Rumah kedua, itu biasa. Rumah ketiga juga tak istimewa. Tapi rumah pertama di luar negeri, itu baru luar biasa.
Pindah rumah ke luar negeri agaknya tengah jadi mode. Dalam beberapa bulan terakhir ini, minat untuk meninggalkan Indonesia tampaknya makin besar saja. Gelombang pembelian properti di luar negeri, kendati tak tercatat akurat dalam statistik, kian hari terlihat kian kencang saja. Satu perusahaan broker di Singapura, misalnya, mengaku berhasil menjual 30 unit properti cuma dalam tempo sebulan.
Masih tak percaya? Coba kita tengok petunjuk yang lain. Lihatlah, misalnya, halaman iklan di koran-koran Ibu Kota. Sejak krisis ekonomi meletus Juli 1997, iklan penawaran properti di luar negeri justru hampir tiap hari nongol di surat kabar. Jenis produk yang ditawarkan juga beragam. Ada cottage di pinggir hutan Kanada, lengkap dengan fasilitas memanjakan diri seperti spa dan jaccuzzi. Ada juga kondominium di kawasan emas Sydney. Bahkan bukan itu saja. Kalau dulu cuma rumah atau apartemen, kini sudah mulai ditambah dengan kavling.
Besarnya belanja iklan perusahaan broker properti di luar negeri bukannya tanpa alasan. Kendati tak menyebut angka, Sanny Wahyudi, Manajer Umum PT Mitraland Harapan Sejati, broker properti di Australia, yakin bahwa pembeli dari Indonesia sangat potensial. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Nelly Jimron, Manajer WestAust, broker properti dari Australia. Nelly yakin, ia akan meraup pasar cukup besar di Indonesia. "Sekitar dua juta orang Indonesia punya kemampuan membeli properti di luar negeri," katanya.
Lalu mengapa tiba-tiba muncul gelombang minat yang begitu besar pada produk properti di luar negeri? Sebenarnya, membeli properti di luar negeri memang bukan cerita baru bagi orang (kaya) Indonesia. Mereka terkenal royal membeli properti di luar negeri. Perusahaan broker WestAust telah membuka cabangnya di Jakarta sejak Juli 1994. Bahkan ada semacam "kampung Indonesia" kecil-kecilan di daerah-daerah baru tempat properti dijual, seperti di Perth dan Vancouver.
Bahkan, pernah ada cerita bahwa orang kaya Indonesia dinilai sempat mempermainkan harga properti di Singapura pada awal 1990-an. Gara-gara orang Indonesia memborong apartemen di daerah-daerah emas di Negeri Singa itu, harga properti di sana membubung sampai orang Singapura sendiri pun tak mampu membeli.
Nah, jika gelombang penawaran properti di luar negeri kini makin menggebu-gebu, itu karena beberapa alasan. Sejumlah broker yang ditemui TEMPO mengaku bahwa situasi keamanan Indonesia, terutama sejak penembakan mahasiswa di Trisakti dan kerusuhan rasial bulan Mei, menjadi pertimbangan utama. Sejumlah warga keturunan Cina, konon, sudah merasa tidak aman tinggal di Indonesia. Bagi kelompok ini, yang mereka cari adalah tempat tinggal, bukan sekadar tempat untuk melakukan investasi.
Selain itu, krisis ekonomi memaksa orang mulai mengalihkan prioritas investasinya. Menurut Sanny, krisis telah menyeret nilai properti di Indonesia sehingga hancur-hancuran. Prospeknya dalam masa depan satu-dua tahun ke depan juga belum cerah. Harga properti, kendati diramalkan akan mulai merayap naik tahun depan, pertumbuhannya masih sangat lamban dibandingkan dengan bunga deposito, misalnya. Karena itu properti di Indonesia bukan lagi menjadi tempat beternak uang yang menarik. Ini yang membuat mereka mengalihkan uangnya untuk membeli properti di Australia.
Kalau mau dibagi, tampaknya alasan utama keputusan untuk membeli properti di luar negeri terbagi menjadi dua. Satu, sebagai tempat tinggal. Dan kedua, untuk kepentingan investasi. Memang ada juga yang membeli rumah di luar negeri untuk menyekolahkan anak atau menjadikannya tempat di hari tua kelak. Bahkan ada yang tanpa alasan selain karena ingin lebih gaya. Tapi pada umumnya alasan-alasan itu tergolong cukup minor.
Nah, menyadari dua motif utama ini (tampat tinggal dan investasi) para broker properti di luar negeri merayu para calon pembeli dari Indonesia dengan pelbagai cara. Untuk menjaring calon pembeli yang ingin tinggal, para broker menawarkan kemudahan visa penduduk tetap (PR alias permanent residence). Adapun untuk menggaet mereka yang ingin mengembangkan duit, para broker biasanya menerbitkan jaminan pertumbuhan investasi.
Status PR ini memang memberikan pelbagai keuntungan. Di Australia, misalnya, para pemegang kartu PR bukan cuma mendapatkan diskon biaya sekolah tapi juga izin untuk berusaha. Karena, kalau sudah mengantongi visa "penduduk tetap", hak orang tersebut sudah sama dengan warga negara (citizen). Bedanya cuma, para pemegang PR tak memperoleh hak untuk vote alias tidak bisa ikut pemilihan umum.
Selain fasilitas PR atau jaminan pertumbuhan investasi, masih banyak fasilitas lain yang ditawarkan para broker. Yang kini sedang musim adalah fasilitas pembiayaan. Pada zaman sebelum krisis, dari setiap pembelian 10 properti, sedikitnya 3 dibayar secara kontan. Tapi kini, "Semuanya memakai kredit."
Situasi ini pun kemudian dimanfaatkan oleh para broker. Mereka berusaha memberikan pelayanan yang memuaskan dengan mencoba menawarkan properti yang harganya bersaing dengan properti sekelas di Indonesia. Cara pembayaran juga lebih longgar. WestAust, misalnya, hanya mensyaratkan booking fee Rp 5 juta. Kalau transaksi batal, uang pemesanan ini akan dikembalikan semuanya, tanpa potongan.
Tawaran banyak, kemudahan pun berlimpah. Tapi para calon konsumen tak boleh kehilangan kewaspadaan. Kunci yang harus dipegang kelihatannya sepele: teliti dan hati-hati. Berikut beberapa hal yang perlu dicermati jika ingin membeli properti di luar negeri.
Hukum
Bagaimana tepatnya status hukum warga negara Indonesia yang tinggal di Kanada atau Australia, misalnya. Pada umumnya, pemerintah negara tempat properti itu dijual mengizinkan kepemilikan oleh orang asing. Tapi tetap harus diperhatikan aturan detailnya. Jangan main beli properti hanya karena alasan gaya hidup.
Status Permanent Residence (PR)
Bagaimana cara mendapat status PR harus mendapat perhatian ekstra. Karena, menurut pengaduan para pembeli properti di luar negeri, mengurus status penduduk tetap ternyata sulit. Nah, kalau ada tawaran visa PR gratis dari broker, janganlah cepat percaya.
Lokasi
Sebaiknya jangan tergiur dengan nama-nama lokasi yang berbahasa Inggris. Calon pembeli sebaiknya rewel soal ketepatan lokasi ini. Kalau perlu, minta kesempatan untuk mengunjungi lokasinya sendiri. Maklum, di peta dunia kan tidak tampak di mana tempat calon rumah Anda. Kalau sudah merasa teliti, selamat membeli properti.
Bina Bektiati, Dewi R. Cahyani, Dwi Arjanto, dan A. Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini