayar sidang. Mereka sama sependapat, bahwa kerja rekan mereka yang kebetulan kena sergap BC itu tak lain cuma untuk cari makan. Lihatlah: perkara yang sedang ditangani Hakim S. Napitupulu SH hari itu cuma menyangkut penyelundupan 24 helai baju kaos merek More, yang ditaksir tak lebih dari 220 dolar Singapura (tak sampai Rp 40 ribu). Kedua lusin baju itu dikatakan termasuk jenis barang yang samasekali dilarang dimasukkan ke Indonesia, tapi oleh A Yong alias Joni, awak feri Kartika 17, dicoba diterobos dengan menyembunyikannya di kamar dalam bungkusan selimut. Penyergapan terjadi ketika kapal tiba dari Singapura, 19 April. Hakim kebetulan tak mau repot-repot. Mungkin karena A Yong, yang baru berusia 25 tahun itu, mengaku terus terang perbuatannya atas dasar sematamata cari rezeki. Sebab gajinya sebulan, sebagai awak feri, katanya cuma Rp 4 ribu -- tambah ongkos jangkar 24 dolar Singapura, juga selama sebulan atau 8 trip. Dasar Perasaan Tapi untunglah bukan terhadap kasus 24 baju kaos saja Martono tampak berani. Masih ada perkara lain yang lebih dari cari makan. Misalnya perkara penyelundupan 33 buah radio kaset model mutakhir yang dipegang Hakim Napitupulu. Nilai barang tak kurang dari Rp 2 juta. Lalu ada pula penyelundupan buku-buku porno dan barang-barang lainnya, yang semuanya terjaring dari feri. Yang menarik adalah sikap para saksi yang umumnya petugas BC setempat. Mereka tampaknya tak siap memberikan keterangan, terutama berkenaan dengan tugas dan wewenang mereka. Misalnya saksi Nizar Jusuf, petugas P2 BC yang menyergap A Yong. Saksi tak tahu persis apakah barang itu barang yang dilarang diimpor, atau jenis yang dibatasi. Ia mengaku tahu peraturan, tapi lupa peraturan yang mana. Juga ia kelihatan berkeringat ketika Hakim menanyakan dasar hukumnya untuk meloloskan barang bawaan awak yang olehnya dianggap hanya untuk dipakai. Sebab, 24 helai baju ditahan, tapi selimut wol pembungkus baju itu dibialannya. "Menurut penilaian saya", kata Nizar. Hakim sontak tercengang. "Jadi perasaan saja bisa jadi dasar hukum, ya?" tanya hakim. Saksi terdiam. Lain halnya dengan Hasan Ali, petugas BC yang berurusan dengan radio kaset tertuduh Bono mengaku barangnya berjumlah 34 buah. Tapi dalam bukti sitaan hanya 33. Di mana yang satu lagi? Hasan mengaku tak menghitung barang itu ketika dimuat ke goni, dan terhadap barang itu tak pula lansung dibuat surat sitaan. Menurut peraturan apa harus dibuat sitaan? tanya Hakim. Hasan hanya terhenyak seketika. Sudah Capek-Capek Dengan kasus-kasus itu justru keadaan para saksilah yang tampak lebih parah menghadapi hakim, ketimbang tertuduh. Tak heran begitu sidang selesai mereka merasa kesal dan mengeluh. "Sudah capek-capek menangkap, malah dibentak-bentak", gerurutu Hasan. Mungkin salah mereka sendiri. Tapi yang jelas gambaran terhadap BC jadi sedikit kurang menarik. "Yang menangkap saja tak tahu aturan", begitu komentar beberapa pengunjung. Ini sekaligus menunjukan bahwa Martono dan staf, dalam kegencaran memberantas penyelundupan, belum sempat memperdsiapkan bawahan sehingga menjadi lebih tanguh bertindak. Artinya pula segala macam peraturan yang telah dikeluarkan untuk mengikis tindakan hukum itu belum sampai meresap ke tangan para bawahan yang sebenarnya memegang rol utama. Seorang petugas BC yang sudah lama berpos di situ juga mengakui, bahwa peraturan-peraturan umumnya hanya sampai pada golongan II saja yangn lebih bawah lagi cuma tinggal terima perintah. Tak heran kalau mereka suka main sergap saja. Hasilnya, seperti tadi, hakim pada golongan kepala. Mungkin situasi ini bisa dijadikan proyek bagus buat BC untuk menatar lagi par karyawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus