SEKUAT-KUATNYA penyangga, sekali waktu pasti diganti. Tak terkecuali Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Namun, bukan karena itu, sejak awal tahun 1992 BPPC memberhentikan sejumlah pegawainya. Langkah ini cukup mengejutkan, tapi masyarakat belum lupa bahwa kiprah BPPC baru akan berakhir tahun 1995. Kalau begitu, ada apa di BPPC? Bila disimak lebih cermat, langkah yang diambil BPPC sejak awal tahun lalu memang semakin memperkuat dugaan bahwa badan ini segera bubar. Sejak Maret sampai Mei 1993, misalnya, badan ini telah merasionalisasi 56 karyawannya. Dan September silam menyusul 68 orang. Dengan demikian, hingga pekan ini setidaknya 124 dari 178 karyawan BPPC telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk mereka, manajemen BPPC memberi pesangon 16 bulan gaji. Rinciannya, pesangon 14 kali gaji ditambah satu bulan tunjangan cuti dan kesehatan. Pesangon tersebut diberikan kepada mereka yang mengundurkan diri September dan Mei 1993. Karyawan yang keluar sebelum itu hanya mendapat pesangon tiga bulan gaji. Tak jelas, berapa banyak dana yang dikeluarkan BPPC untuk rasionalisasi ini. ''Yang pasti, gaji mereka antara Rp 300 ribu dan Rp 2 juta,'' kata sebuah sumber. Rasionalisasi itu, konon, berkaitan dengan rencana pembubaran BPPC akhir tahun depan. Namun, kabar angin itu dibantah oleh Sekjen BPPC, Jantje Worotitjan. ''Tidak, tidak benar BPPC akan bubar. Kami masih tetap menangani pemasaran cengkeh,'' kata Jantje. Adapun PHK tersebut dilakukan karena BPPC secara bertahap akan mengalihkan perannya kepada Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) dan Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud). Malah, menurut Jantje, sejak 1993 pengadaan cengkeh di lapangan sudah ditangani Inkud. Penyataan Jantje itu dibenarkan oleh Direktur Inkud, Jeff Mustopha Atmaja. Menurut Jeff, sampai saat ini 47% tugas penyanggaan sudah dialihkan kepada Inkud. Dan tahun ini Inkud sudah melakukan pembelian di 25 sentra produksi sebelumnya hanya menangani 19 sentra produksi. Tapi seorang pengusaha memberi keterangan yang agak lain. Katanya, karyawan BPPC yang mundur sebagian besar berasal dari PT Kembang Cengkih Nasional (KCN). Seperti diketahui, KCN merupakan unsur BPPC, di samping Inkud dan PT Kertaniaga (BUMN). ''Jadi, yang akan dibubarkan itu PT Kembang Cengkih Nasional, bukan BPPC,'' katanya lagi. Kalau itu benar, pertanyaannya adalah mengapa KCN begitu cepat meninggalkan BPPC. Soalnya, berdasarkan keputusan pemerintah 1992, pengalihan fungsi BPPC kepada Inkud dan Puskud baru akan dilakukan tahun 19951997. Sementara itu, wewenang BPPC baru akan berakhir tahun 1995. Dan pengalihan itu pun baru bisa dilakukan setelah stok cengkeh dan utang BPPC habis. Untuk menjawab pertanyan tadi, mungkin ada baiknya ditinjau sejarah berdirinya BPPC, awal 1991. Adalah Tjia Ing Tik, raja pala dari Manado, yang awal 1989 membeli cengkeh secara besar- besaran. Hasil pembelian itu ditawarkan kepada pabrik rokok, tapi ditolak. Tjia pun lalu menggandeng Tommy Hutomo Mandala Putera untuk mendirikan PT Bina Reksa Perdana (BRP). Trade Promotion Board of Singapore menyebutkan bahwa BRP mengandalkan PT Sinar Agung Utara untuk membeli cengkeh seharga Rp 3 ribu per kilo. Dari kegiatan ini mereka memiliki persediaan cengkeh Zanzibar sebanyak 4 ribu ton, yang tersimpan di Singapura. BRP kemudian mengusulkan pembentukan BPPC, dan usul itu akhirnya disetujui Pemerintah. Dalam BPPC kemudian BRP berubah menjadi KCN, yakni konsorsium dari PT Bina Reksa Perdana (Tommy), PT Sinar Utama Agung (Budiman Lius), PT Agro Sejati Bina Perkasa (Benny Tatimu), PT Rempah Jaya Makmur (Bhakti Prawiro), dan PT Wahana Dana Lestari (Robby Sumampouw). Pemerintah sendiri menyertakan Inkud dan PT Kertaniaga. Nah, dengan keluarnya KCN, apakah dapat dikatakan kepentingan swasta di BPPC sudah tercapai? Tak jelas, memang. Yang pasti, September lalu BPPC telah melunasi utang KLBI sebesar Rp 700 miliar kepada Bank Indonesia (BI). Saat itu BPPC menjual 73 ribu ton cengkeh senilai Rp 759 miliar kepada PT Gudang Garam secara kredit. Kredit itu oleh BPPC dipakai untuk menerbitkan promissory note (surat pengakuan berutang), yang kemudian dijual kepada Bank Bumi Daya dengan bunga diskonto 16%. Dari hasil penjualan itulah BPPC kemudian melunasi tunggakannya kepada BI. Lalu, sebuah sumber mengungkapkan, dari pelunasan utang Rp 700 miliar ke BI itu, ternyata Rp 560 miliar merupakan utang KCN. ''Sisanya, sebesar Rp 140 miliar, adalah pembayaran utang PT Kertaniaga,'' ujarnya. Utang itu boleh jadi merupakan pembelian stok cengkeh KCN dan PT Kertaniaga oleh BPPC. Soalnya, ketika bergabung dengan BPPC tiga tahun silam, KCN membawa stok 65 ribu ton, dan PT Kertaniaga membawa 23 ribu ton. Karena penjualan dilakukan secara urut kacang yang dijual adalah stok cengkeh yang lebih dulu masuk cengkeh yang lebih dulu dibeli oleh BPPC adalah milik KCN dan PT Kertaniaga. Baru menyusul stok hasil pembelian BPPC dari petani. Akan halnya Inkud, induk koperasi ini hanya kebagian stok cengkeh senilai Rp 566 miliar. Itu pun merupakan uang penyertaan modal petani di KUD dan Simpanan Wajib Khusus Petani. Kini, setelah cengkeh yang membebani KCN dibeli oleh Gudang Garam tanpa BPPC, penawaran cengkeh itu sudah ditolak pabrik rokok urusan sangga-menyangga lalu dialihkan ke Inkud dan Puskud. Tinggallah kini BPPC menunggu saat yang tepat (untuk bubar), dan petani menunggu tata niaga yang lebih sehat. Bambang Aji, Phill M. Sulu, dan Joewarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini